Tragedi Perang Salib dan Kolonialisme Eropa Menurut Montgomery Watt
Selasa, 03 Januari 2023 - 14:58 WIB
Persepsi Islam kontemporer tentang Perang Salib secara implisit berbeda dengan persepsi Kristen. Mayoritas umat Islam memandang Perang Salib tidak lebih dari insiden kekejaman dan kebengisan umat Kristen yang jauh melampaui batas, dapat diperbandingkan dengan persepsi Inggris tentang peristiwa yang terjadi di barat laut India-Inggris di abad sembilan belas.
Kekhalifahan di Baghdad yang diinformasikan namun tidak menarik itu, walau memang tidak memiliki kekuatan politik sebenarnya di masa itu. Pencuri yang mengontrol kekuatan dunia luar adalah dinasti Saljuk, namun pusat-pusat utamanya adalah beratus-ratus mil sebelah timur Baghdad.
Bila mereka mendengarkan tentang Perang Salib, mereka akan memandang Perang Salib ini sebagai varian semata dari bentuk perselisihan yang terus-menerus berlangsung di kawasan khusus ini selama paruh akhir abad ini.
Tentu saja berbeda karena bagi umat Islam yang terpengaruh secara langsung, sungguhpun mereka terbiasa dengan ekspedisi-ekspedisi penggerebegan Byzantine. Segera mereka menyatakan bahwa ada perbedaan nyata antara bangsa Byzantine, bangsa Rum dan bangsa Frank atau Franj, namun boleh jadi mereka masih belum sadar akan motif-motif dan tujuan- tujuan keagamaan lebih lanjut.
Sebagaimana yang telah dicatat, sebagian pemimpin muslim berencana untuk ikut beraliansi dengan para pemimpin Kristen dalam memerangi rival-rival mereka yang muslim.
Seruan Jihad
Semenjak bangsa Frank menetap di negeri-negeri Salib dalam waktu yang lama, mereka mengadopsi adat-istiadat dan pakaian lokal, mereka nampak tidak berbeda dengan pemimpin-pemimpin muslim.
Usaha menciptakan kekuatan yang tangguh sepenuhnya diikhtiarkan untuk menggagalkan para partisipan Perang Salib, dimulai ketika seorang lelaki yang bernama Zengis yang ditunjuk sebagai gubemur Mosul oleh Sultan Saljuk di tahun 1127 Masehi dan sejak tahun 1144 Masehi sudah benar-benar kuat untuk mendapatkan kembali Edessa.
Putranya yang menggantikan kedudukan Zengis ini dikirim menjadi prajurit untuk melawan dinasti Fatimiah di Mesir pada tahun 1169 Masehi.
Pada tahun ini juga jenderal wafat, kemenakan lelaki Saladin menduduki jabatan Zengis ini, maka segeralah Saladin menyatakan dirinya sebagai penguasa Mesir.
Pada tahun 1174 Masehi atas kematian putra Zengis, ia diperkenalkan oleh khalifah sebagai sultan di seluruh kawasan mulai dari kota Mosul sampai kota Kairo. Selain konsultasi pemerintahannya atas wilayah ini. Tujuan yang utama adalah untuk memukul mundur negeri-negeri yang ikut berpartisipasi dalam Perang Salib. Dengan cara ini, secara luas Saladin menggantikan wilayah-wilayah negeri yang ikut aktif dalam Perang Salib menjadi berada di bawah kekuasaan Islam, menaklukkan Jerusalem di tahun 1187 Masehi.
Beberapa tahun sebelum peristiwa di atas terjadi, pangeran Saladin telah menyerukan jihad atau perang suci melawan umat Kristen. Beliau mengumandangkan jihad ini karena kebodohan baru yang diakibatkan pemimpin Kristen yang mengirim armada ke Laut Merah dari Teluk Aqabah dan pada tahun 1182 Masehi menenggelamkan kapal milik orang muslim yang melewati rute perjalanannya ke Mekkah.
Insiden ini begitu dikenal secara luas dan makin meningkatkan kemarahan dunia Islam yang lebih besar ketimbang berdirinya negeri-negeri Franka. Kendatipun demikian, secara pribadi Saladin tetap ramah kepada umat Kristen, paling kurang pada waktu itu. Namun hubungan-hubungan mesra ini hanya sedikit meningkatkan persepsi Islam terhadap Kristen.
Ada catatan yang cukup baik dari sejarawan kenamaan, Ibnu al-Athir (1160-1233 Masehi). Sejarawan ini adalah penduduk Mosul dan pernah ikut secara aktual dalam barisan tentara pangeran Saladin.
Dia mencatat penaklukan Antioch oleh bangsa Frank di tahun 491 Hijrah (1098 Masehi). Namun ia memandang agresi bangsa Frank ini telah didahului oleh pendudukan Toledo pada tahun 478 Hijrah (1085 Masehi) dan Sicilia pada tahun 484 Hijrah (1091 Masehi).
Peristiwa pendudukan ini mengantarkannya untuk berpikir tentang gerakan Perang Salib sebagai orang Kristen yang melawan umat Islam, namun sama sekali gerakan ini bukan sebagai aktivitas yang terpusat dan hanya sebagai salah satu dari sejumlah tema yang luas yang ditindak lanjuti pada periode itu. Bahkan persepsinya tentang Perang Salib adalah sebagai jihad yang tidak mungkin disumbangkan oleh mayoritas umat Islam di Irak dan negeri-negeri lain di timur.
Pada gilirannya penting untuk menyatakan bahwa umat Islam kini memandang Perang Salib sebagai awal dimulainya kolonialisme Eropa.
Kekhalifahan di Baghdad yang diinformasikan namun tidak menarik itu, walau memang tidak memiliki kekuatan politik sebenarnya di masa itu. Pencuri yang mengontrol kekuatan dunia luar adalah dinasti Saljuk, namun pusat-pusat utamanya adalah beratus-ratus mil sebelah timur Baghdad.
Bila mereka mendengarkan tentang Perang Salib, mereka akan memandang Perang Salib ini sebagai varian semata dari bentuk perselisihan yang terus-menerus berlangsung di kawasan khusus ini selama paruh akhir abad ini.
Tentu saja berbeda karena bagi umat Islam yang terpengaruh secara langsung, sungguhpun mereka terbiasa dengan ekspedisi-ekspedisi penggerebegan Byzantine. Segera mereka menyatakan bahwa ada perbedaan nyata antara bangsa Byzantine, bangsa Rum dan bangsa Frank atau Franj, namun boleh jadi mereka masih belum sadar akan motif-motif dan tujuan- tujuan keagamaan lebih lanjut.
Sebagaimana yang telah dicatat, sebagian pemimpin muslim berencana untuk ikut beraliansi dengan para pemimpin Kristen dalam memerangi rival-rival mereka yang muslim.
Seruan Jihad
Semenjak bangsa Frank menetap di negeri-negeri Salib dalam waktu yang lama, mereka mengadopsi adat-istiadat dan pakaian lokal, mereka nampak tidak berbeda dengan pemimpin-pemimpin muslim.
Usaha menciptakan kekuatan yang tangguh sepenuhnya diikhtiarkan untuk menggagalkan para partisipan Perang Salib, dimulai ketika seorang lelaki yang bernama Zengis yang ditunjuk sebagai gubemur Mosul oleh Sultan Saljuk di tahun 1127 Masehi dan sejak tahun 1144 Masehi sudah benar-benar kuat untuk mendapatkan kembali Edessa.
Putranya yang menggantikan kedudukan Zengis ini dikirim menjadi prajurit untuk melawan dinasti Fatimiah di Mesir pada tahun 1169 Masehi.
Pada tahun ini juga jenderal wafat, kemenakan lelaki Saladin menduduki jabatan Zengis ini, maka segeralah Saladin menyatakan dirinya sebagai penguasa Mesir.
Pada tahun 1174 Masehi atas kematian putra Zengis, ia diperkenalkan oleh khalifah sebagai sultan di seluruh kawasan mulai dari kota Mosul sampai kota Kairo. Selain konsultasi pemerintahannya atas wilayah ini. Tujuan yang utama adalah untuk memukul mundur negeri-negeri yang ikut berpartisipasi dalam Perang Salib. Dengan cara ini, secara luas Saladin menggantikan wilayah-wilayah negeri yang ikut aktif dalam Perang Salib menjadi berada di bawah kekuasaan Islam, menaklukkan Jerusalem di tahun 1187 Masehi.
Beberapa tahun sebelum peristiwa di atas terjadi, pangeran Saladin telah menyerukan jihad atau perang suci melawan umat Kristen. Beliau mengumandangkan jihad ini karena kebodohan baru yang diakibatkan pemimpin Kristen yang mengirim armada ke Laut Merah dari Teluk Aqabah dan pada tahun 1182 Masehi menenggelamkan kapal milik orang muslim yang melewati rute perjalanannya ke Mekkah.
Insiden ini begitu dikenal secara luas dan makin meningkatkan kemarahan dunia Islam yang lebih besar ketimbang berdirinya negeri-negeri Franka. Kendatipun demikian, secara pribadi Saladin tetap ramah kepada umat Kristen, paling kurang pada waktu itu. Namun hubungan-hubungan mesra ini hanya sedikit meningkatkan persepsi Islam terhadap Kristen.
Ada catatan yang cukup baik dari sejarawan kenamaan, Ibnu al-Athir (1160-1233 Masehi). Sejarawan ini adalah penduduk Mosul dan pernah ikut secara aktual dalam barisan tentara pangeran Saladin.
Dia mencatat penaklukan Antioch oleh bangsa Frank di tahun 491 Hijrah (1098 Masehi). Namun ia memandang agresi bangsa Frank ini telah didahului oleh pendudukan Toledo pada tahun 478 Hijrah (1085 Masehi) dan Sicilia pada tahun 484 Hijrah (1091 Masehi).
Peristiwa pendudukan ini mengantarkannya untuk berpikir tentang gerakan Perang Salib sebagai orang Kristen yang melawan umat Islam, namun sama sekali gerakan ini bukan sebagai aktivitas yang terpusat dan hanya sebagai salah satu dari sejumlah tema yang luas yang ditindak lanjuti pada periode itu. Bahkan persepsinya tentang Perang Salib adalah sebagai jihad yang tidak mungkin disumbangkan oleh mayoritas umat Islam di Irak dan negeri-negeri lain di timur.
Pada gilirannya penting untuk menyatakan bahwa umat Islam kini memandang Perang Salib sebagai awal dimulainya kolonialisme Eropa.