Begini Sejarah Lahirnya Kitab Suci Yahudi Menurut Tharick Chehab
loading...
A
A
A
Prof HS Tharick Chehab dalam bukunya berjudul "Alkitab (Bible), Sejarah Terjadinya dan Perkembangannya Serta Hal-hal yang Bersangkutan" (Mutiara, 1974) antara lain menjelaskan asal usul lahirnya kitab suci Yahudi . "Kitab Suci Yahudi yang kini dipergunakan adalah berdasarkan atas teks Massorah," katanya.
Menurutnya, Renaissance dari Yudaisme baru timbul ketika orang-orang Yahudi bebas menjalankan agamanya di bawah kekuasaan Muslimin. Karenanya ulama Yahudi tidak lagi berbahasa Aramiya atau dialek Kildani, apalagi menulisnya, mereka tidak dapat membaca aneka Kitab Sucinya. Oleh sebab itu mereka hanya mengikuti tradisi lisan secara turun-temurun.
Terpengaruh oleh peradaban, kebudayaan dan philology Arab, para ulama Yahudi berkumpul untuk berusaha memelihara Kitab Sucinya, yang diawali di Tiberias antara abad ke VI dan abad ke IX, dengan mencoba-coba menghidupkan huruf-huruf mati dan memberi titik-titik pada huruf yang bentuknya sama tetapi ucapannya lain.
Usaha ini diakhiri pada abad ke XI. Terjemahan yang terbaru, yang dibantu oleh aneka saduran yang terlebih dahulu dan musyawarah dengan ahli-ahli Yahudi, ini digunakan baik oleh ortodox maupun Reform Jews yang tersebar di seluruh dunia.
Setelah dibentuknya Persemakmuran Yang Kedua di bawah pimpinan Ezra dan Nehemiah (lihat Kitab Nehemiah 8:8 dan 13:24), nyatalah betapa wajibnya Torah itu ditafsir agar semua orang dapat mengerti Kalam Tuhan.
Para guru melihat tafsiran ini sebagai sumber dari Tafsiran Aramiya Kuna yang dikenal dengan nama Targum, yang semula disampaikan secara lisan dan kemudian secara tertulis. Hal ini membuktikan bahwa Bani Israel telah lupa akan bahasa Aramiya atau dialek Kanaanit Kuna, yakni idiom yang digunakan di bagian besar dari Asia Barat. Semua ini agak gelap seperti seluruh sejarah Yahudi selama kekuasaan Persia (Iran).
Tharick Chehab menjelaskan Septuaginta, yakni terjemahan Greka (Yunani) adalah hasil dari kontak Israil dengan peradaban Hellenistic yang menguasai dunia pada masa itu. Sedangkan terjemahan bahasa
Arab dilakukan oleh Gaon Saadya ketika banyak orang-orang Yahudi berada di bawah kekuasaan Muslimin. Dan terjemahan Jerman dibuat oleh Mendelssohn dan madzhabnya pada permulaan dari suatu zaman baru yang membawa orang-orang Yahudi ke Eropa, di mana mereka itu berbicara suatu dialek Jerman, yakni Yuddish.
"Antara aneka terjemahan terdapat banyak keragu-raguan dan perbedaan pendapat," tutur Tharick Chehab.
Misalnya Philo dan orang-orang Iskandariya, yang seagama dengannya melihat terjemahan Septuaginta sebagai suatu karya dari lebih kurang 70 orang yang diilhami, sedangkan para Rabbani Palestina berpendapat bahwa Torah tidak dapat diterjemahkan. Ada cukup bukti bahwa akibat dari aneka terjemahan itu kurang disukai, tetapi awam terima saja dengan baik dari pada tidak faham sama sekali.
Perubahan terjadi selama dua generasi terakhir setelah kontak dengan peradaban yang berbahasa Inggris.
Para penterjemah ke dalam bahasa Inggris, baik di USA, maupun di Inggris sendiri, ada banyak sekali. Dan tahun 1892-1901, Jewish Publication Society of America membuat terjemahan baru.
Pada tahun 1908 badan tersebut bersama Central Conference of American Rabbis mengeluarkan terjemahan lebih baru di mana diperhatikan aneka saduran; baik yang baru maupun yang kuna; teristimewa Septuaginta, saduran-saduran dari Aquila, Symmachus dan Theodotion, Targum-Targum, Pesyitta, Vulgata dan saduran Arab dan Saadya, juga sindiran-sindiran dari tafsiran-tafsiran Yahudi dan para ahli pada abad pertengahan.
"Pokoknya, Yahudi tidak mau menerima interpretasi Kristen dan aneka terjemahan bukan Yahudi (Goyim) berada dalam Kitab Suci Yahudi, walaupun mereka berhutang budi atas karya-karya terdahulu yang dilaksanakan oleh Goyim, seperti oleh Wycliffe, Tyndale, Converdale dan sebagainya, sedangkan Vulgata, saduran Inggris dan Douai, tetap digunakan orang-orang Katholik Romawi.
Adapun teks dan susunan Kitab-kitab Suci terjemahan, yang sekarang menuruti tradisi Yahudi, terbagi atas tiga juz, yakni:
1. Hukum (Law, Torah, Pentateuchos),
2. Nabi-Nabi (Prophets, Nebi'im), dan
3. Tulisan-tulisan (Writings, Ketubim).
Tharick Chehab mengatakan dalam Nebi'im dan Ketubim, susunan Kitab-kitabnya berbeda-beda dalam tulisan atau antara para ahli Yahudi; namun demikian tidak ada kitab yang dipindahkan dari juz-juznya. Misalnya Kitab-kitab Rut, Nudub Yermia dan Daniel terdapat di juz Ketubim, dan tidak di juz Nebi'im seperti halnya dalam saduran-saduran Goyim.
Menurut Tharick Chehab, yang pertama mengatur segala-galanya, jumlah hurufnya dan seterusnya serta pengumpul semua catatan-catatan yang dikenal sebagai Masorah, adalah Yakob ben Haim Ibn Adoniyah, penerbit dari Kitab Suci Rabbani yang kedua. Ada banyak ulama yang bekerja dalam bidang ini seperti misalnya Wolf Heidenheim, S. Frensdorff, S. Baer dan C.D. Ginsburg; teks yang terakhir ini banyak digunakan di Synagoge.
Menurutnya, Renaissance dari Yudaisme baru timbul ketika orang-orang Yahudi bebas menjalankan agamanya di bawah kekuasaan Muslimin. Karenanya ulama Yahudi tidak lagi berbahasa Aramiya atau dialek Kildani, apalagi menulisnya, mereka tidak dapat membaca aneka Kitab Sucinya. Oleh sebab itu mereka hanya mengikuti tradisi lisan secara turun-temurun.
Terpengaruh oleh peradaban, kebudayaan dan philology Arab, para ulama Yahudi berkumpul untuk berusaha memelihara Kitab Sucinya, yang diawali di Tiberias antara abad ke VI dan abad ke IX, dengan mencoba-coba menghidupkan huruf-huruf mati dan memberi titik-titik pada huruf yang bentuknya sama tetapi ucapannya lain.
Usaha ini diakhiri pada abad ke XI. Terjemahan yang terbaru, yang dibantu oleh aneka saduran yang terlebih dahulu dan musyawarah dengan ahli-ahli Yahudi, ini digunakan baik oleh ortodox maupun Reform Jews yang tersebar di seluruh dunia.
Setelah dibentuknya Persemakmuran Yang Kedua di bawah pimpinan Ezra dan Nehemiah (lihat Kitab Nehemiah 8:8 dan 13:24), nyatalah betapa wajibnya Torah itu ditafsir agar semua orang dapat mengerti Kalam Tuhan.
Para guru melihat tafsiran ini sebagai sumber dari Tafsiran Aramiya Kuna yang dikenal dengan nama Targum, yang semula disampaikan secara lisan dan kemudian secara tertulis. Hal ini membuktikan bahwa Bani Israel telah lupa akan bahasa Aramiya atau dialek Kanaanit Kuna, yakni idiom yang digunakan di bagian besar dari Asia Barat. Semua ini agak gelap seperti seluruh sejarah Yahudi selama kekuasaan Persia (Iran).
Tharick Chehab menjelaskan Septuaginta, yakni terjemahan Greka (Yunani) adalah hasil dari kontak Israil dengan peradaban Hellenistic yang menguasai dunia pada masa itu. Sedangkan terjemahan bahasa
Arab dilakukan oleh Gaon Saadya ketika banyak orang-orang Yahudi berada di bawah kekuasaan Muslimin. Dan terjemahan Jerman dibuat oleh Mendelssohn dan madzhabnya pada permulaan dari suatu zaman baru yang membawa orang-orang Yahudi ke Eropa, di mana mereka itu berbicara suatu dialek Jerman, yakni Yuddish.
"Antara aneka terjemahan terdapat banyak keragu-raguan dan perbedaan pendapat," tutur Tharick Chehab.
Misalnya Philo dan orang-orang Iskandariya, yang seagama dengannya melihat terjemahan Septuaginta sebagai suatu karya dari lebih kurang 70 orang yang diilhami, sedangkan para Rabbani Palestina berpendapat bahwa Torah tidak dapat diterjemahkan. Ada cukup bukti bahwa akibat dari aneka terjemahan itu kurang disukai, tetapi awam terima saja dengan baik dari pada tidak faham sama sekali.
Perubahan terjadi selama dua generasi terakhir setelah kontak dengan peradaban yang berbahasa Inggris.
Para penterjemah ke dalam bahasa Inggris, baik di USA, maupun di Inggris sendiri, ada banyak sekali. Dan tahun 1892-1901, Jewish Publication Society of America membuat terjemahan baru.
Pada tahun 1908 badan tersebut bersama Central Conference of American Rabbis mengeluarkan terjemahan lebih baru di mana diperhatikan aneka saduran; baik yang baru maupun yang kuna; teristimewa Septuaginta, saduran-saduran dari Aquila, Symmachus dan Theodotion, Targum-Targum, Pesyitta, Vulgata dan saduran Arab dan Saadya, juga sindiran-sindiran dari tafsiran-tafsiran Yahudi dan para ahli pada abad pertengahan.
"Pokoknya, Yahudi tidak mau menerima interpretasi Kristen dan aneka terjemahan bukan Yahudi (Goyim) berada dalam Kitab Suci Yahudi, walaupun mereka berhutang budi atas karya-karya terdahulu yang dilaksanakan oleh Goyim, seperti oleh Wycliffe, Tyndale, Converdale dan sebagainya, sedangkan Vulgata, saduran Inggris dan Douai, tetap digunakan orang-orang Katholik Romawi.
Adapun teks dan susunan Kitab-kitab Suci terjemahan, yang sekarang menuruti tradisi Yahudi, terbagi atas tiga juz, yakni:
1. Hukum (Law, Torah, Pentateuchos),
2. Nabi-Nabi (Prophets, Nebi'im), dan
3. Tulisan-tulisan (Writings, Ketubim).
Tharick Chehab mengatakan dalam Nebi'im dan Ketubim, susunan Kitab-kitabnya berbeda-beda dalam tulisan atau antara para ahli Yahudi; namun demikian tidak ada kitab yang dipindahkan dari juz-juznya. Misalnya Kitab-kitab Rut, Nudub Yermia dan Daniel terdapat di juz Ketubim, dan tidak di juz Nebi'im seperti halnya dalam saduran-saduran Goyim.
Menurut Tharick Chehab, yang pertama mengatur segala-galanya, jumlah hurufnya dan seterusnya serta pengumpul semua catatan-catatan yang dikenal sebagai Masorah, adalah Yakob ben Haim Ibn Adoniyah, penerbit dari Kitab Suci Rabbani yang kedua. Ada banyak ulama yang bekerja dalam bidang ini seperti misalnya Wolf Heidenheim, S. Frensdorff, S. Baer dan C.D. Ginsburg; teks yang terakhir ini banyak digunakan di Synagoge.