Kisah Sufi: Maruf Si Tukang Sepatu dengan Istri yang Berhati Busuk
loading...
A
A
A
Ketika diberitahu bahwa raja akan memberikan putrinya kepadanya, Maruf pun berkata kepada Wazir, "Katakan kepada Yang Mulia bahwa hingga nanti kafilah hamba tiba, terisi penuh permata tak ternilai dan sejenisnya, hamba belum mampu mempersembahkan hadiah sepantasnya bagi seorang istri-putri, dan karena itu aku mohon agar pernikahan kami ditunda dulu."
Mengetahui hal itu, Sang Raja pun segera membuka perbendaharaan hartanya bagi Maruf agar ia bisa memilih apa pun yang dibutuhkannya bagi suatu cara hidup yang dianggapnya patut, dan mengambil hadiah yang sesuai dengan kedudukannya sebagai menantu raja.
Belum pernah ada pernikahan seperti itu di Negara tersebut maupun lainnya. Tak hanya tanda mata yang dibagikan berupa segenggam penuh permata, tetapi juga kepada setiap orang yang mendengar tentang pernikahan itu diberikan sebuah hadiah mewah. Perayaan berlangsung empat puluh hari lamanya dalam kemegahan yang tak tertandingi.
Ketika akhirnya keduanya sendiri saja, Maruf berkata kepada pengantinnya, "Aku telah mengambil begitu banyak harta ayahmu sehingga hatiku susah," sebab ia merasa hatinya ciut. "Tak usah dipikirkan lagi," kata Sang Putri, "nanti kalau kafilahmu sudah datang, semua akan teratasi."
Sementara itu, Wazir menghasut raja agar menyelidiki keadaan Maruf yang sebenarnya. Mereka berdua pun meminta bantuan Sang Putri, yang setuju saja untuk mencari tahu, pada saat yang tepat, kebenaran dari perkara itu.
Malam harinya, ketika mereka berbaring berpelukan, putri itu meminta suaminya menjelaskan perihal kafilahnya yang hilang. Maruf baru saja hari itu juga mengatakan pada temannya, Ali, bahwa ia memang mempunyai sebuah kafilah penuh barang tak ternilai. Namun kini, ia memutuskan mengungkapkan yang sebenarnya. "Aku tak punya kafilah," katanya, "dan meskipun dugaan Wazir benar, perkataannya didorong oleh kerakusan semata. Ayahmu pun memberi kau padaku karena kerakusannya. Lalu, kenapa pula kau setuju menikahiku?"
"Kau suamiku," jawab Sang Putri, "dan aku tak akan pernah mempermalukanmu. Ambillah lima puluh ribu keping uang emas ini, tinggalkan negeri ini, kemudian kirimlah sebuah pesan dari tempat yang aman, dan aku akan menyusulmu ke sana. Sementara itu, aku akan mengamati perkembangan keadaan istana." Di kegelapan malam itu juga, Maruf kabur mengenakan pakaian seorang budak.
Dan, ketika Sang Raja dan penasihatnya meminta Putri Dunia menceritakan hasil penyelidikannya, ia berkata, "Ayah tersayang dan Wazir yang berjasa, aku baru saja mau mengajukan pertanyaan itu kepada suamiku, Maruf, tadi malam, ketika suatu peristiwa aneh terjadi."
"Peristiwa apa gerangan?" tanya keduanya serempak.
"Sepuluh orang Mameluke, berpakaian sangat mewah, muncul di jendela kamar kami; mereka membawa sepucuk surat dari kepala kafilah Maruf. Isi surat itu mengatakan bahwa kafilah terlambat tiba ke istana sebab sekelompok orang Badui menyerang mereka, menewaskan lima puluh dari lima ratus pengawal, lalu membawa kabur sejumlah barang dagangan beserta dua ratus muatan unta."
"Dan apa yang dikatakan Maruf?"
"Katanya, tak mengapa. Dua ratus muatan dan lima puluh nyawa bukan apa-apa. Namun, ia segera pula berkuda menjemput kafilah itu untuk membawanya kemari."
Demikianlah Sang Putri mengulur-ulur waktu.
Ada pun Maruf bersicepat memacu kudanya, tanpa tahu tujuan, hingga dilihatnya seorang petani membajak sebidang sawah. Si Tukang Sepatu pun mengucapkan salam, dan petani itu berkata, keluar dari kebaikan hatinya, "Jadilah tamuku, Hamba Agung dari Raja yang Mulia. Akan hamba bawakan makanan untuk kita santap bersama."
Si Petani pun bergegas, dan Maruf, yang tersentuh oleh kebaikan orang itu, melanjutkan membajak tanah, sebagai sumbangan bagi kesejahteraannya. Belum lagi ia membuat banyak galur, cangkulnya terbentur sebongkah batu. Ketika disingkirkannya batu itu, tampaklah ada anak tangga menuju bawah tanah. Di bawah sana terdapat sebuah kamar luas, penuh harta tak ternilai.
Di dalam sebuah kotak hablur ada sebuah cincin, yang oleh Maruf diambil dan digosok. Tiba-tiba saja suatu bayangan aneh mewujud, yang berseru, "Ini aku, pelayanmu, Tuanku."
Maruf mengetahui bahwa jin itu dikenal sebagai Bapak Kebahagian, dan bahwa ia salah satu pemimpin jin yang paling berkuasa, dan bahwa harta itu milik raja zaman dahulu, Raja Shaddad, putra Aad. Bapak Kebahagian kini menjadi pelayan Maruf.
Si Tukang Sepatu menyuruh jin itu membawa harta karun tersebut ke permukiman tanah. Kemudian, dimuatnya semua itu di atas puluhan unta, bagal, dan kuda, buatan Sang Jin. Berbagai macam barang berharga pun dibuat oleh jin-jin lain yang mengabdi pada Bapak Kebahagian, dan segera saja kafilah Maruf siap berangkat.
Mengetahui hal itu, Sang Raja pun segera membuka perbendaharaan hartanya bagi Maruf agar ia bisa memilih apa pun yang dibutuhkannya bagi suatu cara hidup yang dianggapnya patut, dan mengambil hadiah yang sesuai dengan kedudukannya sebagai menantu raja.
Belum pernah ada pernikahan seperti itu di Negara tersebut maupun lainnya. Tak hanya tanda mata yang dibagikan berupa segenggam penuh permata, tetapi juga kepada setiap orang yang mendengar tentang pernikahan itu diberikan sebuah hadiah mewah. Perayaan berlangsung empat puluh hari lamanya dalam kemegahan yang tak tertandingi.
Baca Juga
Ketika akhirnya keduanya sendiri saja, Maruf berkata kepada pengantinnya, "Aku telah mengambil begitu banyak harta ayahmu sehingga hatiku susah," sebab ia merasa hatinya ciut. "Tak usah dipikirkan lagi," kata Sang Putri, "nanti kalau kafilahmu sudah datang, semua akan teratasi."
Sementara itu, Wazir menghasut raja agar menyelidiki keadaan Maruf yang sebenarnya. Mereka berdua pun meminta bantuan Sang Putri, yang setuju saja untuk mencari tahu, pada saat yang tepat, kebenaran dari perkara itu.
Malam harinya, ketika mereka berbaring berpelukan, putri itu meminta suaminya menjelaskan perihal kafilahnya yang hilang. Maruf baru saja hari itu juga mengatakan pada temannya, Ali, bahwa ia memang mempunyai sebuah kafilah penuh barang tak ternilai. Namun kini, ia memutuskan mengungkapkan yang sebenarnya. "Aku tak punya kafilah," katanya, "dan meskipun dugaan Wazir benar, perkataannya didorong oleh kerakusan semata. Ayahmu pun memberi kau padaku karena kerakusannya. Lalu, kenapa pula kau setuju menikahiku?"
"Kau suamiku," jawab Sang Putri, "dan aku tak akan pernah mempermalukanmu. Ambillah lima puluh ribu keping uang emas ini, tinggalkan negeri ini, kemudian kirimlah sebuah pesan dari tempat yang aman, dan aku akan menyusulmu ke sana. Sementara itu, aku akan mengamati perkembangan keadaan istana." Di kegelapan malam itu juga, Maruf kabur mengenakan pakaian seorang budak.
Dan, ketika Sang Raja dan penasihatnya meminta Putri Dunia menceritakan hasil penyelidikannya, ia berkata, "Ayah tersayang dan Wazir yang berjasa, aku baru saja mau mengajukan pertanyaan itu kepada suamiku, Maruf, tadi malam, ketika suatu peristiwa aneh terjadi."
"Peristiwa apa gerangan?" tanya keduanya serempak.
"Sepuluh orang Mameluke, berpakaian sangat mewah, muncul di jendela kamar kami; mereka membawa sepucuk surat dari kepala kafilah Maruf. Isi surat itu mengatakan bahwa kafilah terlambat tiba ke istana sebab sekelompok orang Badui menyerang mereka, menewaskan lima puluh dari lima ratus pengawal, lalu membawa kabur sejumlah barang dagangan beserta dua ratus muatan unta."
Baca Juga
"Dan apa yang dikatakan Maruf?"
"Katanya, tak mengapa. Dua ratus muatan dan lima puluh nyawa bukan apa-apa. Namun, ia segera pula berkuda menjemput kafilah itu untuk membawanya kemari."
Demikianlah Sang Putri mengulur-ulur waktu.
Ada pun Maruf bersicepat memacu kudanya, tanpa tahu tujuan, hingga dilihatnya seorang petani membajak sebidang sawah. Si Tukang Sepatu pun mengucapkan salam, dan petani itu berkata, keluar dari kebaikan hatinya, "Jadilah tamuku, Hamba Agung dari Raja yang Mulia. Akan hamba bawakan makanan untuk kita santap bersama."
Si Petani pun bergegas, dan Maruf, yang tersentuh oleh kebaikan orang itu, melanjutkan membajak tanah, sebagai sumbangan bagi kesejahteraannya. Belum lagi ia membuat banyak galur, cangkulnya terbentur sebongkah batu. Ketika disingkirkannya batu itu, tampaklah ada anak tangga menuju bawah tanah. Di bawah sana terdapat sebuah kamar luas, penuh harta tak ternilai.
Di dalam sebuah kotak hablur ada sebuah cincin, yang oleh Maruf diambil dan digosok. Tiba-tiba saja suatu bayangan aneh mewujud, yang berseru, "Ini aku, pelayanmu, Tuanku."
Maruf mengetahui bahwa jin itu dikenal sebagai Bapak Kebahagian, dan bahwa ia salah satu pemimpin jin yang paling berkuasa, dan bahwa harta itu milik raja zaman dahulu, Raja Shaddad, putra Aad. Bapak Kebahagian kini menjadi pelayan Maruf.
Si Tukang Sepatu menyuruh jin itu membawa harta karun tersebut ke permukiman tanah. Kemudian, dimuatnya semua itu di atas puluhan unta, bagal, dan kuda, buatan Sang Jin. Berbagai macam barang berharga pun dibuat oleh jin-jin lain yang mengabdi pada Bapak Kebahagian, dan segera saja kafilah Maruf siap berangkat.