Kebijakan 2 Khalifah Dinasti Umayyah yang Tetap Berpengaruh hingga Kini

Minggu, 05 Februari 2023 - 14:22 WIB
loading...
A A A


Menurut Cak Nur, tampaknya masa lalu Islam itu yang paling otoritatif, sudah tentu, ialah masa Nabi sendiri. Tetapi, sepanjang mengenai pelaksanaan pemerintahan sehari-hari, masa Umar ibn al-Khathab nampak paling banyak dijadikan rujukan. Maka kaum Umawi di Damaskus itu, dalam masalah pemerintahan menurut pengertian seluas-luasnya, jika pemerintahan itu harus dijalankan dengan norma-norma keislaman, banyak melanjutkan rintisan dan percontohan Umar ibn al-Khathab, dengan berbagai modifikasi dan penyesuaian.

Oleh karena itu ketika para qadli sebagai pemegang semacam kekuasaan yudikatif di daerah-daerah (Abd al-Malik adalah orang pertama melembagakan jabatan qadli itu), banyak referensi dilakukan kepada preseden yang ada dalam sejarah Islam. Maka dengan begitu secara berangsur tumbuhlah yurisprudensi Islam, yang kelak melahirkan disiplin terpisah dalam ilmu-ilmu keagamaan Islam, yaitu ilmu fiqh.

Menurut Cak Nur, perkataan Arab "fiqh" sendiri berarti "paham" (dalam makna "mengerti"). Penggunaan perkataan "fiqh" sebenarnya merujuk kepada beberapa firman Allah, antara lain, "Kami (Tuhan) telah merinci berbagai ayat untuk kaum yang mengerti" (ber-fiqh) ( QS al-An'am 6 :98), dan. "... Maka hendaklah dari setiap golongan ada satu kelompok orang yang pergi (mencurahkan perhatian) untuk memahami agama secara mendalam (ber-tafaqquh) ..." ( QS al-Taubah/9 :122.

Jadi yang dimaksudkan dengan perkataan fiqh dalam firman-firman itu pendalaman ajaran keagamaan secara menyeluruh. Tapi karena dominasi dan supremasi persoalan penataan kembali masyarakat saat-saat dini sejarah Islam, khususnya pada masa dinasti Marwani itu (antara lain karena urgensi mengatasi dan menyudahi fitnah yang berkelarutan), maka segi hukum dari agama juga amat dominan dan supreme, sehingga pengetahuan mengenai masalah-masalah hukum pun dianggap fiqh par excellence.



Keadaan serupa itu bertahan hampir sepanjang sejarah Islam sesudah masa Marwani, sampai sekarang. Ini tercermin dalam bagaimana sebagian besar kaum Muslim mempersepsi agamanya sebagai terutama sistem hukum.

Keperluan kepada bahan rujukan dari masa lalu (preseden) untuk menetapkan hukum lambat-laun tumbuh manjadi kesadaran tentang otoritas tradisi (sunnah) yang sah (valid). Maka perhatian kepada cerita, anekdot, dan penuturan tentang para tokoh masa lalu itu, khususnya tentang Nabi sendiri dan para Sahabat, tapi juga tentang tokoh-tokoh generasi ketiga umat Islam, menjadi semakin besar. Ini semua kelak disistematisasi dan dikritik, untuk selanjutnya dikodifikasi, oleh para sarjana hadits seperti al-Bukhari, Muslim, dll.

Umar bin Abdul Aziz

Para ahli mengatakan bahwa gerakan perorangan untuk mencatat hadis telah terjadi sejak masa sangat awal sejarah Islam, rupanya malah sejak masa nabi sendiri. Tapi sejarah mencatat bahwa dorongan paling kuat ke arah sana itu dimulai oleh Khalifah Umar ibn Abd al-Aziz (ibn Marwan) yang dikenal sebagai Umar II (memerintah 717-720) karena mengingatkan orang kepada Khalifah Umar ibn al-Khattab.

Umar II sebenarnya hanya melanjutkan kecenderungan yang sudah ada pada kaum Marwani atau Umawi, khususnya sejak kekhalifahan Abd al-Malik ibn Marwan. Dorongan yang amat kuat untuk menyudahi berbagai fitnah yang telah meninggalkan kesan-kesan penuh trauma itu telah mengharuskan kaum Marwani atau Umawi untuk menunjukkan sikap-sikap yang lebih akomodatif dan kompromistis.



Dalam rangka ini, tindakan terpenting ialah mengakui Ali sebagai khalifah yang sah, pada urutan keempat. Menurut Cak Nur, artinya, Utsman, anggota-anggota klan mereka, tetap lebih unggul daripada Ali, namun Ali lebih unggul daripada Mu'awiyah, juga anggota klan mereka tapi menjadi musuh Ali.

Dengan begitu kaum Marwani atau Umawi meletakkan landasan dialog intern Islam yang meliputi semua, yang di situ setiap kelompok memperoleh kehormatannya, sedikit atau pun banyak.

Tradisi ini berkembang dan tumbuh kuat, dan menjadi dasar paham yang kini merupakan anutan terbesar kaum Muslim di dunia, yaitu paham yang menggabungkan antara ideologi Jama'ah (persatuan dan kesatuan) dan ideologi Sunnah (paham yang memandang otoritas masa lalu dan tradisi yang sah sebagai bahan rujukan), maka disebut Ahl al-Sunnah wa 'l-Jama'ah, biasa disingkat dengan Ahl al-Sunnah, lebih singkat lagi, golongan Sunni.

Muawiyah bin Abu Sofyan

Selain 2 khalifah tersebut, sudah barang tentu leluhur mereka, Muawiyah bin Abu Sofyan adalah khalifah yang tak kalah hebatnya. Muawiyah disebut-sebut lebih piawai dibanding pendahulunya, Ali bin Abi Thalib.

Ibnu Taimiyah dalam polemiknya dengan kaum Syi'ah, sebagaimana dikutip Cak Nur, masih sempat menunjuk kepada kenyataan bahwa sementara Ali mendapat dukungan bagi kekhalifahannya hanya dari sebagian umat Islam, Mu'awiyah mendapat dukungan yang boleh dikata universal.



Ini, dalam pandangan Ibnu Taimiyah, menunjukkan segi tertentu kelebihan Mu'awiyah atas Ali, meskipun ia tetap secara keseluruhan mengunggulkan Ali atas lawannya itu.
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2271 seconds (0.1#10.140)