Kisah Sa’id bin Musayya Tolak Putra Khalifah Abdul Malik dan Pilih Duda Miskin sebagai Menantu
loading...
A
A
A
Said bin Musayyab adalah seorang tabiin yang zuhud. Beliau menolak pinangan al-Walid,putra Khalifah Abdul Malik untuk putrinya, dan justru memilih duda miskin sebagai menantu.
Pemuda itu adalah Abu Wadaah. Ia amat tekun hadir di Masjid Nabawi untuk menuntut ilmu. Pemuda ini sering menghadiri halaqah Said bin Musayyab.
Pernah beberapa hari pemuda ini tidak menghadiri menghadiri majelis tersebut. Said bin Musayyab mengira dirinya sedang sakit atau ada yang menghalanginya untuk hadir. Beliau bertanya kepada beberapa orang di sekitarnya namun tidak pula mendapat berita tentang diriku.
Beberapa hari kemudian Abu Wardah menghadiri majelis beliau kembali. Beliau segera memberi salam lalu bertanya, "Ke mana saja engkau, wahai Abu Wadaah?"
"Istriku meninggal sehingga aku sibuk mengurusnya," jawabnya.
"Kalau saja engkau memberi tahu aku wahai Abu Wadaah, tentulah aku akan takziyah, menghadiri jenazahnya dan membantu segala kesulitanmu," ujar Said.
"Jazakallahu khairan, semoga Allah membalas kebaikan Anda," sambut Abu Wardah.
Ketika Abu Wardah bermaksud pulang, Said bin Musyyad meminta dirinya untuk menunggu sampai semua orang di majelis itu pulang. "Apakah engkau sudah berpikir untuk menikah lagi wahai Abu Wadaah?" tanya Said bin Musayyab begitu sebagian orang telah pulang.
"Semoga Allah merahmati Anda, siapa gerangan yang mau menikahkan putrinya dengan aku, sedang aku hanyalah seorang pemuda yang lahir dalam keadaan yatim dan hidup dalam keadaan fakir. Harta yang kumiliki tak lebih dari dua atau tiga dirham saja," jawab Abu Wardaah.
"Aku akan menikahkan engkau dengan putriku," ujar Said dengan wajah serius.
Abu Wardaah terkejut dan terheran-heran. "Anda wahai Syaikh? Anda akan menikahkan putri Anda denganku padahal Anda telah mengetahui keadaanku seperti ini?" tanyanya keheranan.
"Ya, benar. Bila seseorang datang kepada kami dan kami suka kepada agama serta akhlaknya, maka akan kami nikahkan. Sedangkan engkau di mata kami termasuk orang yang kami sukai agama dan akhlaknya," ujarnya.
Lalu beliau menoleh kepada orang yang berdekatan dengan mereka berdua, dan beliau memanggilnya. Begitu mereka datang dan berkumpul, beliau bertahmid dan bershalawat, lalu menikahkan Abu Wardaah dengan putrinya. Maharnya uang dua dirham saja. Abu Wardaah berdiri dan tak mampu berkata-kata lantaran heran bercampur gembira, lalu iapun bergegas untuk pulang. Saat itu Abu Wardaah sedang shaum hingga lupa akan shaumnya.
"Celaka wahai Abu Wadaah, apa yang telah kau perbuat atas dirimu? Kepada siapa engkau akan meminjam uang untuk keperluanmu? Kepada siapa engkau akan meminta uang itu?" ujar Abu Wardah pada dirinya sendiri.
Ia sibuk memikirkan hal itu hingga Maghrib tiba. Setelah ia tunaikan kewajibannya, ia duduk untuk menyantap makanan berbuka berupa roti dan zaitun. Selagi dirinya mendapatkan satu atau dua suapan, mendadak terdengar olehnya ketukan pintu. "Siapa?" tanyanya.
"Said," jawab orang di luar.
Abu Wardaah mengira bahwa yang datang adalah Said yang dikenal kecuali Syaikh Said bin Musayyab. Sebab selama 20 tahun, beliau tidak pernah terlihat kecuali di tempat antara rumahnya sampai dengan Masjid Nabawi.
Pemuda itu adalah Abu Wadaah. Ia amat tekun hadir di Masjid Nabawi untuk menuntut ilmu. Pemuda ini sering menghadiri halaqah Said bin Musayyab.
Pernah beberapa hari pemuda ini tidak menghadiri menghadiri majelis tersebut. Said bin Musayyab mengira dirinya sedang sakit atau ada yang menghalanginya untuk hadir. Beliau bertanya kepada beberapa orang di sekitarnya namun tidak pula mendapat berita tentang diriku.
Beberapa hari kemudian Abu Wardah menghadiri majelis beliau kembali. Beliau segera memberi salam lalu bertanya, "Ke mana saja engkau, wahai Abu Wadaah?"
"Istriku meninggal sehingga aku sibuk mengurusnya," jawabnya.
"Kalau saja engkau memberi tahu aku wahai Abu Wadaah, tentulah aku akan takziyah, menghadiri jenazahnya dan membantu segala kesulitanmu," ujar Said.
"Jazakallahu khairan, semoga Allah membalas kebaikan Anda," sambut Abu Wardah.
Ketika Abu Wardah bermaksud pulang, Said bin Musyyad meminta dirinya untuk menunggu sampai semua orang di majelis itu pulang. "Apakah engkau sudah berpikir untuk menikah lagi wahai Abu Wadaah?" tanya Said bin Musayyab begitu sebagian orang telah pulang.
"Semoga Allah merahmati Anda, siapa gerangan yang mau menikahkan putrinya dengan aku, sedang aku hanyalah seorang pemuda yang lahir dalam keadaan yatim dan hidup dalam keadaan fakir. Harta yang kumiliki tak lebih dari dua atau tiga dirham saja," jawab Abu Wardaah.
"Aku akan menikahkan engkau dengan putriku," ujar Said dengan wajah serius.
Abu Wardaah terkejut dan terheran-heran. "Anda wahai Syaikh? Anda akan menikahkan putri Anda denganku padahal Anda telah mengetahui keadaanku seperti ini?" tanyanya keheranan.
"Ya, benar. Bila seseorang datang kepada kami dan kami suka kepada agama serta akhlaknya, maka akan kami nikahkan. Sedangkan engkau di mata kami termasuk orang yang kami sukai agama dan akhlaknya," ujarnya.
Lalu beliau menoleh kepada orang yang berdekatan dengan mereka berdua, dan beliau memanggilnya. Begitu mereka datang dan berkumpul, beliau bertahmid dan bershalawat, lalu menikahkan Abu Wardaah dengan putrinya. Maharnya uang dua dirham saja. Abu Wardaah berdiri dan tak mampu berkata-kata lantaran heran bercampur gembira, lalu iapun bergegas untuk pulang. Saat itu Abu Wardaah sedang shaum hingga lupa akan shaumnya.
"Celaka wahai Abu Wadaah, apa yang telah kau perbuat atas dirimu? Kepada siapa engkau akan meminjam uang untuk keperluanmu? Kepada siapa engkau akan meminta uang itu?" ujar Abu Wardah pada dirinya sendiri.
Ia sibuk memikirkan hal itu hingga Maghrib tiba. Setelah ia tunaikan kewajibannya, ia duduk untuk menyantap makanan berbuka berupa roti dan zaitun. Selagi dirinya mendapatkan satu atau dua suapan, mendadak terdengar olehnya ketukan pintu. "Siapa?" tanyanya.
"Said," jawab orang di luar.
Abu Wardaah mengira bahwa yang datang adalah Said yang dikenal kecuali Syaikh Said bin Musayyab. Sebab selama 20 tahun, beliau tidak pernah terlihat kecuali di tempat antara rumahnya sampai dengan Masjid Nabawi.