16 Kaidah dalam Surat Al-Baqarah Ayat 177, Terakhir Sabar saat Mendapat Cobaan
loading...
A
A
A
Para ulama menganggap surat Al-Baqarah ayat 177 dalam Al-Quran merupakan ayat yang agung yang mencakup banyak hukum-hukum syari'at; di dalamnya terkandung 16 kaidah. Apa saja?
Allah SWT berfirman:
۞ لَّيْسَ ٱلْبِرَّ أَن تُوَلُّوا۟ وُجُوهَكُمْ قِبَلَ ٱلْمَشْرِقِ وَٱلْمَغْرِبِ وَلَٰكِنَّ ٱلْبِرَّ مَنْ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ وَٱلْمَلَٰٓئِكَةِ وَٱلْكِتَٰبِ وَٱلنَّبِيِّۦنَ وَءَاتَى ٱلْمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِۦ ذَوِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْيَتَٰمَىٰ وَٱلْمَسَٰكِينَ وَٱبْنَ ٱلسَّبِيلِ وَٱلسَّآئِلِينَ وَفِى ٱلرِّقَابِ وَأَقَامَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَى ٱلزَّكَوٰةَ وَٱلْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَٰهَدُوا۟ ۖ وَٱلصَّٰبِرِينَ فِى ٱلْبَأْسَآءِ وَٱلضَّرَّآءِ وَحِينَ ٱلْبَأْسِ ۗ أُو۟لَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ صَدَقُوا۟ ۖ وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُتَّقُونَ
Artinya: Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan sholat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa. [ QS al-Baqarah 2 :177]
Al-Qurthubi sebagaimana dikutip Syaikh Prof Dr Umar bin Abdullah al-Muqbil dalam Li Yaddabbaru Ayatih menyebut 16 kaidah tersebut. Yakni, iman kepada Allah dan nama-nama dan sifat-Nya, hari kebangkitan, hari berkumpul, hari perhitungan, shirot, haudh, syafa'ah, surga, neraka, dan juga mengandung tentang Malaikat, kitab-kitab yang diturunkan, infaq, menyambung kekerabatan, berbuat baik kepada anak yatim dan orang miskin, dan berbuat baik kepada orang yang sedang dalam perjalanan, kewajiban mendirikan sholat dan membayar zakat, kewajiban menepati janji, dan sabar atas segala cobaan.
Dalam kaitan itu menarik sekali memperhatikan komentar A Yusuf Ali dalam "The Holy Qur'an" atas firman yang amat penting ini. Dikatakannya: "Seakan untuk menekankan lagi peringatan melawan formalisme yang mematikan, kita diberi gambaran yang indah tentang orang yang salih dan takut kepada Tuhan.
Orang itu harus mentaati aturan-aturan yang membawa kebaikan, tapi ia harus memusatkan pandangannya kepada cinta Tuhan dan cinta sesama manusia.
Kita diberi empat pokok: (1) iman kita harus sejati dan tulus; (2) kita harus memperlihatkannya dalam tindakan-tindakan kebaikan kepada sesama kita; (3) kita harus menjadi warga masyarakat yang baik, yang mendukung organisasi-organisasi sosial; dan (4) jiwa pribadi kita sendiri harus teguh dan tidak goyah dalam segala keadaan. "Keempat pokok itu saling berkaitan, tapi masih dapat dipandang secara terpisah."
Iman bukanlah semata-mata perkara ucapan. Kita harus menyadari kehadiran Tuhan dan kebaikan-Nya. Jika kita sadari itu, hal-hal besar menjadi kecil di depan mata kita segala kepalsuan dan sifat sementara dunia ini akan tidak lagi memperbudak kita, sebab kita melihat Hari Kemudian seolah-olah terjadi sekarang ini.
Kita juga melihat karya Ilahi dalam alam ciptaan-Nya, dan ajaran-ajaran-Nya yang tidak lagi berada jauh dari kita, melainkan datang dalam pengalaman kita sendiri.
Tindakan-tindakan derma yang praktis mempunyai nilai hanya jika keluar dari rasa cinta dan tidak dari motif-motif yang lain.
Dalam hal ini, juga, kewajiban kita dapat berbentuk berbagai macam, berujud jenjang yang wajar; sanak keluarga kita, anak-anak yatim (termasuk siapa saja yang tidak punya topangan hidup atau bantuan); orang yang benar-benar memerlukan pertolongan tetapi tidak pernah meminta (kewajiban kita menemukan mereka itu), dan mereka didahulukan sebelum orang yang meminta, dan memang berhak untuk meminta, yakni, bukan sekadar pengemis yang malas tetapi orang yang memerlukan bantuan kita dalam bentuk tertentu (kewajiban kita untuk tanggap kepada mereka); dan budak-budak (kita harus melakukan apa saja yang dapat kita lakukan untuk memberi atau membeli kemerdekaan mereka).
Perbudakan mengandung berbagai bentuk yang tersembunyi dan berbahaya dan semuanya tercakup di situ," demikian A Yusuf Ali.
Sedangkan Muhammad Asad dalam "The Message of the Qur'an" saat menafsir firman itu, menegaskan bahwa al-Qur'an menekankan prinsip yang semata-mata mengikuti bentuk-bentuk lahiriah tidaklah memenuhi persyaratan kebajikan. Disebutnya masalah menghadapkan wajah ke arah ini atau itu dalam sembahyang adalah kelanjutan dari pembahasan tentang kiblat dalam urutan ayat-ayat sebelumnya.
Sedangkan dalam Tafsir as-Sa'di oleh Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa'di menjelaskan firman Allah: “Bukankah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan,” maksudnya, hal itu bukanlah suatu kebajikan yang dimaksudkan dari hamba, sehingga banyaknya pembahasan dan perdebatan tentangnya adalah merupakan usaha yang melelahkan yang tidak menghasilkan kecuali perpecahan dan perselisihan.
Ini sejalan dengan sabda Rasulullah: “Bukanlah orang yang perkasa itu adalah dengan perkelahian akan tetapi orang yang perkasa itu adalah orang yang mampu menahan dirinya di saat marah,” (HR Bukhari 6114, Muslim 2609) dan dalam hadits-hadits yang semacamnya.
Cendekiawan Muslim, Prof Dr Nurcholish Madjid, MA (1939 – 2005) atau populer dipanggil Cak Nur mengatakan dan memang menghadapkan muka ke arah tertentu dalam ibadat hanyalah bentuk formal lahiriah semata dari sebuah amalan, sehingga tidak seharusnya dipandang dalam kerangka sebagai tujuan dalam dirinya sendiri sementara tujuan yang sebenarnya terlupakan.
"Agama kita mengajarkan bahwa formalitas ritual belaka tidaklah cukup sebagai wujud keagamaan yang benar," ujar Cak Nur, dalam buku berjudul "Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah" saat membahas masalah simbol dan simbolisme dalam ekspresi keagamaan. .
"Tidak pula segi-segi lahiriah itu akan mengantarkan kita menuju kebahagiaan, sebelum kita mengisinya dengan hal-hal yang lebih esensial. Justru sikap-sikap membatasi diri hanya kepada hal-hal ritualistik dan formal akan sama dengan peniadaan tujuan agama yang hakiki," demikian Cak Nur.
Allah SWT berfirman:
۞ لَّيْسَ ٱلْبِرَّ أَن تُوَلُّوا۟ وُجُوهَكُمْ قِبَلَ ٱلْمَشْرِقِ وَٱلْمَغْرِبِ وَلَٰكِنَّ ٱلْبِرَّ مَنْ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ وَٱلْمَلَٰٓئِكَةِ وَٱلْكِتَٰبِ وَٱلنَّبِيِّۦنَ وَءَاتَى ٱلْمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِۦ ذَوِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْيَتَٰمَىٰ وَٱلْمَسَٰكِينَ وَٱبْنَ ٱلسَّبِيلِ وَٱلسَّآئِلِينَ وَفِى ٱلرِّقَابِ وَأَقَامَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَى ٱلزَّكَوٰةَ وَٱلْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَٰهَدُوا۟ ۖ وَٱلصَّٰبِرِينَ فِى ٱلْبَأْسَآءِ وَٱلضَّرَّآءِ وَحِينَ ٱلْبَأْسِ ۗ أُو۟لَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ صَدَقُوا۟ ۖ وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُتَّقُونَ
Artinya: Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan sholat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa. [ QS al-Baqarah 2 :177]
Al-Qurthubi sebagaimana dikutip Syaikh Prof Dr Umar bin Abdullah al-Muqbil dalam Li Yaddabbaru Ayatih menyebut 16 kaidah tersebut. Yakni, iman kepada Allah dan nama-nama dan sifat-Nya, hari kebangkitan, hari berkumpul, hari perhitungan, shirot, haudh, syafa'ah, surga, neraka, dan juga mengandung tentang Malaikat, kitab-kitab yang diturunkan, infaq, menyambung kekerabatan, berbuat baik kepada anak yatim dan orang miskin, dan berbuat baik kepada orang yang sedang dalam perjalanan, kewajiban mendirikan sholat dan membayar zakat, kewajiban menepati janji, dan sabar atas segala cobaan.
Dalam kaitan itu menarik sekali memperhatikan komentar A Yusuf Ali dalam "The Holy Qur'an" atas firman yang amat penting ini. Dikatakannya: "Seakan untuk menekankan lagi peringatan melawan formalisme yang mematikan, kita diberi gambaran yang indah tentang orang yang salih dan takut kepada Tuhan.
Orang itu harus mentaati aturan-aturan yang membawa kebaikan, tapi ia harus memusatkan pandangannya kepada cinta Tuhan dan cinta sesama manusia.
Kita diberi empat pokok: (1) iman kita harus sejati dan tulus; (2) kita harus memperlihatkannya dalam tindakan-tindakan kebaikan kepada sesama kita; (3) kita harus menjadi warga masyarakat yang baik, yang mendukung organisasi-organisasi sosial; dan (4) jiwa pribadi kita sendiri harus teguh dan tidak goyah dalam segala keadaan. "Keempat pokok itu saling berkaitan, tapi masih dapat dipandang secara terpisah."
Iman bukanlah semata-mata perkara ucapan. Kita harus menyadari kehadiran Tuhan dan kebaikan-Nya. Jika kita sadari itu, hal-hal besar menjadi kecil di depan mata kita segala kepalsuan dan sifat sementara dunia ini akan tidak lagi memperbudak kita, sebab kita melihat Hari Kemudian seolah-olah terjadi sekarang ini.
Kita juga melihat karya Ilahi dalam alam ciptaan-Nya, dan ajaran-ajaran-Nya yang tidak lagi berada jauh dari kita, melainkan datang dalam pengalaman kita sendiri.
Tindakan-tindakan derma yang praktis mempunyai nilai hanya jika keluar dari rasa cinta dan tidak dari motif-motif yang lain.
Dalam hal ini, juga, kewajiban kita dapat berbentuk berbagai macam, berujud jenjang yang wajar; sanak keluarga kita, anak-anak yatim (termasuk siapa saja yang tidak punya topangan hidup atau bantuan); orang yang benar-benar memerlukan pertolongan tetapi tidak pernah meminta (kewajiban kita menemukan mereka itu), dan mereka didahulukan sebelum orang yang meminta, dan memang berhak untuk meminta, yakni, bukan sekadar pengemis yang malas tetapi orang yang memerlukan bantuan kita dalam bentuk tertentu (kewajiban kita untuk tanggap kepada mereka); dan budak-budak (kita harus melakukan apa saja yang dapat kita lakukan untuk memberi atau membeli kemerdekaan mereka).
Perbudakan mengandung berbagai bentuk yang tersembunyi dan berbahaya dan semuanya tercakup di situ," demikian A Yusuf Ali.
Sedangkan Muhammad Asad dalam "The Message of the Qur'an" saat menafsir firman itu, menegaskan bahwa al-Qur'an menekankan prinsip yang semata-mata mengikuti bentuk-bentuk lahiriah tidaklah memenuhi persyaratan kebajikan. Disebutnya masalah menghadapkan wajah ke arah ini atau itu dalam sembahyang adalah kelanjutan dari pembahasan tentang kiblat dalam urutan ayat-ayat sebelumnya.
Sedangkan dalam Tafsir as-Sa'di oleh Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa'di menjelaskan firman Allah: “Bukankah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan,” maksudnya, hal itu bukanlah suatu kebajikan yang dimaksudkan dari hamba, sehingga banyaknya pembahasan dan perdebatan tentangnya adalah merupakan usaha yang melelahkan yang tidak menghasilkan kecuali perpecahan dan perselisihan.
Ini sejalan dengan sabda Rasulullah: “Bukanlah orang yang perkasa itu adalah dengan perkelahian akan tetapi orang yang perkasa itu adalah orang yang mampu menahan dirinya di saat marah,” (HR Bukhari 6114, Muslim 2609) dan dalam hadits-hadits yang semacamnya.
Cendekiawan Muslim, Prof Dr Nurcholish Madjid, MA (1939 – 2005) atau populer dipanggil Cak Nur mengatakan dan memang menghadapkan muka ke arah tertentu dalam ibadat hanyalah bentuk formal lahiriah semata dari sebuah amalan, sehingga tidak seharusnya dipandang dalam kerangka sebagai tujuan dalam dirinya sendiri sementara tujuan yang sebenarnya terlupakan.
"Agama kita mengajarkan bahwa formalitas ritual belaka tidaklah cukup sebagai wujud keagamaan yang benar," ujar Cak Nur, dalam buku berjudul "Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah" saat membahas masalah simbol dan simbolisme dalam ekspresi keagamaan. .
"Tidak pula segi-segi lahiriah itu akan mengantarkan kita menuju kebahagiaan, sebelum kita mengisinya dengan hal-hal yang lebih esensial. Justru sikap-sikap membatasi diri hanya kepada hal-hal ritualistik dan formal akan sama dengan peniadaan tujuan agama yang hakiki," demikian Cak Nur.
(mhy)