Asmaul Husna: Ketika Abu Jahal dan Kaum Musyrik Anggap Nabi SAW Tak Konsisten

Sabtu, 18 Februari 2023 - 09:37 WIB
loading...
Asmaul Husna: Ketika Abu Jahal dan Kaum Musyrik Anggap Nabi SAW Tak Konsisten
Abu Jahal dan pengikutnya menganggap Rasulullah SAW tidak konsisten dalam mengajarkan tauhid. Foto/Ilustrasi: Ist
A A A
Asmaul husna atau nama-nama Allah yang indah, pada awalnya mengundang kebingungan bagi kaum musyrik jahiliyah. Karena salah paham, mereka mengira bahwa Nabi tidak konsisten dalam mengajarkan paham Ketuhanan Yang Maha Esa.

Abu Jahal dan pengikutnya menganggap Rasulullah SAW tidak konsisten. "Muhammad melarang kita menyembah dua Tuhan, dan sekarang ia sendiri menyembah Tuhan yang lain lagi," ujar Abu Jahal tatkala mendengar Nabi di suatu malam dalam bersujud beliau mengucapkan: "Ya Allah, ya Rahman".



Cendekiawan Muslim, Prof Dr Nurcholish Madjid, MA (1939 – 2005) atau populer dipanggil Cak Nur mengatakan zikir atau ingat kepada Tuhan adalah salah satu bentuk ritus yang amat penting dalam agama Islam. Sebetulnya zikir adalah lebih banyak sikap hati (dzat al-shadr), yang secara langsung atau tidak, dapat dipahami dari berbagai sumber suci dalam al-Qur'an dan Sunnah.

"Namun zikir juga dapat melahirkan gejala formal, seperti pengucapan atau pembacaan kata-kata atau lafal-lafal tertentu dari perbendaharaan keagamaan, khususnya kata-kata atau lafal yang berkaitan dengan Tuhan seperti "Allah" dan "La ilaha illa 'l-lah".

Selain lafal "Allah" sebagai lafal keagungan (lafzh al-jalalah) karena merupakan nama Wujud Maha Tinggi yang utama juga terdapat lafal-lafal lain yang merupakan nama-nama Wujud Maha Tinggi itu, seperti al-Rahman, al-Rahim, al-Ghaffar, al-Razzaq, dll, dari antara nama-nama terbaik (al-asma al-husna) Tuhan.

Dalam Kitab Suci al-Qur'an terdapat sebuah firman yang isinya petunjuk kepada Nabi SAW menghadapi orang-orang musyrik Arab yang menolak adanya nama lain, selain nama "Allah" untuk Wujud Maha Tinggi. Sebab pada saat itu al-Qur'an mulai banyak menggunakan nama al-Rahman, yang selama ini tidak dikenal orang Arab yang selama ini menggunakan nama Allah (al-Lah).

"Karena salah paham, kaum musyrik Arab mengira bahwa Nabi tidak konsisten dalam mengajarkan paham Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam pandangan mereka yang keliru itu, jika Dzat Yang Mutlak itu mempunyai nama lain, berarti Ia tidak Maha Esa, melainkan berbilang sebanyak nama yang digunakan," ujar Cak Nur dalam buku berjudul "Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah" saat membahas masalah simbol dan simbolisme dalam ekspresi keagamaan.



Turunlah firman Allah, memberi petunjuk kepada Nabi dalam menghadapi mereka:

"Katakan (hai Muhammad), "Serulah olehmu sekalian (nama) Allah atau serulah olehmu sekalian (nama) al-Rahman, nama manapun yang kamu serukan, maka bagi Dia adalah nama-nama yang terbaik". Dan janganlah engkau (Muhammad) mengeraskan sholatmu, jangan pula kau lirihkan, dan carilah jalan tengah antara keduanya." (QS. al-Isra'/17:110).

Menurut Sayyid Quthub dalam Fi Zhilal al-Qur'an, firman Allah itu mengandung makna bahwa manusia dibenarkan memanggil atau menyeru dan menamakan Tuhan mereka sekehendak mereka sesuai dengan nama-nama-Nya yang paling baik (al-asma al-husna).

Firman itu juga merupakan sanggahan terhadap kaum Jahiliah yang mengingkari nama "al-Rahman", selain nama "Allah".

Berkenaan dengan alasan turunnya firman itu, tafsir-tafsir klasik menuturkan adanya Hadis dari Ibn Abbas, bahwa di suatu malam nabi beribadat, dan dalam bersujud beliau mengucapkan: "Ya Allah, ya Rahman".

Ketika Abu Jahal, tokoh musyrik Mekkah yang sangat memusuhi kaum beriman, mendengar tentang ucapan Nabi dalam sujud itu, ia berkata: "Dia (Muhammad) melarang kita menyembah dua Tuhan, dan sekarang ia sendiri menyembah Tuhan yang lain lagi."

Ada juga penuturan bahwa ayat itu turun kepada Nabi karena kaum Ahl al-Kitab pernah mengatakan kepada beliau, "Engkau (Muhammad) jarang menyebut nama al-Rahman, padahal Allah banyak menggunakan nama itu dalam Taurat."

Maka turunnya ayat itu tidak lain ialah untuk menegaskan bahwa kedua nama itu sama saja, dan keduanya menunjuk kepada Hakikat, Dzat atau Wujud yang satu dan sama.



Zamakhsyari, al-Baidlawi dan al-Nasafi menegaskan bahwa kata ganti nama "Dia" dalam kalimat "maka bagi Dia adalah nama-nama yang terbaik" dalam ayat itu mengacu tidak kepada nama "Allah" atau "al-Rahman", melainkan kepada sesuatu yang dinamai, yaitu Dzat (Esensi) Wujud Yang Maha Mutlak itu. Sebab suatu nama tidaklah diberikan kepada nama yang lain, tetapi kepada suatu dzat atau esensi. Jadi, Dzat Yang Maha Esa itulah yang bernama "Allah" dan atau "al-Rahman" serta nama-nama terbaik lainnya, bukannya "Allah" bernama "al -Rahman" atau "al-Rahim".

Jadi yang bersifat Maha Esa itu bukanlah Nama-Nya, melainkan Dzat atau Esensi-Nya, sebab Dia mempunyai banyak nama. Karena itu al-Baidlawi menegaskan bahwa paham Tauhid bukanlah ditujukan kepada nama, melainkan kepada esensi. Maka Tauhid yang benar ialah "Tauhid al-Dzat" bukan "Tawhid al-Ism" (Tauhid Esensi, bukan Tauhid Nama).
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1434 seconds (0.1#10.140)