6 Penyebab Kejahilan, Terakhir Mengklaim Sudah Capai Tingkat Kesucian Tertentu
loading...
A
A
A
Pernyataan al-Qur'an tentang keberadaan Tuhan sangat jelas. Kendati demikian, masih ada juga orang-orang yang, karena kejahilannya tentang Allah, melanggar batas-batas tersebut. Imam al-Ghazali dalam bukunya berjudul "The Alchemy of Happiness" yang diterjemahkan Haidar Bagir menjadi "Kimia Kebahagiaan" mengatakan kejahilan ini bisa disebabkan karena berbagai sebab.
Pertama, ada orang yang gagal menemukan Allah lewat pengamatan, lantas menyimpulkan bahwa Allah itu tidak ada dan bahwa dunia yang penuh keajaiban-keajaiban ini menciptakan dirinya sendiri atau ada dari keabadian.
Mereka bagaikan seseorang yang melihat suatu huruf yang tertulis dengan indah kemudian menduga bahwa tulisan itu tertulis dengan sendirinya tanpa ada penulisnya, atau memang sudah selalu ada.
Orang-orang dengan cara berpikir semacam ini sudah terlalu jauh tersesat sehingga berdebat dengan mereka akan sedikit sekali manfaatnya.
Kedua, sejumlah orang yang, akibat kejahilan tentang sifat jiwa yang sebenarnya, menolak doktrin kehidupan akhirat, tempat manusia akan diminta pertanggungjawabannya dan diberi balasan baik atau dihukum. Mereka anggap diri mereka sendiri sebagai tidak lebih baik daripada hewan-hewan atau sayur-sayuran, dan sama-sama bisa musnah.
Ketiga, di lain pihak, ada orang yang percaya pada Allah dan kehidupan akhirat, tapi hanya dengan iman yang lemah. Mereka berkata kepada diri mereka sendiri. "Allah itu Maha Besar dan tidak tergantung pada kita; kita beribadah atau tidak merupakan masalah yang sama sekali tidak penting bagi Dia."
Mereka berpikir seperti orang sakit yang ketika oleh dokter diberi peraturan pengobatan tertentu kemudian berkata: "Yah, saya ikuti atau tidak, apa urusannya dengan dokter itu."
Tentunya hal ini tidak berakibat apa-apa terhadap dokter tersebut, tetapi pasien itu bisa merusak dirinya sendiri akibat ketidaktaatannya.
Sebagaimana pastinya penyakit jasad yang tak terobati berakhir dengan kematian jasad, begitu pula penyakit jiwa yang tak tersembuhkan akan berakhir dengan kepedihan di masa datang. Sesuai dengan kata-kata al-Qur'an: "Orang-orang yang akan diselamatkan hanyalah yang datang kepada Allah dengan hati yang bersih."
Keempat, adalah orang-orang kafir yang berkata: "Syariah mengajarkan kepada kita untuk menahan amarah, nafsu dan kemunafikan. Hal ini jelas tidak mungkin dilaksanakan, mengingat manusia diciptakan dengan kualitas-kualitas bawaan seperti ini di dalam dirinya. Sama saja dengan kamu meminta agar kami jelmakan yang hitam menjadi putih."
Menurut Imam al-Ghazali, orang-orang jahil itu sama sekali buta akan kenyataan bahwa syariah tidak mengajarkan kita untuk mencerabut nafsu-nafsu ini, melainkan untuk meletakkan mereka di dalam batas-batasnya. Sehingga, dengan menghindar dari dosa-dosa besar, kita bisa mendapatkan ampunan atas dosa-dosa kita yang lebih kecil.
Bahkan, Nabi SAW berkata: "Saya adalah manusia seperti kamu juga, dan marah seperti yang lain-lain." Dan di dalam al-Qur'an tertulis: "Allah mencintai orang-orang yang menahan amarahnya," bukan orang-orang yang tidak punya marah sama sekali.
Kelima, adalah kelompok yang menonjol-nonjolkan kemurahan Allah seraya mengabaikan keadilan-Nya, kemudian berkata kepada dirinya sendiri: "Ya, apa pun yang kita kerjakan, Allah Maha Pemaaf."
Mereka tidak berpikir bahwa meskipun Allah itu bersifat pemaaf, beribu-ribu manusia hancur secara menyedihkan karena kelaparan dan penyakit.
Mereka mengetahui bahwa siapa saja yang menginginkan suatu kehidupan, kemakmuran atau kepintaran, tidak boleh sekadar berkata, "Tuhan Maha Pemaaf," tetapi mesti berusaha sendiri dengan keras.
Meskipun al-Qur'an berkata: "Semua makhluk hidup rizkinya datang dari Allah," di sana tertulis pula: "Manusia tidak mendapatkan sesuatu kecuali dengan berusaha." Kenyataannya adalah: ajaran semacam itu berasal dari setan, dan orang-orang seperti itu hanya berbicara dengan bibirnya, tidak dengan hatinya.
Keenam, adalah kelompok yang mengklaim sebagai telah mencapai suatu tingkat kesucian tertentu sehingga dosa tidak dapat lagi mempengaruhi mereka. Meski demikian, jika anda perlakukan salah seorang di antara mereka dengan tidak hormat, dia akan menaruh dendam terhadap anda selama bertahun-tahun.
Pertama, ada orang yang gagal menemukan Allah lewat pengamatan, lantas menyimpulkan bahwa Allah itu tidak ada dan bahwa dunia yang penuh keajaiban-keajaiban ini menciptakan dirinya sendiri atau ada dari keabadian.
Mereka bagaikan seseorang yang melihat suatu huruf yang tertulis dengan indah kemudian menduga bahwa tulisan itu tertulis dengan sendirinya tanpa ada penulisnya, atau memang sudah selalu ada.
Orang-orang dengan cara berpikir semacam ini sudah terlalu jauh tersesat sehingga berdebat dengan mereka akan sedikit sekali manfaatnya.
Kedua, sejumlah orang yang, akibat kejahilan tentang sifat jiwa yang sebenarnya, menolak doktrin kehidupan akhirat, tempat manusia akan diminta pertanggungjawabannya dan diberi balasan baik atau dihukum. Mereka anggap diri mereka sendiri sebagai tidak lebih baik daripada hewan-hewan atau sayur-sayuran, dan sama-sama bisa musnah.
Ketiga, di lain pihak, ada orang yang percaya pada Allah dan kehidupan akhirat, tapi hanya dengan iman yang lemah. Mereka berkata kepada diri mereka sendiri. "Allah itu Maha Besar dan tidak tergantung pada kita; kita beribadah atau tidak merupakan masalah yang sama sekali tidak penting bagi Dia."
Mereka berpikir seperti orang sakit yang ketika oleh dokter diberi peraturan pengobatan tertentu kemudian berkata: "Yah, saya ikuti atau tidak, apa urusannya dengan dokter itu."
Tentunya hal ini tidak berakibat apa-apa terhadap dokter tersebut, tetapi pasien itu bisa merusak dirinya sendiri akibat ketidaktaatannya.
Sebagaimana pastinya penyakit jasad yang tak terobati berakhir dengan kematian jasad, begitu pula penyakit jiwa yang tak tersembuhkan akan berakhir dengan kepedihan di masa datang. Sesuai dengan kata-kata al-Qur'an: "Orang-orang yang akan diselamatkan hanyalah yang datang kepada Allah dengan hati yang bersih."
Keempat, adalah orang-orang kafir yang berkata: "Syariah mengajarkan kepada kita untuk menahan amarah, nafsu dan kemunafikan. Hal ini jelas tidak mungkin dilaksanakan, mengingat manusia diciptakan dengan kualitas-kualitas bawaan seperti ini di dalam dirinya. Sama saja dengan kamu meminta agar kami jelmakan yang hitam menjadi putih."
Menurut Imam al-Ghazali, orang-orang jahil itu sama sekali buta akan kenyataan bahwa syariah tidak mengajarkan kita untuk mencerabut nafsu-nafsu ini, melainkan untuk meletakkan mereka di dalam batas-batasnya. Sehingga, dengan menghindar dari dosa-dosa besar, kita bisa mendapatkan ampunan atas dosa-dosa kita yang lebih kecil.
Bahkan, Nabi SAW berkata: "Saya adalah manusia seperti kamu juga, dan marah seperti yang lain-lain." Dan di dalam al-Qur'an tertulis: "Allah mencintai orang-orang yang menahan amarahnya," bukan orang-orang yang tidak punya marah sama sekali.
Kelima, adalah kelompok yang menonjol-nonjolkan kemurahan Allah seraya mengabaikan keadilan-Nya, kemudian berkata kepada dirinya sendiri: "Ya, apa pun yang kita kerjakan, Allah Maha Pemaaf."
Mereka tidak berpikir bahwa meskipun Allah itu bersifat pemaaf, beribu-ribu manusia hancur secara menyedihkan karena kelaparan dan penyakit.
Mereka mengetahui bahwa siapa saja yang menginginkan suatu kehidupan, kemakmuran atau kepintaran, tidak boleh sekadar berkata, "Tuhan Maha Pemaaf," tetapi mesti berusaha sendiri dengan keras.
Meskipun al-Qur'an berkata: "Semua makhluk hidup rizkinya datang dari Allah," di sana tertulis pula: "Manusia tidak mendapatkan sesuatu kecuali dengan berusaha." Kenyataannya adalah: ajaran semacam itu berasal dari setan, dan orang-orang seperti itu hanya berbicara dengan bibirnya, tidak dengan hatinya.
Keenam, adalah kelompok yang mengklaim sebagai telah mencapai suatu tingkat kesucian tertentu sehingga dosa tidak dapat lagi mempengaruhi mereka. Meski demikian, jika anda perlakukan salah seorang di antara mereka dengan tidak hormat, dia akan menaruh dendam terhadap anda selama bertahun-tahun.