KH Hasyim Asy'ari: Perbedaan dalam Furu' Sudah Terjadi Sejak Era Sahabat Nabi SAW
loading...
A
A
A
Menurut Cak Nur, ciri umum masyarakat Muslim saat itu ialah suasana traumatis terhadap perpecahan dan perselisihan, sehingga yang muncul sebagai dambaan atau obsesi utama masyarakat, ialah ketenangan dan ketenteraman.
Cak Nur mengatakan agaknya dambaan mereka tercapai, tapi dengan ongkos yang amat mahal, yaitu stagnasi atau kemandekan. Sebab ketenangan dan ketenteraman itu mereka 'beli' dengan menutup dan mengekang kreativitas intelektual dan penjelasan, atas nama doktrin taqlid dan tertutupnya ijtihad.
Ketidakberanian mengambil risiko salah dalam penelitian dan penjelajahan itu kemudian dirasionalisasikan dengan argumen: Apa yang telah dihasilkan para imam mazhab dan pendukung-pendukung mereka itu seolah-olah sudah 'final', dan apapun produk pemikiran mereka harus diterima sebagai berlaku 'sekali dan untuk selamanya'.
Ditambah lagi dengan keadaan politik negeri-negeri Muslim yang telah mulai kehilangan 'elan vital'-nya antara lain karena banyaknya serbuan-serbuan militer dari Asia Tengah seperti dari kalangan bangsa-bangsa Turki dan Mongol, maka dambaan kepada ketenangan dan ketenteraman menjadi semakin beralasan, yang kemudian lambat laun berkembang menjadi semacam etos di kalangan kaum Muslim di seluruh dunia.
Menurut Cak Nur, karena orisinalitas pemikiran tidak berkembang lagi, maka yang terjadi ialah pengulangan dan penghafalan yang sudah ada. Dan karena pemikiran kritis juga terkekang, maka tercipta suasana bagi tumbuhnya mitos-mitos.
"Jadi tidak berlebihan jika masa itu sering ditunjuk sebagai permulaan kemunduran peradaban Islam, yang kemudian kelak, berakhir dengan kekalahan mereka oleh ummat-ummat lain, khususnya bangsa-bangsa Eropa," demikian Cak Nur.
Cak Nur mengatakan agaknya dambaan mereka tercapai, tapi dengan ongkos yang amat mahal, yaitu stagnasi atau kemandekan. Sebab ketenangan dan ketenteraman itu mereka 'beli' dengan menutup dan mengekang kreativitas intelektual dan penjelasan, atas nama doktrin taqlid dan tertutupnya ijtihad.
Ketidakberanian mengambil risiko salah dalam penelitian dan penjelajahan itu kemudian dirasionalisasikan dengan argumen: Apa yang telah dihasilkan para imam mazhab dan pendukung-pendukung mereka itu seolah-olah sudah 'final', dan apapun produk pemikiran mereka harus diterima sebagai berlaku 'sekali dan untuk selamanya'.
Ditambah lagi dengan keadaan politik negeri-negeri Muslim yang telah mulai kehilangan 'elan vital'-nya antara lain karena banyaknya serbuan-serbuan militer dari Asia Tengah seperti dari kalangan bangsa-bangsa Turki dan Mongol, maka dambaan kepada ketenangan dan ketenteraman menjadi semakin beralasan, yang kemudian lambat laun berkembang menjadi semacam etos di kalangan kaum Muslim di seluruh dunia.
Menurut Cak Nur, karena orisinalitas pemikiran tidak berkembang lagi, maka yang terjadi ialah pengulangan dan penghafalan yang sudah ada. Dan karena pemikiran kritis juga terkekang, maka tercipta suasana bagi tumbuhnya mitos-mitos.
"Jadi tidak berlebihan jika masa itu sering ditunjuk sebagai permulaan kemunduran peradaban Islam, yang kemudian kelak, berakhir dengan kekalahan mereka oleh ummat-ummat lain, khususnya bangsa-bangsa Eropa," demikian Cak Nur.
(mhy)