Argumen Kalam Asyari Berkenaan dengan Penciptaan Alam Raya

Sabtu, 11 Maret 2023 - 17:03 WIB
loading...
Argumen Kalam Asyari Berkenaan dengan Penciptaan Alam Raya
Prof Dr Nurcholish Madjid, MA. Foto/Ilustrasi: Ist
A A A
Cendekiawan muslim, Prof Dr Nurcholish Madjid, MA (17 Maret 1939 – 29 Agustus 2005) atau populer dipanggil Cak Nur mengatakan sebagaimana halnya dengan setiap pembahasan teologis, pusat argumentasi Kalam Asy'ari berada pada upayanya untuk membuktikan adanya Tuhan yang menciptakan seluruh jagad raya, dan bahwa jagad raya itu ada karena diciptakan Tuhan "dari ketiadaan" (min al-'adam, ex nihilo).

Dalam bukunya berjudul "Islam, Doktrin dan Peradaban" Cak Nur lalu lalu mengutip penjelasan sarjana Muslim moderen, al-Alousi, tentang argumen Kalam berkenaan dengan penciptaan alam raya ini. Menurut al-Alousi, ada enam argumen yang digunakan para tokoh Ilmu Kalam untuk membuktikan tidak abadinya alam raya:



(1) Argumen dari sifat berlawanan benda-benda sederhana (basith): unsur-unsur dasar alam raya (tanah, air, dan lain-lain) dan sifat-sifat dasarnya (panas, dingin, berat, ringan dan lain-lain) semuanya saling berlawanan, namun kita dapati dalam kenyataan tergabung (murakkab); penggabungan itu memerlukan sebab, yaitu Pencipta.

(2) Argumen dari pengalaman: Penciptaan dari ketiadaan (al-ijad min al-'adam, creatio ex nihilo) tidaklah berbeda dari pengalaman kita, sebab, melalui perubahan, bentuk lama hilang dan bentuk baru muncul dari ketiadaan.

(3) Argumen dari adanya akhir untuk gerak, waktu, dan obyek-obyek temporal: gerak tidak mungkin berasal dari masa tak berpermulaan, sebab mustahil bagi gerak itu mundur dalam waktu secara tak terhingga (tasalsul, infinite, temporal regress), sebab bagian yang terhingga tidak mungkin ditambahkan satu sama lain untuk menghasilkan keseluruhan yang tak terhingga; karena itu jagad dan gerak tentu mempunyai permulaan.

Gerak tidak mungkin ada dari awal tanpa permulaan (azal, eternity), sebab mustahil bagi gerak itu mundur dalam waktu secara tak terhingga, karena sesuatu yang tak terhingga tidak dapat dilintasi. Atau lagi, jika pada suatu titik waktu mana pun, deretan tak terhingga, telah berlangsung, maka pada titik tertentu sebelumnya hanya suatu deretan terhingga saja yang telah berlangsung; tetapi titik tertentu itu terpisah dari lainnya oleh suatu sisipan yang terhingga; oleh karena itu seluruh deretan waktu itu terhingga dan diciptakan.



(4) Argumen dari keterhinggaan jagad: karena jagad ini tersusun dari bagian-bagian yang terhingga, maka ia pun terhingga pula; segala sesuatu yang terhingga adalah sementara; oleh karena itu jagad adalah sementara, yakni, mempunyai suatu permulaan dan diciptakan.

(5) Argumen dari kemungkinan (imkan, contingency): jagad ini tidaklah (secara rasional) pasti terwujud; oleh karena itu harus terdapat faktor penentu (mukhashshish, murajjih) yang membuat jagad itu terwujud, yaitu Pencipta.

(6) Argumen dari kesementaraan (huduts, temporality): benda tidak mungkin lepas dari kejadian ('aradl, accident) yang bersifat sementara; apa pun yang tidak dapat terwujud kecuali dengan hal yang bersifat sementara tentu bersifat sementara pula; karena itu seluruh jagad raya adalah sementara (hadits) dan tentu telah terciptakan (muhdats).

Menurut Cak Nur, sudah diisyaratkan di atas bahwa sebagian dari argumen itu diwarisi para pemikir Muslim dari falsafah Yunani. Beberapa failasuf Islam seperti Ibn Rusyd dan al-Suhrawardi memang menyebutkan nama Yahya al-Nahwi (Yahya si Ahli Tatabahasa, yaitu John Philoponus, meninggal sekitar tahun 580 M.), seorang pemikir Nasrani dari Iskandar, Mesir, telah merintis argumen "kalami" untuk adanya Tuhan dan terciptanya alam raya.

Namun di tangan kaum Muslim, khususnya para penganut paham Asy'ari, dan lebih khusus lagi al-Ghazali pribadi, argumen itu berkembang seperti ringkasan al-Alousi di atas, dan menjadi salah satu segi kontribusi alam pikiran Islam yang paling orisinal kepada alam pikiran umat manusia.

Karena itu semua, maka Ilmu Kalam menjadi karakteristik pemikiran mendasar yang amat khas Islam, yang membuat pembahasan teologis dalam agama itu berbeda dari yang ada dalam agama lain mana pun, baik dari segi isi maupun metodologi.



Sungguh sangat menarik bahwa dalam perkembangan teologis umat manusia, Ilmu Kalam seperti yang dipelopori oleh al-Asy'ari dan dikembangkan oleh al-Ghazali itu telah mempengaruhi banyak agama di dunia, khususnya yang bersentuhan langsung dengan Islam, yaitu Yahudi dan Kristen , sebegitu rupa. Sehingga banyak para pemikir Yahudi sendiri memandang bahwa agama Yahudi seperti yang ada sekarang ini adalah agama Yahudi yang dalam bidang teologi telah mengalami "pengislaman", seperti tercermin dalam pembahasan buku Austryn Wolfson, Repercussion of Kalam in Jewish Philosophy ("Pengaruh Kalam dalam Falsafah Yahudi ").

William Craig mengisyaratkan bahwa berbagai polemik teologis dan filosofis dalam Yahudi dan Kristen adalah karena pengaruh, dan merupakan kelanjutan, dari polemik teologis dan filosofis dalam Islam.

Menurut Cak Nur, seperti kita ketahui, dalam Islam terjadi polemik antara Kalam (ortodoks) dengan falsafah, diwakili oleh polemik posthumous antara al-Ghazali (Tahafut al-Falasifah, "Kerancuan para Failasuf') dan Ibn Rusyd (Tahafut al-Tahafut, "Kerancuannya Kerancuan").

Dalam Yahudi, polemik yang paralel juga telah terjadi, yaitu antara Saadia (pengaruh Kalam al-Ghazali) dengan Maimonides (pengaruh falsafah Ibn Rusyd), dan dalam Kristen polemik serupa ialah antara Bonaventure (pengaruh Kalam al-Ghazali) dan Thomas Aquinas (pengaruh falsafah Ibn Rusyd).



Berbesar Hati

Sekarang ini di zaman Modern, kata Cak Nur, para pengikut paham Asy'ari boleh merasa lebih mantap dan berbesar hati, sebab, sepanjang pembahasan William Craig, seorang ahli filsafat moderen dari Berkeley, California, ilmu pengetahuan mutakhir, khususnya teori-teori tentang asal kejadian alam raya seperti teori ledakan besar dalam Astronomi moderen, sangat menunjang argumen-argumen Ilmu Kalam, khususnya dalam pandangan bahwa alam raya berpermulaan dalam suatu titik waktu di masa lampau, dan bahwa ia diciptakan dari tiada.

Sebagai seorang filsuf non-religi, Craig tetap skeptis tentang apakah Tuhan itu mempunyai sifat-sifat seperti yang dibicarakan dalam Ilmu Kalam. Namun ia menyimpulkan pembahasannya dengan mengakui validitas argumen Kalam tentang adanya Tuhan:

"Jadi telah disimpulkan tentang adanya suatu Khaliq yang personal bagi alam raya yang ada tanpa berubah dan lepas sebelum penciptaan dan dalam waktu sesudah penciptaan. Inilah inti pusat apa yang oleh kaum Ketuhanan dimaksudkan dengan 'Tuhan'. Kita tidak melangkah lebih jauh dari itu. Argumen kosmologis kalam membimbing kita kepada adanya Khaliq yang personal bagi alam raya, namun perkara apakah Khaliq ini Mahakuasa, baik, sempurna, dan seterusnya, kita tidak akan membahas."

Meskipun skeptis tentang sifat-sifat Tuhan, namun, juga sebagai seorang failasuf non-religi, William Craig mengisyaratkan bahwa setelah terjadi kesimpulan mantap tentang adanya Tuhan, sepatutnya kita melihat apakah Tuhan itu "pernah" menyatakan Diri melalui wahyu-Nya seperti dikatakan dalam agama-agama, ataukah tidak.



Jika jawabnya afirmatif, itu berarti landasan keabsahan bagi agama. Dan kalau negatif, maka barangkali Aristoteles benar bahwa Tuhan itu adalah penggerak yang tak tergerakkan, dan bahwa Dia tetap jauh dan lepas dari jagad raya yang telah diciptakanNya.

Tentu saja para ahli Ilmu Kalam menolak konsep Aristoteles itu. Namun tetap bahwa kesimpulan failasuf moderen tersebut membuktikan segi paling tangguh dari paham Asy'ari sebagai doktrin 'aqidah Islamiah.

Paham Asy'ari dengan deretan argumennya itu, menurut Cak Nur, telah berjasa ikut memperkokoh konsep Ketuhanan dalam agama-agama besar, khususnya Islam sendiri, serta Yahudi dan Kristen. Dan jika Craig benar, paham Asy'ari juga akan berjasa ikut memperkokoh konsep Ketuhanan bagi manusia zaman mutakhir dengan ilmu-pengetahuan dan astronomi moderennya.
(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2771 seconds (0.1#10.140)