4 Pendapat tentang Masa Salaf yang Memiliki Otoritas setelah Nabi Muhammad SAW
loading...
A
A
A
Bung Karno , salah seorang Bapak Bangsa Indonesia, pernah berpesan bahwa agar kita berusaha menangkap "api" Islam, dan bukan "abu"-nya.
Cendekiawan muslim Nurcholish Madjid atau Cak Nur dalam bukunya berjudul "Islam Doktrin dan Peradaban" menyatakan salah satu yang dapat kita lakukan untuk menangkap "api" itu ialah mencoba memahami hakikat golongan Salaf .
Menurutnya, ini sejalan saja dengan apa yang sudah terjadi, yaitu kecenderungan kaum reformis dari kalangan orang-orangIslam untuk mencari model pada pengalaman sejarah umat Islam klasik.
Perkataan Arab "salaf" sendiri secara harfiah berarti "yang lampau." Biasanya ia dihadapkan dengan perkataan "khalaf', yang makna harfiahnya ialah "yang belakangan".
Kemudian, dalam perkembangan semantiknya, perkataan "salaf' memperoleh makna sedemikian rupa sehingga mengandung konotasi masa lampau yang berkewenangan atau berotoritas, sesuai dengan kecenderungan banyak masyarakat untuk melihat masa lampau sebagai masa yang berotoritas.
"Ini melibatkan masalah teologis, yaitu masalah mengapa masa lampau itu mempunyai otoritas, dan sampai di mana kemungkinan mengidentifikasi secara historis masa salaf itu," kata Cak Nur.
Dalam hal ini, para pemikir Islam tidak banyak menemui kesulitan. Masa lampau itu otoritatif karena dekat dengan masa hidup Nabi.
Sedangkan semuanya mengakui dan meyakini bahwa Nabi tidak saja menjadi sumber pemahaman ajaran agama Islam, tetapi sekaligus menjadi teladan realisasi ajaran itu dalam kehidupan nyata.
Oleh karena itu, sangat logis pandangan bahwa yang paling mengetahui dan memahami ajaran agama itu ialah mereka yang berkesempatan mendengarnya langsung dari Nabi, dan yang paling baik dalam melaksanakannya ialah mereka yang melihat praktik-praktik Nabi dan meneladaninya.
Selain logis, hadis-hadis pun banyak yang dapat dikutip untuk menopang pandangan itu.
Demikian pula dalam mengidentifikasi secara historis masa salaf itu, para sarjana Islam juga tidak mengalami kesulitan, meskipun terdapat beberapa pendapat tertentu di dalamnya.
Menurut Cak Nur, yang disepakati oleh semuanya ialah bahwa masa salaf itu, dengan sendirinya, dimulai oleh masa Nabi sendiri. Kemudian mereka mulai berbeda tentang "kesalafan" (dalam arti otoritas dan kewenangan) masa kekhalifahan Abu Bakar , ' Umar bin Khattab , Utsman dan Ali bin Abi Thalib , untuk tidak mengatakan masa-masa sesudah mereka.
Dalam hal ini dapat kita kenali adanya empat pendapat:
(1) Kaum Sunni berpendapat bahwa masa keempat khalifah itu adalah benar-benar otoritatif, berwenang, dan benar-benar salaf.
Kaum Sunni boleh dikata kelanjutan langsung atau tidak langsung dari masyarakat Islam masa Dinasti Umayyah , dengan berbagai unsur kompromi akibat usaha rekonsiliasi keseluruhan umat Islam, mengatasi sisa-sisa pengalaman traumatis fitnah-fitnah sebelumnya.
Usaha ini mengambil bentuknya yang paling penting dalam tindakan yang telah dimulai oleh Abd al-Malik ibn Marwan untuk merehabilitasi nama 'Ali, musuh Mu'awiyah, pendiri Dinasti Bani Umayyah, dan sejak itu mulai dikenal, secara historis, istilah al-Khulafa' al-Rasyidun yang empat).
Penyebutan tentang "Empat Khalifah" (istilah teknisnya dalam bahasa Arab ialah tarbi') sebetulnya melewati proses bertahap yang panjang. Mula-mula dalam khotbah-khotbah kaum Umawi menyebut tiga khalifah saja, yaitu selain 'Ali, dan kaum Syiah hanya menyebut 'Ali, tanpa yang lain-lain.
Cendekiawan muslim Nurcholish Madjid atau Cak Nur dalam bukunya berjudul "Islam Doktrin dan Peradaban" menyatakan salah satu yang dapat kita lakukan untuk menangkap "api" itu ialah mencoba memahami hakikat golongan Salaf .
Menurutnya, ini sejalan saja dengan apa yang sudah terjadi, yaitu kecenderungan kaum reformis dari kalangan orang-orangIslam untuk mencari model pada pengalaman sejarah umat Islam klasik.
Perkataan Arab "salaf" sendiri secara harfiah berarti "yang lampau." Biasanya ia dihadapkan dengan perkataan "khalaf', yang makna harfiahnya ialah "yang belakangan".
Kemudian, dalam perkembangan semantiknya, perkataan "salaf' memperoleh makna sedemikian rupa sehingga mengandung konotasi masa lampau yang berkewenangan atau berotoritas, sesuai dengan kecenderungan banyak masyarakat untuk melihat masa lampau sebagai masa yang berotoritas.
"Ini melibatkan masalah teologis, yaitu masalah mengapa masa lampau itu mempunyai otoritas, dan sampai di mana kemungkinan mengidentifikasi secara historis masa salaf itu," kata Cak Nur.
Dalam hal ini, para pemikir Islam tidak banyak menemui kesulitan. Masa lampau itu otoritatif karena dekat dengan masa hidup Nabi.
Sedangkan semuanya mengakui dan meyakini bahwa Nabi tidak saja menjadi sumber pemahaman ajaran agama Islam, tetapi sekaligus menjadi teladan realisasi ajaran itu dalam kehidupan nyata.
Oleh karena itu, sangat logis pandangan bahwa yang paling mengetahui dan memahami ajaran agama itu ialah mereka yang berkesempatan mendengarnya langsung dari Nabi, dan yang paling baik dalam melaksanakannya ialah mereka yang melihat praktik-praktik Nabi dan meneladaninya.
Selain logis, hadis-hadis pun banyak yang dapat dikutip untuk menopang pandangan itu.
Demikian pula dalam mengidentifikasi secara historis masa salaf itu, para sarjana Islam juga tidak mengalami kesulitan, meskipun terdapat beberapa pendapat tertentu di dalamnya.
Menurut Cak Nur, yang disepakati oleh semuanya ialah bahwa masa salaf itu, dengan sendirinya, dimulai oleh masa Nabi sendiri. Kemudian mereka mulai berbeda tentang "kesalafan" (dalam arti otoritas dan kewenangan) masa kekhalifahan Abu Bakar , ' Umar bin Khattab , Utsman dan Ali bin Abi Thalib , untuk tidak mengatakan masa-masa sesudah mereka.
Dalam hal ini dapat kita kenali adanya empat pendapat:
(1) Kaum Sunni berpendapat bahwa masa keempat khalifah itu adalah benar-benar otoritatif, berwenang, dan benar-benar salaf.
Kaum Sunni boleh dikata kelanjutan langsung atau tidak langsung dari masyarakat Islam masa Dinasti Umayyah , dengan berbagai unsur kompromi akibat usaha rekonsiliasi keseluruhan umat Islam, mengatasi sisa-sisa pengalaman traumatis fitnah-fitnah sebelumnya.
Usaha ini mengambil bentuknya yang paling penting dalam tindakan yang telah dimulai oleh Abd al-Malik ibn Marwan untuk merehabilitasi nama 'Ali, musuh Mu'awiyah, pendiri Dinasti Bani Umayyah, dan sejak itu mulai dikenal, secara historis, istilah al-Khulafa' al-Rasyidun yang empat).
Penyebutan tentang "Empat Khalifah" (istilah teknisnya dalam bahasa Arab ialah tarbi') sebetulnya melewati proses bertahap yang panjang. Mula-mula dalam khotbah-khotbah kaum Umawi menyebut tiga khalifah saja, yaitu selain 'Ali, dan kaum Syiah hanya menyebut 'Ali, tanpa yang lain-lain.