Nurcholish Madjid: Ajaran Tasawuf sebagai Ajaran Akhlak

Senin, 14 Oktober 2024 - 12:30 WIB
loading...
Nurcholish Madjid: Ajaran...
Nurcholish Madjid. Foto: Ist
A A A
CENDEKIAWAN Muslim Nurcholish Madjid atau Cak Nur mengatakan pengalaman mistis kaum Sufi harus dipandang sebagai bentuk pengalaman keagamaan yang sejati.

"Seperti pengalaman Nabi dalam Mikraj yang tak terlukiskan, sehingga karenanya juga tak terkomunikasikan. Pengalaman mistis kaum Sufi pun sesungguhnya berada di luar kemampuan rasio untuk menggambarkannya," tulisnya dalam bukunya berjudul "Islam Doktrin dan Peradaban".

Kaum Sufi gemar mengatakan bahwa untuk bisa mengetahui apa hakikat pengalaman itu, seseorang hanya harus mengalaminya sendiri. Mereka mempunyai perbendaharaan yang kaya untuk melukiskan kenyataan itu. Misalnya, tidak mungkinlah menjelaskan rasa manisnya madu jika orang tidak pernah mencicipinya sendiri.

Pengalaman mistis tertinggi menghasilkan situasi kejiwaan yang disebut ekstase. Dalam perbendaharaan kaum Sufi, ekstase itu sering dilukiskan sebagai keadaan mabuk kepayang oleh minuman kebenaran.



Kebenaran (al-haqq) digambarkan sebagai minuman keras atau khamar . Bahkan untuk sebagian mereka minuman yang memabukkan itu tidak lain ialah apa yang mereka namakan "dlamir al-sya'n," yaitu kata-kata "an" yang berarti "bahwa" dalam kalimat syahadat pertama, Asyhadu an la ilaha illa Llah" (Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah).

Pelukisan ini untuk menunjukkan betapa intensenya mereka menghayati Tauhid, sehingga mereka tidak menyadari apa pun yang lain selain Dia Yang Maha Ada.

Karena itu, suatu pengalaman mistis mungkin akan hanya sekali terjadi dalam hidup seorang, tanpa bisa diulangi. Inilah diumpamakan dengan turunnya "malam kepastian" (laylat al-qadar), yang dalam al-Qur'an disebutkan sebagai lebih baik dari seribu bulan.

Artinya, seorang yang mengalami satu momen menentukan itu, ia akan terpengaruh oleh pesan yang dibawa seumur hidupnya, yaitu sekitar seribu bulan atau delapan puluh tahun. Karena itu meskipun suatu pengalaman mistis sebagai suatu kejadian hanya bersifat sesaat (transitory), namun relevansinya bagi pembentukan budi pekerti akan bersifat abadi. Sebab dalam pengamalan intense sesaat itu orang berhasil menangkap suatu kebenaran yang utuh.



Kesadaran akan kebenaran yang utuh itulah yang menimbulkan rasa bahagia dan tenteram yang mendalam, suatu euphoria yang tak terlukiskan.

Dan itulah kemabukan mistis. Kemudian, suatu hal yang amat penting ialah bahwa euphoria itu sekaligus disertai dengan kesadaran akan posisi, arti, dan peran diri sendiri yang proporsional, yaitu "tahu diri" (ma'rifat al-nafs) yang tidak lebih daripada seorang makhluk yang harus tunduk-patuh dan pasrah bulat (Islam) kepada Sang Maha Pencipta (al-Khaliq).

Maka seorang Sufi, karena kepuasannya akan pengetahuan tentang Kebenaran, tidak banyak menuntut dalam hidup ini. Ia puas (qana'ah) dan lepas dari harapan kepada sesama makhluk. Ia bebas, karena ia merasa perlu (faqir) hanya kepada Allah yang dapat ia temui di mana saja melalui ibadat dan dzikir.

Ia menghayati kehadiran Tuhan dalam hidupnya melalui apresiasi akan nama-nama (kualitas-kualitas) Tuhan yang indah (al-asma al-husna), dan dengan apresiasi itu ia menemukan keutuhan dan keseimbangan dirinya

Hidup penuh sikap pasrah itu memang bisa mengesankan kepasifan dan eskapisme. Tapi sebagai dorongan hidup bermoral, pengalaman mistis kaum Sufi sebetulnya merupakan suatu kedahsyatan.



Karena itulah ajaran Tasawuf juga disebut sebagai ajaran akhlak. Dan akhlak yang hendak mereka wujudkan ialah yang merupakan "tiruan" akhlak Tuhan, sesuai dengan sabda Nabi yang mereka pegang teguh, "Berakhlaklah kamu semua dengan akhlak Allah."
(mhy)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1933 seconds (0.1#10.140)