Ketika Filsuf Islam Anggap Aristoteles sebagai Guru Pertama

Jum'at, 31 Maret 2023 - 19:47 WIB
loading...
Ketika Filsuf Islam...
Aristoteles sangat dihormati kalangan filsuf muslim. Foto/Ilustrasi: Ist
A A A
Benarkah para filsuf Muslim memandang Aristoteles sebagai "guru pertama" (al-mu'allim al-awwal)? Cendekiawan Muslim, Prof Dr Nurcholish Madjid, MA (17 Maret 1939 – 29 Agustus 2005) atau populer dipanggil Cak Nur menyebut demikian. Kaum muslim sangat menghormati Aristoteles.

Menurut Cak Nur , dari berbagai unsur pikiran Hellenik, Platonisme Baru (Neoplatonisme) adalah salah satu yang paling berpengaruh dalam sistem falsafah Islam.

"Neoplatonisme sendiri merupakan falsafah kaum musyrik (pagans), dan rekonsiliasinya dengan suatu agama wahyu menimbulkan masalah besar," ujar Cak Nur dalam bukunya berjudul "Islam Doktrin dan Peradaban".

Hanya saja, sebagai ajaran yang berpangkal pada pemikiran Plotinus (205-270 M), sebetulnya Neoplatonisme mengandung unsur yang memberi kesan tentang ajaran Tauhid . Sebab Plotinus yang diperkirakan sebagai orang Mesir hulu yang mengalami Hellenisasi di kota Iskandaria itu mengajarkan konsep tentang "yang Esa" (the One) sebagai prinsip tertinggi atau sumber penyebab (sabab, cause).



Lebih dari itu, kata Cak Nur, Plotinus dapat disebut sebagai seorang mistikus, tidak dalam arti "irrasionalis", "occultist" ataupun "guru ajaran esoterik", tetapi dalam artinya yang terbatas kepada seseorang yang mempercayai dirinya telah mengalami penyatuan dengan Tuhan atau "Kenyataan Mutlak".

Menurut Cak Nur, untuk memahami sedikit lebih lanjut ajaran Plotinus kita perlu memperhatikan beberapa unsur dalam ajaran-ajaran Plato, Aristoteles, Pythagoras (baru) dan kaum Stoic.

Plato

Plato membagi kenyataan kepada yang bersifat "akali" (ideas, intelligibles) dan yang bersifat "inderawi" (sensibles), dengan pengertian bahwa yang akali itulah yang sebenarnya ada (ousia), jadi juga yang abadi dan tak berubah. Termasuk diantara yang akali itu ialah konsep tentang "Yang Baik", yang berada di atas semuanya dan disebut sebagai berada di luar yang ada (beyond being, epekeina ousias). "Yang Baik" ini kemudian diidentifikasi sebagai "Yang Esa", yang tak terjangkau dan tak mungkin diketahui.

Selanjutnya, mengenai wujud inderawi, Plato menyebutkannya sebagai hasil kerja suatu "seniman ilahi" (divine artisan, demiurge) yang menggunakan wujud kosmos yang akali sebagai model karyanya. Disamping membentuk dunia fisik, demiurge juga membentuk jiwa kosmis dan jiwa atau ruh individu yang tidak akan mati. Jiwa kosmis dan jiwa individu yang immaterial dan substansial itu merupakan letak hakikatnya yang bersifat ada sejak semula (pre-existence) dan akan ada untuk selamanya (post-existence immortality), yang semuanya tunduk kepada hukum reinkarnasi.



Menurut Cak Nur, dari Aristoteles, unsur terpenting yang diambil Plotinus ialah doktrin tentang Akal (nous) yang lebih tinggi daripada semua jiwa. Aristoteles mengisyaratkan bahwa hanya Akal-lah yang tidak bakal mati (immortal), sedangkan wujud lainnya hanyalah "bentuk" luar, sehingga tidak mungkin mempunyai eksistensi terpisah.

Aristoteles juga menerangkan bahwa "dewa tertinggi" (supreme deity) ialah Akal yang selalu merenung dan berpikir tentang dirinya. Kegiatan kognitif Akal itu berbeda dari kegiatan inderawi, karena obyeknya, yaitu wujud akali yang immaterial, adalah identik dengan tindakan Akal untuk menjangkau wujud itu.

Cak Nur mengatakan dualisme Plato di atas kemudian diusahakan penyatuannya oleh para penganut Pythagoras (baru), dan diubahnya menjadi monisme dan berpuncak pada konsep tentang adanya Yang Esa dan serba maha (transenden).

Ini melengkapi ajaran kaum Stoic yang di samping materialistik tapi juga immanenistik, yang mengajarkan tentang kemahaberadaan (omnipresence) Tuhan dalam alam raya.

Kesemua unsur tersebut digabung dan diserasikan oleh Plotinus, dan menuntunnya kepada ajaran tentang tiga hypostase atau prinsip di atas materi, yaitu Yang Esa atau Yang Baik, Akal atau Intelek, dan Jiwa.



Aristotelianisme

Menurut Cak Nur, Neoplatonisme cukup banyak mempengaruhi falsafah Islam. Tetapi sebenarnya Neoplatonisme yang sampai ke tangan orang-orang Muslim, berbeda dengan yang sampai ke Eropa sebelumnya, yang telah tercampur dengan unsur-unsur kuat Aristotelianisme.

Bahkan sebetulnya para filsuf Muslim justru memandang Aristoteles sebagai "guru pertama" (al-mu'allim al-awwal), yang menunjukkan rasa hormat mereka yang amat besar, dan dengan begitu juga pengaruh Aristoteles kepada jalan pikiran para failasuf Muslim yang menonjol dalam falsafah Islam.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3218 seconds (0.1#10.140)