Hukum Puasa Orang yang Sakit Menurut Jumhur Ulama
loading...
A
A
A
Sakit merupakan uzur puasa . Hal ini sebagaimana firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat 185 yang berbunyi: "Maka barang siapa di antara kamu dalam keadaan sakit atau sedang bepergian maka dia boleh meninggalkan puasa dan menggantinya di hari lain".
Prof Dr Wahbah Al Zuhaily dalam buku "The Islamic Jurisprudence and Evidences" menyebutkan sakit yang membolehkan berbuka adalah sakit yang menyebabkan si penderita tidak mampu lagi untuk melaksanakan puasa atau bila ia berpuasa justru memperparah kondisinya, memperlambat kesembuhan, atau bahkan dikhawatirkan menyebabkan kematian.
Menurut Wahbah Al Zuhaily, jika seseorang menderita penyakit-penyakit ringan, semacam koreng, flu, tidak boleh membatalkan puasanya.
Di sisi lain, ulama Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat seseorang yang dalam keadaan sehat namun dia khawatir bila puasa akan menjadi sakit, dia dihukumi sama dengan orang sakit. Ini berbeda dengan pendapat ulama Syafi’iyah dan Hanbaliyah.
Demikian pula jika seseorang mempunya dugaan kuat bila ia puasa maka akan mematikan fungsi salah satu panca inderanya, misal, maka wajib hukumnya membatalkan puasanya.
Ulama Hanafiyah menambahkan, dalam peperangan yang melelahkan seseorang boleh tidak berpuasa agar bisa menghadapi musuh dengan kondisi yang fit. Sebagaimana yang pernah dilakukan Rasul pada ‘Aam al-Fath (penaklukan Kota Makkah).
Menurut jumhur ulama orang yang sakit tidak diwajibkan niat berbuka. Lain dengan ulama Syafi’iyah yang mewajibkan hal itu. Namun jika orang yang sakit tersebut tetap berpuasa maka puasanya dianggap sah.
Lalu, manakah yang lebih baik bagi orang yang sakit, tetap berpuasa atau boleh berbuka?
Menurut Hanafiyah dan Syafi’iyah mereka boleh berbuka atau tetap berpuasa, sementara menurut Hanbaliyah sunnat bagi mereka berbuka dan makruh berpuasa. Di pihak lain Malikiyah mengatakan ada 4 ketentuan bagi puasanya orang sakit :
1. Jika ia tidak bisa sama sekali berpuasa, atau puasanya akan memperparah keadaan, atau bahkan menyebabkan kematiannya maka wajib baginya untuk berbuka.
2. Jika ia bisa berpuasa walaupun dengan susah payah maka boleh baginya untuk berbuka.
3. Jika ia mampu berpuasa namun masih khawatir akan kesehatannya, ada dua pendapat dalam hal ini, antara boleh dan tidak.
4. Jika ia bisa berpuasa tanpa khawatir sedikitpun, maka menurut jumhur ulama ia tidak boleh berbuka.
Jika seseorang yang sakit /musafir berniat puasa pada pagi harinya dan ternyata di siang hari uzurnya hilang, maka dia tidak boleh berbuka, sementara jika ia tidak berpuasa di pagi harinya maka ia boleh tetap berbuka.
Jika seseorang meninggalkan puasa baik karena sakit atau uzur yang lain dan dia belum mengqadha’nya hingga datang Ramadan lagi, menurut Syafi’iyah dia wajib mengqadha’ dan membayar kafarah yaitu memberi makan sebanyak 1 mud untuk satu hari puasa yang ditinggalnya kepada orang miskin. Lain halnya jika ‘uzurnya tersebut belum berakhir hingga datang Ramahan berikutnya, maka diwajibkan mengqadha’ saja.
Dan jika ia meninggal sebelum mengqadha’, puasanya digantikan oleh walinya. Namun jika walinya tidak mampu juga –untuk menggantikan puasanya si mayit– maka dia (wali) harus membayar kafarah dari harta peninggalannya (mayit).
Sebagaimana dalam riwayat Tirmidzi dari Ibnu Umar ia berkata : "Barangsiapa meninggal dan belum mengqadha’ Ramadan yang ia tinggalkan maka hendaklah ia membayar kafarah."
Dan dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim dari Sayidah ‘Aisyah, Rasulullah bersabda: "Barang siapa meninggal dan mempunyai tanggungan puasa, maka digantikan oleh walinya."
Prof Dr Wahbah Al Zuhaily dalam buku "The Islamic Jurisprudence and Evidences" menyebutkan sakit yang membolehkan berbuka adalah sakit yang menyebabkan si penderita tidak mampu lagi untuk melaksanakan puasa atau bila ia berpuasa justru memperparah kondisinya, memperlambat kesembuhan, atau bahkan dikhawatirkan menyebabkan kematian.
Menurut Wahbah Al Zuhaily, jika seseorang menderita penyakit-penyakit ringan, semacam koreng, flu, tidak boleh membatalkan puasanya.
Di sisi lain, ulama Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat seseorang yang dalam keadaan sehat namun dia khawatir bila puasa akan menjadi sakit, dia dihukumi sama dengan orang sakit. Ini berbeda dengan pendapat ulama Syafi’iyah dan Hanbaliyah.
Demikian pula jika seseorang mempunya dugaan kuat bila ia puasa maka akan mematikan fungsi salah satu panca inderanya, misal, maka wajib hukumnya membatalkan puasanya.
Ulama Hanafiyah menambahkan, dalam peperangan yang melelahkan seseorang boleh tidak berpuasa agar bisa menghadapi musuh dengan kondisi yang fit. Sebagaimana yang pernah dilakukan Rasul pada ‘Aam al-Fath (penaklukan Kota Makkah).
Menurut jumhur ulama orang yang sakit tidak diwajibkan niat berbuka. Lain dengan ulama Syafi’iyah yang mewajibkan hal itu. Namun jika orang yang sakit tersebut tetap berpuasa maka puasanya dianggap sah.
Lalu, manakah yang lebih baik bagi orang yang sakit, tetap berpuasa atau boleh berbuka?
Menurut Hanafiyah dan Syafi’iyah mereka boleh berbuka atau tetap berpuasa, sementara menurut Hanbaliyah sunnat bagi mereka berbuka dan makruh berpuasa. Di pihak lain Malikiyah mengatakan ada 4 ketentuan bagi puasanya orang sakit :
1. Jika ia tidak bisa sama sekali berpuasa, atau puasanya akan memperparah keadaan, atau bahkan menyebabkan kematiannya maka wajib baginya untuk berbuka.
2. Jika ia bisa berpuasa walaupun dengan susah payah maka boleh baginya untuk berbuka.
3. Jika ia mampu berpuasa namun masih khawatir akan kesehatannya, ada dua pendapat dalam hal ini, antara boleh dan tidak.
4. Jika ia bisa berpuasa tanpa khawatir sedikitpun, maka menurut jumhur ulama ia tidak boleh berbuka.
Jika seseorang yang sakit /musafir berniat puasa pada pagi harinya dan ternyata di siang hari uzurnya hilang, maka dia tidak boleh berbuka, sementara jika ia tidak berpuasa di pagi harinya maka ia boleh tetap berbuka.
Jika seseorang meninggalkan puasa baik karena sakit atau uzur yang lain dan dia belum mengqadha’nya hingga datang Ramadan lagi, menurut Syafi’iyah dia wajib mengqadha’ dan membayar kafarah yaitu memberi makan sebanyak 1 mud untuk satu hari puasa yang ditinggalnya kepada orang miskin. Lain halnya jika ‘uzurnya tersebut belum berakhir hingga datang Ramahan berikutnya, maka diwajibkan mengqadha’ saja.
Dan jika ia meninggal sebelum mengqadha’, puasanya digantikan oleh walinya. Namun jika walinya tidak mampu juga –untuk menggantikan puasanya si mayit– maka dia (wali) harus membayar kafarah dari harta peninggalannya (mayit).
Sebagaimana dalam riwayat Tirmidzi dari Ibnu Umar ia berkata : "Barangsiapa meninggal dan belum mengqadha’ Ramadan yang ia tinggalkan maka hendaklah ia membayar kafarah."
Dan dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim dari Sayidah ‘Aisyah, Rasulullah bersabda: "Barang siapa meninggal dan mempunyai tanggungan puasa, maka digantikan oleh walinya."
(mhy)