Begini Aturan Pembayaran Fidyah bagi Perempuan Hamil dan Menyusui
loading...
A
A
A
Perempuan yang hamil boleh tidak berpuasa pada siang hari bulan Ramadan dan menggantinya di hari yang lain. Apabila ia tidak berpuasa karena kondisi fisiknya yang lemah dan tidak kuat berpuasa, sebagian besar ulama berpandangan bahwa ia berkewajiban mengqadha puasa tersebut di hari lain atau ketika mampu. Ia tidak berkewajiban membayar fidyah .
Adapun wanita yang hamil atau menyusui dan mampu berpuasa, lalu ia tidak berpuasa karena khawatir terhadap kesehatan anaknya saja, ia berkewajiban meng-qadha atau membayar fidyah.
Demikian pendapat sebagian besar ulama. Adapun ulama Hanafiah berpendapat cukup dengan mengqadha saja.
Jadi, kesimpulannya, wanita yang hamil lalu tidak berpuasa pada bulan Ramadan berkewajiban untuk mengqadha. Demikian pendapat ulama Syafi’iah , Malikiah dan Hanabilah.
Para ulama Kontemporer, seperti Syaikh Yusuf Al-Qardhawi , DR Wahabah Zuhaili, Syaikh Utsaimin dan Syaikh Abdul Aziz bin Baz berpendapat bahwa wanita yang hamil atau menyusui berkewajiban untuk mengqadha puasa yang ditinggalkan.
Sedangkan fidyah sendiri, pada dasarnya hanya berlaku untuk orang yang tidak ada harapan untuk berpuasa, misalnya: orang tua yang tidak mampu berpuasa atau orang yang sakit menahun.
Oleh karena itu, Syaikh Yusuf Al-Qardhawi berpendapat bagi wanita yang tidak memungkinkan lagi untuk mengqadha karena melahirkan dan menyusui secara berturut-urut sampai beberapa tahun, ia bisa mengganti qadhanya dengan fidyah.
Hal ini karena ada illat (alasan hukum) tidak ada kemampuan lagi untuk mengqadha semuanya. Selama masih bisa mengqadha dan memungkinkan, maka kewajiban mengqadha itu tetap ada.
Allah berfirman,
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” ( QS. Al-Baqarah : 184)
Besaran Fidyah
Menurut mazhab Syafii, fidyah yang wajib dikeluarkan adalah satu mud (675 gram/6,75 ons) per hari puasa yang ditinggalkan, berupa makanan pokok daerah setempat. Dalam konteks Indonesia adalah beras. Bila satu bulan penuh berarti 30 mud (20.250 gram atau 20,25 kilogram) beras. Fidyah tersebut diberikan kepada fakir miskin.
Menurut tiga mazhab --Maliki, Syafii dan Hanbali-- tidak diperbolehkan menunaikan fidyah dalam bentuk uang. Fidyah menurut pendapat mayoriitas ini harus ditunaikan dalam bentuk makanan pokok daerah setempat.
Pendapat ini berlandaskan pada nash-nash syariat yang secara tegas memang memerintahkan untuk memberi makan fakir miskin, bukan memberi uang
Sedangkan ulama Hanafiah berpendapat besarnya fidyah adalah setengah sha’ atau 2 mud (setengah dari ukuran zakat fitrah). Mazhab ini membolehkan diganti dengan uang. Apabila dikonversi ke rupiah bisa mengikuti dua cara: disesuaikan dengan bahan makanan pokok atau harga makanan jadi.
Untuk waktu pembayaran fidyah, ada kelonggaran. Dia boleh membayarkan fidyahnya setiap hari satu-satu (dibayarkan di waktu maghrib di hari puasa yang ditinggalkan).
Dia juga dibolehkan mengakhirkan pembayaran setelah selesai Ramadhan, sebagaimana yang dilakukan Anas bin Malik radliallahu ‘anhu. (As-Syarhul Mumthi’, 6:207)
Riwayat dari Nafi’ – murid Ibnu Umar:
أن ابن عمر سئل عن المرءة الحامل إذا خافت على ولدها، فقال: تفطر و تطعم مكان كل يوم مسكينا مدا من حنطة
bahwa Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma pernah ditanya tentang wanita hamil yang khawatir terhadap anaknya (jika puasa). Beliau menjawab, “Dia boleh berbuka dan memberi makan orang miskin dengan satu mud gandum halus sebanyak hari yang dia tinggalkan.”(HR Al-Baihaqi dari jalur Imam Syafi’i dan sanadnya sahih)
Riwayat dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu,
أَنَّه ضَعُف عَن الصَّومِ عَامًا فَصَنَع جفنَةَ ثَريدٍ ودَعَا ثَلاثِين مِسكِينًا فَأشبَعَهُم
Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, bahwa ketika dirinya sudah tidak mampu puasa setahun, beliau membuat adonan tepung dan mengundang 30 orang miskin, kemudian beliau kenyangkan mereka semua. (HR. ad-Daruquthni dan dishahihkan al-Albani)
Allahu a’lam.
Adapun wanita yang hamil atau menyusui dan mampu berpuasa, lalu ia tidak berpuasa karena khawatir terhadap kesehatan anaknya saja, ia berkewajiban meng-qadha atau membayar fidyah.
Demikian pendapat sebagian besar ulama. Adapun ulama Hanafiah berpendapat cukup dengan mengqadha saja.
Jadi, kesimpulannya, wanita yang hamil lalu tidak berpuasa pada bulan Ramadan berkewajiban untuk mengqadha. Demikian pendapat ulama Syafi’iah , Malikiah dan Hanabilah.
Baca Juga
Para ulama Kontemporer, seperti Syaikh Yusuf Al-Qardhawi , DR Wahabah Zuhaili, Syaikh Utsaimin dan Syaikh Abdul Aziz bin Baz berpendapat bahwa wanita yang hamil atau menyusui berkewajiban untuk mengqadha puasa yang ditinggalkan.
Sedangkan fidyah sendiri, pada dasarnya hanya berlaku untuk orang yang tidak ada harapan untuk berpuasa, misalnya: orang tua yang tidak mampu berpuasa atau orang yang sakit menahun.
Oleh karena itu, Syaikh Yusuf Al-Qardhawi berpendapat bagi wanita yang tidak memungkinkan lagi untuk mengqadha karena melahirkan dan menyusui secara berturut-urut sampai beberapa tahun, ia bisa mengganti qadhanya dengan fidyah.
Hal ini karena ada illat (alasan hukum) tidak ada kemampuan lagi untuk mengqadha semuanya. Selama masih bisa mengqadha dan memungkinkan, maka kewajiban mengqadha itu tetap ada.
Allah berfirman,
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” ( QS. Al-Baqarah : 184)
Besaran Fidyah
Menurut mazhab Syafii, fidyah yang wajib dikeluarkan adalah satu mud (675 gram/6,75 ons) per hari puasa yang ditinggalkan, berupa makanan pokok daerah setempat. Dalam konteks Indonesia adalah beras. Bila satu bulan penuh berarti 30 mud (20.250 gram atau 20,25 kilogram) beras. Fidyah tersebut diberikan kepada fakir miskin.
Menurut tiga mazhab --Maliki, Syafii dan Hanbali-- tidak diperbolehkan menunaikan fidyah dalam bentuk uang. Fidyah menurut pendapat mayoriitas ini harus ditunaikan dalam bentuk makanan pokok daerah setempat.
Pendapat ini berlandaskan pada nash-nash syariat yang secara tegas memang memerintahkan untuk memberi makan fakir miskin, bukan memberi uang
Sedangkan ulama Hanafiah berpendapat besarnya fidyah adalah setengah sha’ atau 2 mud (setengah dari ukuran zakat fitrah). Mazhab ini membolehkan diganti dengan uang. Apabila dikonversi ke rupiah bisa mengikuti dua cara: disesuaikan dengan bahan makanan pokok atau harga makanan jadi.
Untuk waktu pembayaran fidyah, ada kelonggaran. Dia boleh membayarkan fidyahnya setiap hari satu-satu (dibayarkan di waktu maghrib di hari puasa yang ditinggalkan).
Dia juga dibolehkan mengakhirkan pembayaran setelah selesai Ramadhan, sebagaimana yang dilakukan Anas bin Malik radliallahu ‘anhu. (As-Syarhul Mumthi’, 6:207)
Baca Juga
Riwayat dari Nafi’ – murid Ibnu Umar:
أن ابن عمر سئل عن المرءة الحامل إذا خافت على ولدها، فقال: تفطر و تطعم مكان كل يوم مسكينا مدا من حنطة
bahwa Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma pernah ditanya tentang wanita hamil yang khawatir terhadap anaknya (jika puasa). Beliau menjawab, “Dia boleh berbuka dan memberi makan orang miskin dengan satu mud gandum halus sebanyak hari yang dia tinggalkan.”(HR Al-Baihaqi dari jalur Imam Syafi’i dan sanadnya sahih)
Riwayat dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu,
أَنَّه ضَعُف عَن الصَّومِ عَامًا فَصَنَع جفنَةَ ثَريدٍ ودَعَا ثَلاثِين مِسكِينًا فَأشبَعَهُم
Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, bahwa ketika dirinya sudah tidak mampu puasa setahun, beliau membuat adonan tepung dan mengundang 30 orang miskin, kemudian beliau kenyangkan mereka semua. (HR. ad-Daruquthni dan dishahihkan al-Albani)
Allahu a’lam.
(mhy)