Mengenakan Pakaian Terbaik di Hari Raya Termasuk Sunah Nabi SAW
loading...
A
A
A
Seorang muslim dianjurkan mempersiapkan hari raya dengan pakaian yang terbaik dan mengunjungi teman-temannya dan kerabatnya dalam kondisi terbaik dengan aroma wangi. Hal ini termasuk wujud kegembiraan dan kesenangan dengan datangnya hari nan fitri.
Ibnul Qayyim dalam “Zadul Ma’ad” menjelaskan Nabi SAW memakai pakaiannya yang paling bagus untuk keluar (melaksanakan salat) pada hari Idulfitri dan Iduladha. Beliau memiliki perhiasan yang biasa dipakai pada dua hari raya itu dan pada hari Jum’at. Sekali waktu beliau memakai dua burdah (kain bergaris yang diselimutkan pada badan) yang berwarna hijau, dan terkadang mengenakan burdah berwarna merah, namun bukan merah murni sebagaimana yang disangka sebagian manusia, karena jika demikian bukan lagi namanya burdah. Tapi yang beliau kenakan adalah kain yang ada garis-garis merah seperti kain bergaris dari Yaman”.
Dari Ibnu Umar ra , ia berkata: Umar mengambil sebuah jubah dari sutera tebal yang dijual di pasar, lalu ia datang kepada Rasulullah dan berkata:
يَا رَسُولَ اللَّهِ ابْتَعْ هَذِهِ الْحُلَّةَ فَتَجَمَّلْ بِهَا لِلْعِيدِ وَلِلْوُفُودِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا هَذِهِ لِبَاسُ مَنْ لَا خَلَاقَ لَهُ أَوْ إِنَّمَا يَلْبَسُ هَذِهِ مَنْ لَا خَلَاقَ لَهُ فَلَبِثَ مَا شَاءَ اللَّهُ ثُمَّ أَرْسَلَ إِلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِجُبَّةِ دِيبَاجٍ فَأَقْبَلَ بِهَا عُمَرُ حَتَّى أَتَى بِهَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قُلْتَ إِنَّمَا هَذِهِ لِبَاسُ مَنْ لَا خَلَاقَ لَهُ أَوْ إِنَّمَا يَلْبَسُ هَذِهِ مَنْ لَا خَلَاقَ لَهُ ثُمَّ أَرْسَلْتَ إِلَيَّ بِهَذِهِ فَقَالَ تَبِيعُهَا أَوْ تُصِيبُ بِهَا بَعْضَ حَاجَتِكَ
“Ya Rasulullah, belilah jubah ini agar engkau dapat berdandan dengannya pada hari raya dan saat menerima utusan. Rasulullah SAW bersabda kepada Umar: ’Ini adalah pakaiannya orang yang tidak mendapat bahagian (di akhirat-pent)’. Maka Umar tinggal sepanjang waktu yang Allah inginkan. Kemudian Rasulullah SAW mengirimkan kepadanya jubah sutera. Umar menerimanya lalu mendatangi Rasulullah SAW. Ia berkata : ‘Ya Rasulullah, engkau pernah mengatakan: ‘Ini adalah pakaiannya orang yang tidak mendapat bahagian’, dan engkau telah mengirimkan padaku jubah ini’. Rasulullah SAW bersabda kepada Umar: ’Juallah jubah ini atau engkau penuhi kebutuhanmu dengannya“. (HR Bukhari dan Muslim )
Hadis ini menunjukkan bahwa Nabi SAW tidak memungkiri berhias untuk hari raya, akan tetapi beliau memberitahukan bahwa memakai jubah ini diharamkan karena ia terbuat dari sutera.
“Dengan demikian dapat diketahui bahwa berhias pada hari raya adalah termasuk budaya yang telah dikenal di tengah mereka. Nabi SAW tidak mengingkarinya, maka berarti diketahui bahwa itu merupakan ketetapannya,” tulis As-Sindi dalam Kitab Hasyiyah (penjelasan) sunan Nasa’i, 3/181.
Syekh Ibnu Jibrin dalam Fatawa Syekh Ibnu Jibrin mengatakan, untuk menghadiri salat Id terdapat (amalan) sunnah dan anjuran yang banyak. Di antaranya, berhias dan memakai pakaian yang terbaik.
Umar pernah menawarkan kepada Nabi SAW pakaian dari sutera untuk berhias di hari raya dan menerima tamu utusan. Akan tetapi beliau menolaknya, karena ia terdapat dari sutera. "Beliau mempunyai jubah khusus yang dipakai untuk hari raya dan hari Jum’at,” ujar Ibnu Jibrin.
Syaikh Ibnu Utsaimin dalam Majmu Fatawa Wa Rosail Ibnu Utsaimin mengatakan disunnahkan bagi laki-laki pada hari raya untuk berhias dan memakai pakaian yang terbaik.
Maka tidak mengapa seorang muslim membeli baju baru untuk hari rayanya. Hal itu tidak termasuk menyerupai nonmuslim. Meskipun mereka lakukan pada hari raya dan perayaannya. Setiap ada dalil syar’i yang menunjukkan dianjurkannya, melakukannya tidak termasuk meniru orang kafir yang dilarang.
Akhlak mulia, sebagai contoh. Bagus dalam berinterkasi dengan orang, berseri-seri ketika bertemu orang, bersih dan memakai minyak wangi dan semisalnya adalah hal yang dianjurkan. Terdapat dalil syar’i atas anjuran tersebut, maka tidak mengapa jika sebagian nonmuslim melakukan sebagian sifat tadi.
Meniru orang kafir yang dilarang adalah perilaku yang khusus pada mereka. Adapun kalau sudah umum dilakukan seluruh orang, bukan khusus dilakukan orang kafir, seorang muslim tidak mengapa melakukannya.
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya tentang barometer tasyabbuh (meniru) orang kafir, beliau menjawab:
“Barometer meniru adalah orang yang meniru melakukan prilaku yang khusus dilakukan oleh orang yang ditirunya. Meniru orang kafir, adalah seorang muslim melakukan sesuatu yang menjadi ciri khas mereka. Adapun kalau sudah menyebar di kalangan umat Islam, sehingga tidak dapat dibedakan dengan orang kafir, maka hal itu tidak termasuk meniru (tasyabbuh). Sehingga tidak menjadi haram hanya karena sama. Kecuali diharamkan dari sisi lain. Apa yang kami katakan ini ada isi dari kata-kata ini."
Pengarang Kitab Fathul Bari menegaskan seperti ini dengan mengatakan, “Sebagian ulama salaf memakruhkan memakai burnus, karena ia termasuk pakaian pendeta. Imam Malik pernah ditanya tentang hal itu dan mengatakan, ‘Tidak mengapa.’ Lalu ada yang berkata, ‘Bukankanh itu termasuk pakaian orang Kristen?’ Beliau menjawab, “Dahulu dipakai di sini.”
Ibnul Qayyim dalam “Zadul Ma’ad” menjelaskan Nabi SAW memakai pakaiannya yang paling bagus untuk keluar (melaksanakan salat) pada hari Idulfitri dan Iduladha. Beliau memiliki perhiasan yang biasa dipakai pada dua hari raya itu dan pada hari Jum’at. Sekali waktu beliau memakai dua burdah (kain bergaris yang diselimutkan pada badan) yang berwarna hijau, dan terkadang mengenakan burdah berwarna merah, namun bukan merah murni sebagaimana yang disangka sebagian manusia, karena jika demikian bukan lagi namanya burdah. Tapi yang beliau kenakan adalah kain yang ada garis-garis merah seperti kain bergaris dari Yaman”.
Dari Ibnu Umar ra , ia berkata: Umar mengambil sebuah jubah dari sutera tebal yang dijual di pasar, lalu ia datang kepada Rasulullah dan berkata:
يَا رَسُولَ اللَّهِ ابْتَعْ هَذِهِ الْحُلَّةَ فَتَجَمَّلْ بِهَا لِلْعِيدِ وَلِلْوُفُودِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا هَذِهِ لِبَاسُ مَنْ لَا خَلَاقَ لَهُ أَوْ إِنَّمَا يَلْبَسُ هَذِهِ مَنْ لَا خَلَاقَ لَهُ فَلَبِثَ مَا شَاءَ اللَّهُ ثُمَّ أَرْسَلَ إِلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِجُبَّةِ دِيبَاجٍ فَأَقْبَلَ بِهَا عُمَرُ حَتَّى أَتَى بِهَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قُلْتَ إِنَّمَا هَذِهِ لِبَاسُ مَنْ لَا خَلَاقَ لَهُ أَوْ إِنَّمَا يَلْبَسُ هَذِهِ مَنْ لَا خَلَاقَ لَهُ ثُمَّ أَرْسَلْتَ إِلَيَّ بِهَذِهِ فَقَالَ تَبِيعُهَا أَوْ تُصِيبُ بِهَا بَعْضَ حَاجَتِكَ
“Ya Rasulullah, belilah jubah ini agar engkau dapat berdandan dengannya pada hari raya dan saat menerima utusan. Rasulullah SAW bersabda kepada Umar: ’Ini adalah pakaiannya orang yang tidak mendapat bahagian (di akhirat-pent)’. Maka Umar tinggal sepanjang waktu yang Allah inginkan. Kemudian Rasulullah SAW mengirimkan kepadanya jubah sutera. Umar menerimanya lalu mendatangi Rasulullah SAW. Ia berkata : ‘Ya Rasulullah, engkau pernah mengatakan: ‘Ini adalah pakaiannya orang yang tidak mendapat bahagian’, dan engkau telah mengirimkan padaku jubah ini’. Rasulullah SAW bersabda kepada Umar: ’Juallah jubah ini atau engkau penuhi kebutuhanmu dengannya“. (HR Bukhari dan Muslim )
Hadis ini menunjukkan bahwa Nabi SAW tidak memungkiri berhias untuk hari raya, akan tetapi beliau memberitahukan bahwa memakai jubah ini diharamkan karena ia terbuat dari sutera.
“Dengan demikian dapat diketahui bahwa berhias pada hari raya adalah termasuk budaya yang telah dikenal di tengah mereka. Nabi SAW tidak mengingkarinya, maka berarti diketahui bahwa itu merupakan ketetapannya,” tulis As-Sindi dalam Kitab Hasyiyah (penjelasan) sunan Nasa’i, 3/181.
Baca Juga
Syekh Ibnu Jibrin dalam Fatawa Syekh Ibnu Jibrin mengatakan, untuk menghadiri salat Id terdapat (amalan) sunnah dan anjuran yang banyak. Di antaranya, berhias dan memakai pakaian yang terbaik.
Umar pernah menawarkan kepada Nabi SAW pakaian dari sutera untuk berhias di hari raya dan menerima tamu utusan. Akan tetapi beliau menolaknya, karena ia terdapat dari sutera. "Beliau mempunyai jubah khusus yang dipakai untuk hari raya dan hari Jum’at,” ujar Ibnu Jibrin.
Syaikh Ibnu Utsaimin dalam Majmu Fatawa Wa Rosail Ibnu Utsaimin mengatakan disunnahkan bagi laki-laki pada hari raya untuk berhias dan memakai pakaian yang terbaik.
Maka tidak mengapa seorang muslim membeli baju baru untuk hari rayanya. Hal itu tidak termasuk menyerupai nonmuslim. Meskipun mereka lakukan pada hari raya dan perayaannya. Setiap ada dalil syar’i yang menunjukkan dianjurkannya, melakukannya tidak termasuk meniru orang kafir yang dilarang.
Akhlak mulia, sebagai contoh. Bagus dalam berinterkasi dengan orang, berseri-seri ketika bertemu orang, bersih dan memakai minyak wangi dan semisalnya adalah hal yang dianjurkan. Terdapat dalil syar’i atas anjuran tersebut, maka tidak mengapa jika sebagian nonmuslim melakukan sebagian sifat tadi.
Baca Juga
Meniru orang kafir yang dilarang adalah perilaku yang khusus pada mereka. Adapun kalau sudah umum dilakukan seluruh orang, bukan khusus dilakukan orang kafir, seorang muslim tidak mengapa melakukannya.
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya tentang barometer tasyabbuh (meniru) orang kafir, beliau menjawab:
“Barometer meniru adalah orang yang meniru melakukan prilaku yang khusus dilakukan oleh orang yang ditirunya. Meniru orang kafir, adalah seorang muslim melakukan sesuatu yang menjadi ciri khas mereka. Adapun kalau sudah menyebar di kalangan umat Islam, sehingga tidak dapat dibedakan dengan orang kafir, maka hal itu tidak termasuk meniru (tasyabbuh). Sehingga tidak menjadi haram hanya karena sama. Kecuali diharamkan dari sisi lain. Apa yang kami katakan ini ada isi dari kata-kata ini."
Pengarang Kitab Fathul Bari menegaskan seperti ini dengan mengatakan, “Sebagian ulama salaf memakruhkan memakai burnus, karena ia termasuk pakaian pendeta. Imam Malik pernah ditanya tentang hal itu dan mengatakan, ‘Tidak mengapa.’ Lalu ada yang berkata, ‘Bukankanh itu termasuk pakaian orang Kristen?’ Beliau menjawab, “Dahulu dipakai di sini.”
(mhy)