Kebebasan dan Batasan dalam Menafsirkan Al-Qur'an Menurut Quraish Shihab

Senin, 01 Mei 2023 - 13:11 WIB
loading...
Kebebasan dan Batasan dalam Menafsirkan Al-Quran Menurut Quraish Shihab
Prof Dr Quraish Shihab/Foto Ist
A A A
Prof Dr M Quraish Shihab, MA mengatakan bahwa setiap manusia pada generasi kini serta generasi berikutnya dituntut memahami Al-Qur'an sebagaimana tuntutan yang pernah ditujukan kepada masyarakat yang menyaksikan turunnya Al-Qur'an .

"Ini jika kita perhatikan Al-Qur'an yang memerintahkan kita untuk merenungkan ayat-ayatnya dan kecamannya terhadap mereka yang sekadar mengikuti pendapat atau tradisi lama tanpa suatu dasar, dan bila kita perhatikan pula bahwa Al-Qur'an diturunkan untuk setiap manusia dan masyarakat kapan dan di mana pun," ujar Quraish Shihab dalam bukunya berjudul " Membumikan Al-Quran , Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat" (Mizan, 1996).

Menurutnya, bila disadari bahwa hasil pemikiran seseorang dipengaruhi bukan saja oleh tingkat kecerdasannya, tetapi juga oleh disiplin ilmu yang ditekuninya, oleh pengalaman, penemuan-penemuan ilmiah, oleh kondisi sosial, politik, dan sebagainya, maka tentunya hasil pemikiran seseorang akan berbeda satu dengan lainnya.

Dari sini, kata Quraish Shihab, seseorang tidak dapat dihalangi untuk merenungkan, memahami, dan menafsirkan Al-Qur'an. Karena hal ini merupakan perintah Al-Quran sendiri, sebagaimana setiap pendapat yang diajukan seseorang, walaupun berbeda dengan pendapat-pendapat lain, harus ditampung.

"Ini adalah konsekuensi logis dari perintah di atas, selama pemahaman dan penafsiran tersebut dilakukan secara sadar dan penuh tanggung jawab," ujarnya.



Menurut Quraish, dalam kebebasan yang bertanggung jawab inilah timbul pembatasan-pembatasan dalam menafsirkan Al-Qur'an, sebagaimana pembatasan-pembatasan yang dikemukakan dalam setiap disiplin ilmu. "Mengabaikan pembatasan tersebut dapat menimbulkan polusi dalam pemikiran bahkan malapetaka dalam kehidupan," jelasnya.

Dapat dibayangkan, kata Quraish Shihab, apa yang terjadi bila setiap orang bebas berbicara atau melakukan praktik-praktik dalam bidang kedokteran atau melakukan analisis-analisis statistik tanpa mempunyai pengetahuan tentang ilmu tersebut.

Pembatasan

Menurut Quraish Shihab, Al-Qur'an mengecam orang-orang yang tidak memperhatikan kandungannya. Para sahabat sendiri seringkali tidak mengetahui atau berbeda pendapat atau keliru dalam memahami maksud firman-firman Allah, sehingga dari kalangan mereka sejak dini telah timbul pembatasan-pembatasan dalam penafsiran Al-Qur'an.

Ibn 'Abbas, yang dinilai sebagai salah seorang sahabat Nabi yang paling mengetahui maksud firman-firman Allah, menyatakan bahwa tafsir terdiri dari empat bagian: pertama, yang dapat dimengerti secara umum oleh orang-orang Arab berdasarkan pengetahuan bahasa mereka; kedua, yang tidak ada alasan bagi seseorang untuk tidak mengetahuinya; ketiga, yang tidak diketahui kecuali oleh ulama; dan keempat, yang tidak diketahui kecuali oleh Allah.

Dari pembagian di atas ditemukan dua jenis pembatasan, yaitu (a) menyangkut materi ayat-ayat (bagian keempat), dan (b) menyangkut syarat-syarat penafsir (bagian ketiga).



Dari segi materi terlihat bahwa ada ayat-ayat Al-Qur'an yang tak dapat diketahui kecuali oleh Allah atau oleh Rasul bila beliau menerima penjelasan dari Allah. Pengecualian ini mengandung beberapa kemungkinan arti, antara lain:

(a) Ada ayat-ayat yang memang tidak mungkin dijangkau pengertiannya oleh seseorang, seperti ya sin, alif lam mim, dan sebagainya. Pendapat ini didasarkan pada firman Allah yang membagi ayat-ayat Al-Quran kepada muhkam (jelas) dan mutasyabih (samar), dan bahwa tidak ada yang mengetahui ta'wil (arti)-nya kecuali Allah, sedang orang-orang yang dalam 'llmunya berkata kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabih ( QS 3 :7).

(b) Ada ayat-ayat yang hanya diketahui secara umum artinya, atau sesuai dengan bentuk luar redaksinya, tetapi tidak dapat didalami maksudnya, seperti masalah-masalah metafisika, perincian ibadah an sich, dan sebagainya, yang tidak termasuk dalam wilayah pemikiran atau jangkauan akal manusia.

Menurut Quraish Shihab, apa pun yang dimaksud dari ungkapan sahabat tersebut, telah disepakati oleh para ulama bahwa tidak seorang pun berwenang untuk memberikan penafsiran-penafsiran terhadap ayat-ayat yang materinya berkaitan dengan masalah-masalah metafisika atau yang tidak dapat dijangkau oleh akal pikiran manusia. Penjelasan-penjelasan sahabat pun dalam bidang ini hanya dapat diterima apabila penjelasan tersebut diduga bersumber dari Nabi SAW.

Karena itu, seorang ahli hadis kenamaan, Al-Hakim Al-Naisaburi, menolak penafsiran sahabat Nabi, Abu Hurairah, tentang ayat "neraka saqar adalah pembakar kulit manusia" ( QS 74 :29) untuk dinisbatkan kepada Rasul SAW.



Syaikh Muhammad 'Abduh (1849-1905), salah seorang ahli Tafsir yang paling mengandalkan akal, menganut prinsip "tidak menafsirkan ayat-ayat yang kandungannya tidak terjangkau oleh pikiran manusia, tidak pula ayat-ayat yang samar atau tidak terperinci oleh Al-Qur'an."

Ketika menafsirkan firman Allah dalam QS 101 :6-7 tentang "timbangan amal perbuatan di Hari Kemudian", 'Abduh menulis: "Cara Tuhan dalam menimbang amal perbuatan, dan apa yang wajar diterima sebagai balasan pada hari itu, tiada lain kecuali atas dasar apa yang diketahui oleh-Nya, bukan atas dasar apa yang kita ketahui; maka hendaklah kita menyerahkan permasalahannya kepada Allah SWT atas dasar keimanan."

Bahkan, 'Abduh terkadang tidak menguraikan arti satu kosakata yang tidak jelas, dan menganjurkan untuk tidak perlu membahasnya, sebagaimana sikap yang ditempuh oleh sahabat ' Umar bin Khaththab ketika membaca abba dalam surat Abasa ( QS 80 :32) yang berbicara tentang aneka ragam nikmat Tuhan kepada makhluk-makhluk-Nya.

Dari segi syarat penafsir, khusus bagi penafsiran yang mendalam dan menyeluruh, ditemukan banyak syarat. Secara umum dan pokok dapat disimpulkan sebagai berikut: (a) pengetahuan tentang bahasa Arab dalam berbagai bidangnya; (b) pengetahuan tentang ilmu-ilmu Al-Qur'an, sejarah turunnya, hadis-hadis Nabi, dan ushul fiqh; (c) pengetahuan tentang prinsip-prinsip pokok keagamaan; dan (d) pengetahuan tentang disiplin ilmu yang menjadi materi bahasan ayat. Bagi mereka yang tidak memenuhi syarat-syarat di atas tidak dibenarkan untuk menafsirkan Al-Qur'an.



Dalam hal ini, ujar Quraish Shihab, ada dua hal yang perlu digarisbawahi:

(1) Menafsirkan berbeda dengan berdakwah atau berceramah berkaitan dengan tafsir ayat Al-Qur'an. Seseorang yang tidak memenuhi syarat-syarat di atas, tidak berarti terlarang untuk menyampaikan uraian tafsir, selama uraian yang dikemukakannya berdasarkan pemahaman para ahli tafsir yang telah memenuhi syarat di atas.

Seorang mahasiswa yang membaca kitab tafsir semacam Tafsir An-Nur karya Prof Hasby As-Shiddiqie, atau Al-Azhar karya Hamka, kemudian berdiri menyampaikan kesimpulan tentang apa yang dibacanya, tidaklah berfungsi menafsirkan ayat. Dengan demikian, syarat yang dimaksud di atas tidak harus dipenuhinya. Tetapi, apabila ia berdiri untuk mengemukakan pendapat-pendapatnya dalam bidang tafsir, maka apa yang dilakukannya tidak dapat direstui, karena besar kemungkinan ia akan terjerumus ke dalam kesalahan-kesalahan yang menyesatkan.

(2) Faktor-faktor yang mengakibatkan kekeliruan dalam penafsiran antara lain adalah:

(a) Subjektivitas mufasir;

(b) Kekeliruan dalam menerapkan metode atau kaidah;

(c) Kedangkalan dalam ilmu-ilmu alat;

(d) Kedangkalan pengetahuan tentang materi uraian (pembicaraan) ayat;

(e) Tidak memperhatikan konteks, baik asbab al-nuzul, hubungan antar ayat, maupun kondisi sosial masyarakat;

(f) Tidak memperhatikan siapa pembicara dan terhadap siapa pembicaraan ditujukan.

Menurut Quraish Shihab, karena itu, dewasa ini, akibat semakin luasnya ilmu pengetahuan, dibutuhkan kerja sama para pakar dalam berbagai disiplin ilmu untuk bersama-sama menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an.
(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1343 seconds (0.1#10.140)