Syaikh Yusuf Al-Qardhawi: Islam Bukanlah Ajaran yang Labil
loading...
A
A
A
Syaikh Yusuf al-Qardhawi mengatakan sebagian orang yang meragukan atau menentang dakwah untuk terlaksanannya syari'at Islam itu menulis dengan salah paham, mereka mengira bahwa syari'at Islam yang didakwahkan merupakan sesuatu yang labil, tidak memiliki kriteria dan batasan yang pasti, sehingga setiap hakim (penguasa) atau setiap kelompok memberikan penafsiran sendiri-sendiri, semaunya.
Sehingga kita dapatkan ada yang mengatakan, "Islam yang manakah yang kalian dakwahkan kepada kita dan yang kalian tuntut kami untuk melaksanakannya? Kita telah melihat Islam yang sebagian penguasa mengaku menerapkannya saat ini adalah berbeda-beda satu negara dengan negara lainnya. Di sana ada Islam Sudan, Islam Iran, Islam Pakistan dan Islam Libya!! Atau sebagaimana dikatakan oleh sebagian orang dengan istilah; Islam Numairi, Islam Khumaini, Islam Dhiya'ul Haq dan Islam Qadafi. Islam yang manakah yang kalian maksud?"
"Maka kita katakan kepada mereka," kata Yusuf Qardhawi dalam bukunya berjudul "Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh" yang dalam edisi Indonesia menjadi "Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah" (Citra Islami Press, 1997).
"Sesungguhnya Islam adalah Islam, tanpa disandarkan kepada seseorang atau suatu golongan kecuali kepada pembuatnya atau yang menyampaikannya. Itulah Islam versi Al-Qur'an dan As-Sunnah. Tidak dikaitkan dengan nama seseorang, kecuali nama Muhammad SAW yang telah diutus oleh Allah sebagai pembawa khabar gembira, memberi peringatan kepada manusia serta mengajak mereka ke jalan Allah. Maka menjadilah ia ibarat pelita yang terang."
Menurutnya, meskipun terdapat banyak penafsiran (interpretasi) dan praktik pengamalan syari'at Islam yang berbeda-beda satu sama lain, namun di sana tetap ada suatu substansi dan esensi yang sama dalam masalah-masalah yang ushul (pokok).
Hal ini menunjukkan adanya kesatuan (keseragaman) dalam hal aqidah, prinsip, perasaan dan perilaku bagi ummat. Itulah lingkup Al Qath'iyat (hal-hal yang bersifat aksiomatis) di mana ummat bersepakat baik secara teori (konsep, maupun secara pelaksanaan, dan telah meresap di dalam fikiran dan hati serta kehidupan mereka selama beberapa kurun (empat belas abad) yang telah dilalui oleh mereka.
"Banyak hal yang bersifat aksiomatis dalam masalah aqidah dan pemikiran, dalam ibadah dan syi'ar, dalam hukum dan perundang-undangan, dalam akhlaq dan tata kehidupan, semua itu termasuk sesuatu yang tidak diperselisihkan dan tidak berbenturan di antara kaum Muslimin," katanya.
Hal-hal seperti inilah yang, menurut Al-Qardhawi, menjadi asas syari'at dan intinya. Itulah yang dapat menentukan arah dan tujuan, dan menggambarkan sistem dan metodenya serta menentukan gambaran dan pengelompokannya.
Adapun masalah-masalah yang tidak qath'i (tidak bersifat aksiomatis) dari hukum-hukum dan aturan-aturan, itu pun tidak dibiarkan untuk dijadikan permainan hawa nafsu yang menguasai, atau kerancuan pemikiran yang menyerang, atau kesewenang-wenangan penguasa yang ada untuk memahami semaunya dan menafsirkan seenaknya, tanpa landasan yang benar dan bukti yang kuat.
Tidak, tetapi di sana ada "Ushul" dan "Kaidah-kaidah" yang dibuat oleh para imam untuk memperkuat adanya nash syarti terlebih dahulu, kemudian memahami maknanya dan selanjutnya beristinbath (mengeluarkan hukum dan menyimpulkan) permasalahan yang tidak ada nashnya.
"Oleh karena itu di sana terdapat ilmu ushul fiqih, kaidah-kaidah fiqih ushulul hadits, ushulut-tafsir dan yang lainnya dari berbagai bidang ilmu yang menjadi perangkat untuk memahami dan menyimpulkan," jelas al-Qardhawi.
Menurutnya, tidak mengapa bahwa di sana terdapat banyak lembaga dan madzhab dalam memahami dan menyimpulkan permasalahan, selama dia berdasarkan pada prinsip-prinsip dan sistematika keilmuan yang mapan, serta berdasarkan dalil dan bukan atas dasar hawa nafsu atau taklid buta.
"Barangkali perbedaan pendapat di sini juga berfungsi sebagai sumber pengayaan khasanah pemikiran Islam dan amal Islami apabila diletakkan dalam kerangka yang benar," demikian Al-Qardhawi.
Sehingga kita dapatkan ada yang mengatakan, "Islam yang manakah yang kalian dakwahkan kepada kita dan yang kalian tuntut kami untuk melaksanakannya? Kita telah melihat Islam yang sebagian penguasa mengaku menerapkannya saat ini adalah berbeda-beda satu negara dengan negara lainnya. Di sana ada Islam Sudan, Islam Iran, Islam Pakistan dan Islam Libya!! Atau sebagaimana dikatakan oleh sebagian orang dengan istilah; Islam Numairi, Islam Khumaini, Islam Dhiya'ul Haq dan Islam Qadafi. Islam yang manakah yang kalian maksud?"
"Maka kita katakan kepada mereka," kata Yusuf Qardhawi dalam bukunya berjudul "Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh" yang dalam edisi Indonesia menjadi "Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah" (Citra Islami Press, 1997).
"Sesungguhnya Islam adalah Islam, tanpa disandarkan kepada seseorang atau suatu golongan kecuali kepada pembuatnya atau yang menyampaikannya. Itulah Islam versi Al-Qur'an dan As-Sunnah. Tidak dikaitkan dengan nama seseorang, kecuali nama Muhammad SAW yang telah diutus oleh Allah sebagai pembawa khabar gembira, memberi peringatan kepada manusia serta mengajak mereka ke jalan Allah. Maka menjadilah ia ibarat pelita yang terang."
Menurutnya, meskipun terdapat banyak penafsiran (interpretasi) dan praktik pengamalan syari'at Islam yang berbeda-beda satu sama lain, namun di sana tetap ada suatu substansi dan esensi yang sama dalam masalah-masalah yang ushul (pokok).
Hal ini menunjukkan adanya kesatuan (keseragaman) dalam hal aqidah, prinsip, perasaan dan perilaku bagi ummat. Itulah lingkup Al Qath'iyat (hal-hal yang bersifat aksiomatis) di mana ummat bersepakat baik secara teori (konsep, maupun secara pelaksanaan, dan telah meresap di dalam fikiran dan hati serta kehidupan mereka selama beberapa kurun (empat belas abad) yang telah dilalui oleh mereka.
"Banyak hal yang bersifat aksiomatis dalam masalah aqidah dan pemikiran, dalam ibadah dan syi'ar, dalam hukum dan perundang-undangan, dalam akhlaq dan tata kehidupan, semua itu termasuk sesuatu yang tidak diperselisihkan dan tidak berbenturan di antara kaum Muslimin," katanya.
Hal-hal seperti inilah yang, menurut Al-Qardhawi, menjadi asas syari'at dan intinya. Itulah yang dapat menentukan arah dan tujuan, dan menggambarkan sistem dan metodenya serta menentukan gambaran dan pengelompokannya.
Adapun masalah-masalah yang tidak qath'i (tidak bersifat aksiomatis) dari hukum-hukum dan aturan-aturan, itu pun tidak dibiarkan untuk dijadikan permainan hawa nafsu yang menguasai, atau kerancuan pemikiran yang menyerang, atau kesewenang-wenangan penguasa yang ada untuk memahami semaunya dan menafsirkan seenaknya, tanpa landasan yang benar dan bukti yang kuat.
Tidak, tetapi di sana ada "Ushul" dan "Kaidah-kaidah" yang dibuat oleh para imam untuk memperkuat adanya nash syarti terlebih dahulu, kemudian memahami maknanya dan selanjutnya beristinbath (mengeluarkan hukum dan menyimpulkan) permasalahan yang tidak ada nashnya.
"Oleh karena itu di sana terdapat ilmu ushul fiqih, kaidah-kaidah fiqih ushulul hadits, ushulut-tafsir dan yang lainnya dari berbagai bidang ilmu yang menjadi perangkat untuk memahami dan menyimpulkan," jelas al-Qardhawi.
Menurutnya, tidak mengapa bahwa di sana terdapat banyak lembaga dan madzhab dalam memahami dan menyimpulkan permasalahan, selama dia berdasarkan pada prinsip-prinsip dan sistematika keilmuan yang mapan, serta berdasarkan dalil dan bukan atas dasar hawa nafsu atau taklid buta.
"Barangkali perbedaan pendapat di sini juga berfungsi sebagai sumber pengayaan khasanah pemikiran Islam dan amal Islami apabila diletakkan dalam kerangka yang benar," demikian Al-Qardhawi.
(mhy)