Islamofobia: Luka Baru dan Lama Derita Muslim China
loading...
A
A
A
Kontrol Langsung
Pada abad ke-18, hubungan antara umat Islam dan negara di China mulai berubah. Periode ini terjadi kekerasan ketika negara mencoba untuk melakukan kontrol langsung atas wilayah di mana mayoritas Muslim tinggal.
Dinasti Qing, yang berlangsung dari tahun 1644 hingga 1911, menandai periode pertumbuhan penduduk dan perluasan wilayah yang belum pernah terjadi sebelumnya. Selama periode ini, populasi Muslim bentrok dengan penguasa Qing dan memberontak berkali-kali.
Pemberontakan sering terjadi sebagai penentangan terhadap masuknya para migran. Imigran itu datang dari daerah berpenduduk padat di China ke daerah yang sebelumnya tidak berada di bawah kendali langsung China. Pemberontakan ini ditumpas dengan keras oleh negara, mengakhiri masa akomodasi yang lama bagi umat Islam di China.
Setelah berdirinya Republik Rakyat Tiongkok pada tahun 1949, ahli etnografi dan antropolog membagi orang-orang yang tinggal di dalam perbatasan negara baru menjadi 56 kelompok etnis. Hal ini berdasarkan kriteria yang relatif ambigu, seperti kesamaan bahasa, wilayah, sejarah, dan tradisi.
Dari kelompok ini, 10 kini diakui sebagai minoritas Muslim. Mereka, dalam urutan menurun berdasarkan ukuran populasi mereka: Hui, Uighur, Kazakh, Dongxiang, Kyrgyz, Salar, Tajik, Uzbek, Bonan dan terakhir Tatar, yang saat ini berjumlah sekitar 5.000.
Pada tahun-tahun pertama setelah berdirinya Republik Rakyat Tiongkok, umat Islam relatif menikmati kebebasan beragama. Namun, selama tahun-tahun awal Revolusi Kebudayaan yang kacau antara tahun 1966 dan 1969, masjid-masjid dirusak, salinan Al-Quran dihancurkan, umat Islam dilarang pergi haji dan ekspresi semua keyakinan agama dilarang oleh Komunis Merah.
Setelah kematian Mao Zedong pada tahun 1976, Komunis mengambil kebijakan yang lebih longgar terhadap komunitas Muslim.
Namun ketegangan telah meningkat sejak 9/11, dan mencapai titik didih pada tahun 2009 ketika terjadi kerusuhan etnis antara Uighur dan Han China di seluruh provinsi Xinjiang.
Sejak itu, pemerintah China secara perlahan dan diam-diam meningkatkan pembatasan terhadap pergerakan dan budaya Uighur dan minoritas Muslim lainnya.
Belakangan ini, ketegangan diperparah dengan penahanan tidak sah terhadap Muslim yang tinggal di wilayah Uighur di China barat. Kampanye yang dimulai dengan orang Uighur kini diperluas ke orang Kazakh dan lainnya. Ada banyak bukti bahwa Hui juga menghadapi pembatasan yang semakin meningkat.
(mhy)