Salat Mencegah Perbuatan Keji dan Munkar, Begini Penjelasannya
loading...
A
A
A
Allah subhanahu wa ta'ala berfirman bahwa salat mencegah dari perbuatan keji dan munkar . Bagaimana maksud dan penjelasannya? Seperti diketahui, jiwa manusia ada dua, yaitu jiwa baik dan jiwa buruk. Al-Qur'an menyebut kata jiwa dengan an-nafsu. Perlu diperhatikan bahwa al-hawā dan al-nafs adalah dua hal yang berbeda.
Imam al-Ghazali dalam 'Iḥyâ’‘Ulûmuddin' menerangkan bahwa etika buruk termasuk dalam bagian al-Muhlikāt (penghancur atau pembuat celaka). Ia menerangkan bahwa Al-Qur'an adalah penawar dari etika buruk serta dapat mencegahnya agar ia tidak mengakar dan berkembang dalam diri seseorang. Kemudian al-Ghazali menjelaskan cara membersihkan nafs dari etika buruk serta cara membersihkan hati darinya. (Iḥyâ’‘Ulûmuddin, al-Ghazali, 1/3).
Imam al-Ghazali mendefinisikan an-nafs sebagai,
“Istilah yang mencangkup semua bentuk kemarahan dan syahwat dalam diri manusia,…atau dia merupakan laṭifah (sesuatu yang lembut) wujud hakikat manusia itu sendiri.” (Ihya` Ulumiddin, al-Ghazali, 3/4).
Mengutip isi ceramah Ustadz Syahid Ridwanullah, dai alumni UNIDA Gontor, ia menjelaskannya sebagai berikut:
Dalam kitab lain, Imam Al Ghazali mendefinisikan an-nafs dengan dua hal. Pertama, makna yang menyeluruh tentang sifat yang buruk (madzmūmah) yaitu potensi hayawaniyah (potensi yang ada di hewan) yang menjadi lawan dari potensi ‘aqliyah (akal).
kedua, nafs adalah hakikat manusia itu sendiri. Karena nafs segala sesuatu adalah hakikatnya, yaitu jawhar (substansi; inti) yang menjadi tempat sesuatu yang bisa dicerna akal, ia dari alam malakūt.
Nafs memiliki tiga nama, sesuai dengan gejala atau indikator yang muncul. Yaitu muṭmainnah, lawwâmah, dan ammārah bis-sū’.
Nafs muṭmainnah (jiwa yang tenang) adalah jiwa yang senantiasa condong kepada kebaikan dan menjadikan kebenaran sebagai rujukan. Karenanya, Allah menurunkan ketenangan dan ketenteraman kepadanya dan membanjirinya dengan kemurahan-Nya sehingga ia selalu mengingat-Nya—Inilah sebab ia dinamakan “jiwa yang tenang”.
Nafs lawwâmah adalah jiwa yang ketaatan dan syahwat silih berganti menguasai dirinya. Terkadang jiwanya bertumpu kepada ketaatan dan terkadang ia tunduk kepada hawa nafsunya. Nafs inilah, nafs lawwamah, yang banyak ada di manusia.
Jika nafs lawwâmah ditingkatkan dengan ilmu, amal, dan jihad ruhani, maka bisa meningkat menjadi layaknya malaikat.
Jika nafs tersebut derajatnya selalu menurut dan merendah, maka itulah nafs ammārah bis-sū’. Nafs yang menggambarkan manusia seperti hewan. Seandainya ada anjing atau keledai yang bisa berbicara, maka itulah gambaran nafs ini. (Ma’ārij al-Quds fī Ma’rifati al-Nafs, al-Ghazāli, 15—16).
Jiwa (nafs) terbagi menjadi tiga: (1) jiwa binatang (bahā’im), (2) jiwa buas (sibā’), dan (3) jiwa malaikat. Setiap jiwa memiliki kepuasan dan kebahagiaannya masing-masing.
Pertama, jiwa binatang.
Kebahagiaannya diraih dengan makan, minum, tidur, dan berhubungan badan. Jika manusia membuat jiwa ini mendominasi dirinya, maka hanya ada dua tempat kepuasan yaitu kerongkongan dan kemaluan.
Kedua, jiwa buas.
Kepuasannya dengan memukul dan keberanian. Jiwa setan kepuasannya ada di keburukan (syar) dan makar.
Ketiga, jiwa malaikat.
Jiwa malaikat ada di penyaksian akan keindahan akan kemahakuasaannya Allah. Jiwa malaikat akan terus mencari kepuasan untuk bermunajat kepada Allah. Tidak ada tempat dalam jiwa malaikat untuk menuruti syahwat dan ghadab.
Setan melalui kepuasannya menggiring manusia agar berbuat keji dan munkar.
Imam al-Ghazali dalam 'Iḥyâ’‘Ulûmuddin' menerangkan bahwa etika buruk termasuk dalam bagian al-Muhlikāt (penghancur atau pembuat celaka). Ia menerangkan bahwa Al-Qur'an adalah penawar dari etika buruk serta dapat mencegahnya agar ia tidak mengakar dan berkembang dalam diri seseorang. Kemudian al-Ghazali menjelaskan cara membersihkan nafs dari etika buruk serta cara membersihkan hati darinya. (Iḥyâ’‘Ulûmuddin, al-Ghazali, 1/3).
Imam al-Ghazali mendefinisikan an-nafs sebagai,
أَنَّهَا المَعْنَى الَجامِعُ لِقُوَّةِ الغَضَبِ وَالشَّهْوَةِ فِي الِإنْسَانِ … أَوْ أَنَّهَا اللَّطِيْفَةُ الَّتِي هِيَ حَقِيْقَةُ الإِنْسَانِ وَذَاتُهُ
“Istilah yang mencangkup semua bentuk kemarahan dan syahwat dalam diri manusia,…atau dia merupakan laṭifah (sesuatu yang lembut) wujud hakikat manusia itu sendiri.” (Ihya` Ulumiddin, al-Ghazali, 3/4).
Mengutip isi ceramah Ustadz Syahid Ridwanullah, dai alumni UNIDA Gontor, ia menjelaskannya sebagai berikut:
Dalam kitab lain, Imam Al Ghazali mendefinisikan an-nafs dengan dua hal. Pertama, makna yang menyeluruh tentang sifat yang buruk (madzmūmah) yaitu potensi hayawaniyah (potensi yang ada di hewan) yang menjadi lawan dari potensi ‘aqliyah (akal).
kedua, nafs adalah hakikat manusia itu sendiri. Karena nafs segala sesuatu adalah hakikatnya, yaitu jawhar (substansi; inti) yang menjadi tempat sesuatu yang bisa dicerna akal, ia dari alam malakūt.
Nafs memiliki tiga nama, sesuai dengan gejala atau indikator yang muncul. Yaitu muṭmainnah, lawwâmah, dan ammārah bis-sū’.
Nafs muṭmainnah (jiwa yang tenang) adalah jiwa yang senantiasa condong kepada kebaikan dan menjadikan kebenaran sebagai rujukan. Karenanya, Allah menurunkan ketenangan dan ketenteraman kepadanya dan membanjirinya dengan kemurahan-Nya sehingga ia selalu mengingat-Nya—Inilah sebab ia dinamakan “jiwa yang tenang”.
Nafs lawwâmah adalah jiwa yang ketaatan dan syahwat silih berganti menguasai dirinya. Terkadang jiwanya bertumpu kepada ketaatan dan terkadang ia tunduk kepada hawa nafsunya. Nafs inilah, nafs lawwamah, yang banyak ada di manusia.
Jika nafs lawwâmah ditingkatkan dengan ilmu, amal, dan jihad ruhani, maka bisa meningkat menjadi layaknya malaikat.
Jika nafs tersebut derajatnya selalu menurut dan merendah, maka itulah nafs ammārah bis-sū’. Nafs yang menggambarkan manusia seperti hewan. Seandainya ada anjing atau keledai yang bisa berbicara, maka itulah gambaran nafs ini. (Ma’ārij al-Quds fī Ma’rifati al-Nafs, al-Ghazāli, 15—16).
Jiwa (nafs) terbagi menjadi tiga: (1) jiwa binatang (bahā’im), (2) jiwa buas (sibā’), dan (3) jiwa malaikat. Setiap jiwa memiliki kepuasan dan kebahagiaannya masing-masing.
Pertama, jiwa binatang.
Kebahagiaannya diraih dengan makan, minum, tidur, dan berhubungan badan. Jika manusia membuat jiwa ini mendominasi dirinya, maka hanya ada dua tempat kepuasan yaitu kerongkongan dan kemaluan.
Kedua, jiwa buas.
Kepuasannya dengan memukul dan keberanian. Jiwa setan kepuasannya ada di keburukan (syar) dan makar.
Ketiga, jiwa malaikat.
Jiwa malaikat ada di penyaksian akan keindahan akan kemahakuasaannya Allah. Jiwa malaikat akan terus mencari kepuasan untuk bermunajat kepada Allah. Tidak ada tempat dalam jiwa malaikat untuk menuruti syahwat dan ghadab.
Setan melalui kepuasannya menggiring manusia agar berbuat keji dan munkar.