Di Balik Kegagalan Dakwah Islam setelah Generasi Sahabat Menurut Sayyid Qutb

Kamis, 27 Juli 2023 - 14:51 WIB
loading...
Di Balik Kegagalan Dakwah Islam setelah Generasi Sahabat Menurut Sayyid Qutb
Sayyid Qutb. Foto: Ist
A A A
Sayyid Quthb mengatakan pada generasi awal Al-Qur'an menjadi jantung dan rujukan satu-satunya dakwah sehingga melahirkan generasi sahabat, generasi yang istimewa. Kemudian pada generasi berikutnya, sumber-sumber rujukan telah berubah menjadi beragam dan bermacam-macam.

"Sumber rujukan generasi-generasi berikutnya telah tercampur oleh filsafat Yunani dan Logika mereka, legenda Parsi dan pola pandang mereka, israiliat Yahudi dan teologi Nashrani, dan pengaruh peradaban serta budaya lainnya," ujarnya dalam bukunya berjudul "Ma'alim fi Thariq".

Menurutnya, semua itu tercampur dalam menafsirkan Al-Qur'an, bangunan ilmu Kalam , juga dalam fiqh dan ushul. Dari racikan sumber-sumber itu, tercetaklah seluruh generasi berikutnya, sehingga keberhasilan generasi pertama tidak pernah terulang lagi.

Diyakini dengan pasti, bahwa percampuran sumber yang utama dengan sumber-sumber yang lain itulah yang menjadi faktor utama perbedaan keberhasilan generasi pertama dengan seluruh generasi berikutnya. Yaitu generasi pertama Islam yang istimewa itu.



Faktor Lain

Selanjutnya Sayyid Qutb menyebut ada faktor utama lain, selain perbedaan sumber rujukan itu. Yaitu perbedaan dalam menerima dakwah, dibandingkan dengan generasi pertama yang istimewa itu.

Mereka (generasi pertama) membaca Al-Qur'an bukan untuk sekadar ingin tahu dan sekadar membaca, juga bukan sekadar untuk merasakan dan menikmatinya. Tidak ada seorangpun dari mereka yang mempelajari Al-Quran untuk sekadar menambah pengetahuan, atau untuk menambah bobot ilmiah dan kepintaran dalam ilmu fiqh.

Mereka mempelajari Al-Qur'an untuk menerima perintah Allah SWT berkenaan dengan masalah pribadi mereka, masyarakat tempat mereka hidup, dan kehidupan yang dijalaninya bersama jama'ahnya.

Mereka menerima perintah Allah SWT itu untuk segera diamalkan setelah mendengarnya. Seperti seorang tentara dalam medan perang menerima "perintah harian", yang langsung ia kerjakan setelah menerimanya!



Oleh karena itu, kata Sayyid Qutb, tidak ada dari mereka yang memperbanyak mempelajari Al-Qur'an dalam sekali duduk, karena ia merasa bahwa dengan memperbanyak membaca perintah Allah SWT itu berarti memperbanyak pula kewajiban dan tugas yang harus ia emban.

"Mereka cukup membaca dan mempelajari sepuluh ayat, setiap kesempatan menelaah Al-Qur'an, hingga ia menghafal dan melaksanakan isinya," ujar Sayyid Qutb.

Perasaan seperti dan sikap ini; yakni sikap menerima ajaran Al-Quran untuk dilaksanakan perintahnya, membuat mereka, dengan membaca Al Qur'an, terbukakan gerbang kenikmatan dan ilmu pengetahuan.

Hal itu tidak terjadi jika mereka membaca Al-Qur'an hanya sekadar untuk meneliti, mengkaji dan membacanya. Dengan cara membaca seperti itu, mereka menjadi termudahkan untuk mengamalkan isinya, teringankan beban tugas mereka.

Al-Qur'an merasuk dalam diri mereka, dan setelah itu mereka ejawantahkan dalam manhaj yang realistis dan praksis, yang tidak semata berada dalam otak atau kalimat-kalimat yang tersimpan dalam kertas. Namun menjadi wujud perubahan dan peristiwa yang merubah perjalanan hidup.

Al-Qur'an tidak memberikan khazanahnya kecuali bagi orang yang menerimanya dengan semangat ini: semangat untuk mengetahui, dan kemudian menjalankannya.



Manhaj Ilahi

Menurut Sayyid Qutb, Al-Qur'an tidak datang untuk sekadar menjadi hiburan otak, ia bukan kitab sastra atau seni, dan bukan pula sebuah kitab kisah atau sejarah --meskipun semua itu terkandung dalam isinya-- namun ia datang agar menjadi manhaj kehidupan. Manhaj Ilahi yang murni.

Allah SWT menurunkan manhaj ini secara terpisah-pisah dan berangsur-angsur. Yang datang secara beriringan:

"Dan Al-Qur'an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia, dan Kami menurunkannya bagian demi bagian." ( QS Al Israa : 106).

Al-Qur'an tidak diturunkan sekaligus. Namun diturunkan sesuai dengan kebutuhan manusia yang terus berubah, perkembangan yang terjadi dalam pemikiran dan pola pandang, perkembangan dalam masyarakat dan kehidupan, serta sesuai dengan problem-problem praksis yang dihadapi oleh masyarakat Islam dalam kehidupan sehari-harinya.



Suatu ayat atau beberapa ayat dari Al Qur'an diturunkan dalam suatu momen tertentu atau suatu kejadian tertentu, yang menjadi masalah bagi manusia, untuk kemudian memberikan tuntunan bagi mereka dalam menghadapi masalah seperti itu. Menggariskan bagi mereka manhaj tindakan yang harus mereka lakukan dalam keadaan seperti itu. Meluruskan kesalahan sikap dan tindakan mereka. Mengaitkan semua itu dengan Allah SWT, Rabb mereka, dan memperkenalkan Diri-Nya, kepada mereka, dengan sifat-sifat-Nya yang berkuasa di segenap alam.

Dengan begitu, kata Sayyid Qutb, mereka merasakan bahwa mereka hidup bersama Allah SWT dan selalu berada dalam pengawasan-Nya secara langsung. Oleh karena itu, mereka segera mengubah sikap dan tindakan mereka dalam kehidupan sesuai dengan tuntunan manhaj Ilahi yang sempurna itu.

Manhaj mempelajari Al Qur'an untuk dilaksanakan dan diamalkan isinya itulah yang telah menghasilkan generasi pertama Islam. Sementara manhaj mempelajari Al Qur'an semata untuk mengkaji dan menikmatinya itulah yang telah menghasilkan generasi-generasi berikutnya. Tentunya, faktor kedua ini adalah juga faktor utama yang membedakan seluruh generasi Islam dibandingkan dengan generasi pertama yang istimewa itu.

(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2573 seconds (0.1#10.140)