Kisah Sana, Perempuan yang Dianggap Menjadi Ancaman Serius bagi Prancis
loading...
A
A
A
Sana, begitu orang mengenalnya. Perempuan berusia 24 tahun ini lahir dan besar di Prancis . Pada Januari lalu, ibu yang memiliki dua anak perempuan itu dipulangkan ke Prancis setelah empat tahun ditahan di Suriah . Kini, Prancis akan mendeportasi Sana ke Aljazair . Mengapa?
Perempuan ini memang berdarah Aljazair. Sejatinya, dia bisa saja mendapatkan kewarganegaraan Prancis pada usia 13 tahun, namun tidak diizinkan oleh ibunya, yang merupakan pendukung ISIS.
Sana sendiri hanyalah nama samaran untuk melindungi identitas aslinya. Pada usia 15 tahun, keluarganya berbaiat kepada kelompok Negara Islam ( ISIS ).
Sana menikah dengan seorang anggota kelompok bersenjata asal Belgia di Suriah dan kemudian dipenjarakan oleh anggota Pasukan Demokratik Suriah (SDF) di sebuah kamp di timur laut Suriah. Ia ditahan 4 tahun lalu dipulangkan ke Prancis.
Seperti halnya orang-orang lain yang terkait dengan ISIS yang telah dipulangkan, pihak berwenang Prancis belum melakukan proses pidana terhadap Sana.
Pegawai negeri senior Perancis, Georges-Francois Leclerc, yang menghadiri sidang di Lille mengenai rencana deportasi mengatakan dia menganggap perempuan tersebut sebagai “ancaman serius bagi republik Prancis”.
Marie Dose, pengacara yang mewakili Sana, mengatakan kepada Middle East Eye: “Saya telah mempersiapkan dia untuk dipenjara, tapi tidak untuk ini, tidak untuk deportasi.”
Kliennya dijadwalkan menghadiri pertemuan komisi deportasi pada hari Rabu lalu tetapi malah dirawat di rumah sakit setelah mengalami serangan kecemasan. “Terlalu banyak tekanan baginya,” kata Dose.
Sana, yang telah tinggal di Prancis sepanjang hidupnya hingga pindah ke Suriah, mengatakan bahwa dia tidak terbiasa dengan Aljazair. “Saya tidak membayangkan kemungkinan terburuknya, saya tidak menyangka hal ini akan menjadi seperti ini,” lanjut Dose.
Kasus Deportasi
Para pejabat anti-terorisme di Perancis mengetahui kasus Sana dan usianya saat ia pindah ke Suriah dilaporkan menjadi faktor dalam keputusan mereka untuk tidak mengadilinya.
Remaja tersebut pada dasarnya berada di bawah kendali ibu dan pamannya, yang sepenuhnya berkomitmen pada ideologi ISIS.
Pada tahun 2014, ketika pasangan tersebut membawanya ke Suriah, dia tidak dapat memberikan persetujuan hukum atas keputusan tersebut.
Sana menikah dengan seorang anggota ISIS asal Belgia segera setelah dia tiba di Raqqa, yang dulunya merupakan ibu kota de facto kelompok tersebut, dan melahirkan anak pertamanya pada usia 16 tahun. Pada usia 19 tahun, ia memiliki putri keduanya.
“Perkawinan paksa pada usia 15 tahun adalah pemerkosaan,” kata pengacaranya.
Sana mengatakan kepada penyelidik Prancis bahwa dia telah mencoba melarikan diri dari kelompok tersebut tetapi dicegah oleh ibunya.
Pada bulan Maret 2019, dia ditangkap dan kemudian ditahan oleh pasukan SDF, sebuah milisi yang sebagian besar terdiri dari kelompok Kurdi dan beberapa faksi Arab, yang didukung oleh AS.
Perempuan ini memang berdarah Aljazair. Sejatinya, dia bisa saja mendapatkan kewarganegaraan Prancis pada usia 13 tahun, namun tidak diizinkan oleh ibunya, yang merupakan pendukung ISIS.
Sana sendiri hanyalah nama samaran untuk melindungi identitas aslinya. Pada usia 15 tahun, keluarganya berbaiat kepada kelompok Negara Islam ( ISIS ).
Sana menikah dengan seorang anggota kelompok bersenjata asal Belgia di Suriah dan kemudian dipenjarakan oleh anggota Pasukan Demokratik Suriah (SDF) di sebuah kamp di timur laut Suriah. Ia ditahan 4 tahun lalu dipulangkan ke Prancis.
Seperti halnya orang-orang lain yang terkait dengan ISIS yang telah dipulangkan, pihak berwenang Prancis belum melakukan proses pidana terhadap Sana.
Pegawai negeri senior Perancis, Georges-Francois Leclerc, yang menghadiri sidang di Lille mengenai rencana deportasi mengatakan dia menganggap perempuan tersebut sebagai “ancaman serius bagi republik Prancis”.
Marie Dose, pengacara yang mewakili Sana, mengatakan kepada Middle East Eye: “Saya telah mempersiapkan dia untuk dipenjara, tapi tidak untuk ini, tidak untuk deportasi.”
Kliennya dijadwalkan menghadiri pertemuan komisi deportasi pada hari Rabu lalu tetapi malah dirawat di rumah sakit setelah mengalami serangan kecemasan. “Terlalu banyak tekanan baginya,” kata Dose.
Sana, yang telah tinggal di Prancis sepanjang hidupnya hingga pindah ke Suriah, mengatakan bahwa dia tidak terbiasa dengan Aljazair. “Saya tidak membayangkan kemungkinan terburuknya, saya tidak menyangka hal ini akan menjadi seperti ini,” lanjut Dose.
Baca Juga
Kasus Deportasi
Para pejabat anti-terorisme di Perancis mengetahui kasus Sana dan usianya saat ia pindah ke Suriah dilaporkan menjadi faktor dalam keputusan mereka untuk tidak mengadilinya.
Remaja tersebut pada dasarnya berada di bawah kendali ibu dan pamannya, yang sepenuhnya berkomitmen pada ideologi ISIS.
Pada tahun 2014, ketika pasangan tersebut membawanya ke Suriah, dia tidak dapat memberikan persetujuan hukum atas keputusan tersebut.
Sana menikah dengan seorang anggota ISIS asal Belgia segera setelah dia tiba di Raqqa, yang dulunya merupakan ibu kota de facto kelompok tersebut, dan melahirkan anak pertamanya pada usia 16 tahun. Pada usia 19 tahun, ia memiliki putri keduanya.
“Perkawinan paksa pada usia 15 tahun adalah pemerkosaan,” kata pengacaranya.
Sana mengatakan kepada penyelidik Prancis bahwa dia telah mencoba melarikan diri dari kelompok tersebut tetapi dicegah oleh ibunya.
Pada bulan Maret 2019, dia ditangkap dan kemudian ditahan oleh pasukan SDF, sebuah milisi yang sebagian besar terdiri dari kelompok Kurdi dan beberapa faksi Arab, yang didukung oleh AS.