Hukum Merayakan Maulid Nabi, Ini Dalil dan Fatwa Ulama yang Membolehkannya
loading...
A
A
A
Hukum merayakan Maulid Nabi penting diketahui umat Islam agar tidak keliru dan gagal paham dalam menyikapinya. Sudah menjadi tradisi di berbagai negara muslim termasuk di Indonesia, Maulid Nabi selalu diperingati pada bulan Rabiul Awal.
Hari ini bertepatan 1 Rabiul Awal, Ahad (17/9/2023), umat Islam sudah mulai menggelar perayaan Maulid Nabi di berbagai daerah. Ada yang menggelarnya di masjid, di majelis taklim dan rumah-rumah.
Hukum memperingati Maulid Nabi Muhammad ﷺ adalah boleh dan tidak termasuk bid'ah dhalalah (mengada-ada yang buruk) seperti yang disebutkan sekelompok golongan yang anti Maulid. Para ulama Salaf bahkan telah mengeluarkan fatwa tentang kebolehan memperingati Maulid Nabi.
Seperti fatwa ulama besar Imam Hasan Al-Bashri (wafat 110 Hijriyah) mengemukakan dalam Kitab I'anah Thalibin (3/415): "Seandainya aku memiliki emas seumpama gunung Uhud, niscaya aku akan menafkahkannya (semuanya) kepada orang yang membacakan Maulid ar-Rasul." (I'anah Thalibin)
Fatwa ulama lainnya, Imam Asy-Syafi'i (wafat 204 H) menyatakan: "Barangsiapa yang mengumpulkan orang untuk melaksanakan perayaan Maulid Nabi karena kecintaan secara berjamaah dengan menyediakan makanan dan berlaku baik, niscaya Allah bangkitkan di hari Kiamat beserta para ahli kebenaran, syuhada dan para shalihin." (Madarijus Su'ud hal 16)
Imam Junaid Al-Baghdadi (wafat 298 H) mengatakan: "Barangsiapa yang menghadiri Maulid ar-Rasul dan mengagungkannya, maka dia beruntung dengan keimanannya." (I'anah Thalibin (3/415)
Imam Ibnu Jauzi (597 H) berkata: "Di antara keistimewaan Maulid Nabi adalah keadaan aman (pencegah musibah) pada tahun itu, kabar gembira serta segala kebutuhan dan keinginan terpenuhi." (As-Sirah al-Halabiyah (1/83)
Hal senada disampaikan Imam Ibnu Hajar Al-Haitsami: "Dan amal Maulid Nabi serta berkumpulnya manusia untuk memperingati yang demikian adalah bid'ah hasanah." (Mawahid Ladunniyah (1/148)
Dalil Merayakan Maulid Nabi
Apa yang disampaikan para ulama di atas tentu memiliki hujjah dan argumentasi yang kuat. Di antara dalil kebolehan memperingati Maulid Nabi dapat kita temukan dalam Hadis riwayat Muslim.
عَنْ أَبِيْ قَتَادَةَ الأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ صَوْمِ الْإِثْنَيْنِ فَقَالَ” : فِيْهِ وُلِدْتُ وَفِيْهِ أُنْزِلَ عَلَيَّ .” رواه مسلم
"Dari Abi Qotadah al-Anshori radhiyallahu 'anhu sesungguhnya Rasulullah ﷺ pernah ditanya mengenai puasa hari Senin. Beliau menjawab: "Pada hari itu aku dilahirkan dan wahyu diturunkan kepadaku." (HR Muslim)
Hadis ini menegaskan bahwa Rasulullah ﷺ sendiri merayakan hari kelahiran beliau dengan berpuasa pada Hari Senin. Puasa yang dilakukan beliau tentu dalam rangka mensyukuri kelahiran beliau dan penerimaan wahyu kepada beliau.
Kemudian, dalam Al-Qur'an Allah berfirman: "Katakanlah (Muhammad), "Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Itu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan." (QS Yunus ayat 58)
Dalil berikutnya disebutkan dalam Hadis shahih Al-Bukhari, Abu Lahab seorang kafir yang sangat zalim diringankannya siksanya oleh Alah setiap hari Senin karena bergembira dengan lahirnya Nabi Muhammad ﷺ, yang juga keponakannya. Saking gembiranya menyambut kelahiran Nabi Muhammad ﷺ, Abu Lahab membebaskan (memerdekakan) budaknya bernama Tsuwaibatuh Al-Aslamiyah.
Jika Abu Lahab yang kafir mendapat keringanan siksa sebab kegembiraannya atas kelahiran Nabi, bagaimana dengan umat Islam yang bergembira dengan kelahiran Nabi Muhammad ﷺ dan mencintainya sepanjang masa?
Sekadar informasi, menurut Imam Al-Suyuthi, raja pertama yang memperingati hari kelahiran Rasulullah ﷺ dengan perayaan yang sangat meriah adalah Raja Al-Mudhaffar Abu Sa'id Kukburi ibn Zainuddin Ali bin Baktakin (549-630 Hijriyah). Tidak kurang dari 300.000 Dinar beliau keluarkan untuk bersedekah pada hari peringatan Maulid tersebut.
Hari ini bertepatan 1 Rabiul Awal, Ahad (17/9/2023), umat Islam sudah mulai menggelar perayaan Maulid Nabi di berbagai daerah. Ada yang menggelarnya di masjid, di majelis taklim dan rumah-rumah.
Hukum memperingati Maulid Nabi Muhammad ﷺ adalah boleh dan tidak termasuk bid'ah dhalalah (mengada-ada yang buruk) seperti yang disebutkan sekelompok golongan yang anti Maulid. Para ulama Salaf bahkan telah mengeluarkan fatwa tentang kebolehan memperingati Maulid Nabi.
Seperti fatwa ulama besar Imam Hasan Al-Bashri (wafat 110 Hijriyah) mengemukakan dalam Kitab I'anah Thalibin (3/415): "Seandainya aku memiliki emas seumpama gunung Uhud, niscaya aku akan menafkahkannya (semuanya) kepada orang yang membacakan Maulid ar-Rasul." (I'anah Thalibin)
Fatwa ulama lainnya, Imam Asy-Syafi'i (wafat 204 H) menyatakan: "Barangsiapa yang mengumpulkan orang untuk melaksanakan perayaan Maulid Nabi karena kecintaan secara berjamaah dengan menyediakan makanan dan berlaku baik, niscaya Allah bangkitkan di hari Kiamat beserta para ahli kebenaran, syuhada dan para shalihin." (Madarijus Su'ud hal 16)
Imam Junaid Al-Baghdadi (wafat 298 H) mengatakan: "Barangsiapa yang menghadiri Maulid ar-Rasul dan mengagungkannya, maka dia beruntung dengan keimanannya." (I'anah Thalibin (3/415)
Imam Ibnu Jauzi (597 H) berkata: "Di antara keistimewaan Maulid Nabi adalah keadaan aman (pencegah musibah) pada tahun itu, kabar gembira serta segala kebutuhan dan keinginan terpenuhi." (As-Sirah al-Halabiyah (1/83)
Hal senada disampaikan Imam Ibnu Hajar Al-Haitsami: "Dan amal Maulid Nabi serta berkumpulnya manusia untuk memperingati yang demikian adalah bid'ah hasanah." (Mawahid Ladunniyah (1/148)
Dalil Merayakan Maulid Nabi
Apa yang disampaikan para ulama di atas tentu memiliki hujjah dan argumentasi yang kuat. Di antara dalil kebolehan memperingati Maulid Nabi dapat kita temukan dalam Hadis riwayat Muslim.
عَنْ أَبِيْ قَتَادَةَ الأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ صَوْمِ الْإِثْنَيْنِ فَقَالَ” : فِيْهِ وُلِدْتُ وَفِيْهِ أُنْزِلَ عَلَيَّ .” رواه مسلم
"Dari Abi Qotadah al-Anshori radhiyallahu 'anhu sesungguhnya Rasulullah ﷺ pernah ditanya mengenai puasa hari Senin. Beliau menjawab: "Pada hari itu aku dilahirkan dan wahyu diturunkan kepadaku." (HR Muslim)
Hadis ini menegaskan bahwa Rasulullah ﷺ sendiri merayakan hari kelahiran beliau dengan berpuasa pada Hari Senin. Puasa yang dilakukan beliau tentu dalam rangka mensyukuri kelahiran beliau dan penerimaan wahyu kepada beliau.
Kemudian, dalam Al-Qur'an Allah berfirman: "Katakanlah (Muhammad), "Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Itu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan." (QS Yunus ayat 58)
Dalil berikutnya disebutkan dalam Hadis shahih Al-Bukhari, Abu Lahab seorang kafir yang sangat zalim diringankannya siksanya oleh Alah setiap hari Senin karena bergembira dengan lahirnya Nabi Muhammad ﷺ, yang juga keponakannya. Saking gembiranya menyambut kelahiran Nabi Muhammad ﷺ, Abu Lahab membebaskan (memerdekakan) budaknya bernama Tsuwaibatuh Al-Aslamiyah.
Jika Abu Lahab yang kafir mendapat keringanan siksa sebab kegembiraannya atas kelahiran Nabi, bagaimana dengan umat Islam yang bergembira dengan kelahiran Nabi Muhammad ﷺ dan mencintainya sepanjang masa?
Sekadar informasi, menurut Imam Al-Suyuthi, raja pertama yang memperingati hari kelahiran Rasulullah ﷺ dengan perayaan yang sangat meriah adalah Raja Al-Mudhaffar Abu Sa'id Kukburi ibn Zainuddin Ali bin Baktakin (549-630 Hijriyah). Tidak kurang dari 300.000 Dinar beliau keluarkan untuk bersedekah pada hari peringatan Maulid tersebut.
(rhs)