Kisah Thomas Carlyle ketika Orang Dilarang Bicara tentang Nabi Muhammad SAW
loading...
A
A
A
Tidak sulit untuk mengumpulkan pendapat-pendapat yang memuji atau mencaci Nabi Muhammad SAW . Meskipun penilaian dan persangkaan mereka ini seringkali menimbulkan fitnah buruk terhadap diri Nabi Muhammad SAW.
"Mari kita lihat sejarah masa lalu," ujar ulama yang menekuni perbandingan agama, Syekh Ahmed Hussein Deedat (1 Juli 1918 – 8 Agustus 2005) dalam buku "The Choice Islam and Christianity" yang dalam edisi Indonesia menjadi "Dialog Islam Kristen" (Pustaka Al-Kautsar, 1999).
Sekitar satu setengah abad yang lalu, katanya, orang-orang dilarang untuk membicarakan hal-hal yang baik tentang Nabi Muhammad SAW. Kala itu, sejak kecil umat Kristen selalu diajarkan untuk membenci Nabi Muhammad SAW dan ajarannya dengan cara yang sama seperti mereka mengajarkan anjing mereka untuk membenci orang kulit hitam .
Pada tanggal 8 Mei 1840, Thomas Carlyle, salah satu pemikir terkemuka saat itu memberi kuliah dengan tema "Pahlawan dan Pemujaan terhadap Pahlawan."
Carlyle adalah seorang yang genius dan pandai berbicara. Dengan caranya sendiri, dia ingin membuat catatan yang benar. Dia berencana untuk memberi suatu kuliah dan dia memilih suatu topik yang sangat provokatif "The Hero as Prophet" (Sang Pahlawan sebagai Nabi), dan dia memilih nabi yang paling perkasa yang sering difitnah yaitu "Muhammad SAW". Bukan Musa, Daud, Sulaiman atau Yesus, tetapi Muhammad SAW. Untuk menenteramkan hati saudara setanah airnya (yang sebagian besar anggota Gereja Anglican), dia meminta maaf:
"Tidak ada bahaya bagi kita terhadap 'Mahometans. Saya hanya ingin menyatakan segala sesuatu yang baik pada dirinya. Hanya itu saja".
Dengan kata lain, ujar Ahmed Deedat, dia dan juga pendengarnya adalah bebas dari pengaruh Islam dan tidak akan berubah menjadi Islam hanya karena memuji Muhammad. "Jika dia merasa bahwa pujiannya ini bisa mempengaruhi kepercayaan mereka pada agama mereka, maka dia tidak akan memilih tema tersebut," kata Ahmed Deedat.
Dalam suatu masa yang penuh dengan kebencian dan dendam terhadap Islam dan kepada pendengarnya yang sangat skeptis dan sinis, Carlyle membuka suatu sinar kebenaran tentang pahlawannya - Muhammad SAW. Untuk seseorang yang 'patut dipuji' maka harus dipuji. Untuk itu, nama Muhammad berarti nama yang patut dipuji.
"Walaupun ada kalanya Carlyle menggunakan kata-kata dan gambaran-gambaran yang mungkin tidak menyenangkan bagi Muslim tetapi paling tidak dia telah membuka pintu yang selama ini selalu tertutup bagi Islam, dan dia berhasil," tutur Ahmed Deedat.
Menurutnya, dia telah memberikan penghargaan yang besar dan antusias dan membelanya (Muhammad SAW) dari pandangan yang salah dari musuh-musuhnya, seperti yang dilakukan Rasulullah terhadap Yesus dan Ibunya.
"Mari kita lihat sejarah masa lalu," ujar ulama yang menekuni perbandingan agama, Syekh Ahmed Hussein Deedat (1 Juli 1918 – 8 Agustus 2005) dalam buku "The Choice Islam and Christianity" yang dalam edisi Indonesia menjadi "Dialog Islam Kristen" (Pustaka Al-Kautsar, 1999).
Baca Juga
Sekitar satu setengah abad yang lalu, katanya, orang-orang dilarang untuk membicarakan hal-hal yang baik tentang Nabi Muhammad SAW. Kala itu, sejak kecil umat Kristen selalu diajarkan untuk membenci Nabi Muhammad SAW dan ajarannya dengan cara yang sama seperti mereka mengajarkan anjing mereka untuk membenci orang kulit hitam .
Pada tanggal 8 Mei 1840, Thomas Carlyle, salah satu pemikir terkemuka saat itu memberi kuliah dengan tema "Pahlawan dan Pemujaan terhadap Pahlawan."
Carlyle adalah seorang yang genius dan pandai berbicara. Dengan caranya sendiri, dia ingin membuat catatan yang benar. Dia berencana untuk memberi suatu kuliah dan dia memilih suatu topik yang sangat provokatif "The Hero as Prophet" (Sang Pahlawan sebagai Nabi), dan dia memilih nabi yang paling perkasa yang sering difitnah yaitu "Muhammad SAW". Bukan Musa, Daud, Sulaiman atau Yesus, tetapi Muhammad SAW. Untuk menenteramkan hati saudara setanah airnya (yang sebagian besar anggota Gereja Anglican), dia meminta maaf:
"Tidak ada bahaya bagi kita terhadap 'Mahometans. Saya hanya ingin menyatakan segala sesuatu yang baik pada dirinya. Hanya itu saja".
Dengan kata lain, ujar Ahmed Deedat, dia dan juga pendengarnya adalah bebas dari pengaruh Islam dan tidak akan berubah menjadi Islam hanya karena memuji Muhammad. "Jika dia merasa bahwa pujiannya ini bisa mempengaruhi kepercayaan mereka pada agama mereka, maka dia tidak akan memilih tema tersebut," kata Ahmed Deedat.
Dalam suatu masa yang penuh dengan kebencian dan dendam terhadap Islam dan kepada pendengarnya yang sangat skeptis dan sinis, Carlyle membuka suatu sinar kebenaran tentang pahlawannya - Muhammad SAW. Untuk seseorang yang 'patut dipuji' maka harus dipuji. Untuk itu, nama Muhammad berarti nama yang patut dipuji.
"Walaupun ada kalanya Carlyle menggunakan kata-kata dan gambaran-gambaran yang mungkin tidak menyenangkan bagi Muslim tetapi paling tidak dia telah membuka pintu yang selama ini selalu tertutup bagi Islam, dan dia berhasil," tutur Ahmed Deedat.
Menurutnya, dia telah memberikan penghargaan yang besar dan antusias dan membelanya (Muhammad SAW) dari pandangan yang salah dari musuh-musuhnya, seperti yang dilakukan Rasulullah terhadap Yesus dan Ibunya.
(mhy)