Kekuatan Jiwa Besar Abu Bakar Ash-Shiddiq di Hari Nabi Muhammad SAW Wafat
loading...
A
A
A
Rasulullah SAW wafat pada 12 Rabiulawal tahun 11 Hijri (3 Juni 632 M). Subuh hari itu Rasulullah SAW merasa sudah sembuh dari sakitnya. Setelah tersiar berita bahwa Rasulullah telah wafat tak lama setelah duduk-duduk dan berbicara dengan mereka, mereka sangat terkejut.
Umar bin Khattab yang berada di tengah-tengah mereka berdiri dan berpidato, membantah berita itu. Ia mengatakan bahwa Rasulullah tidak meninggal, melainkan sedang pergi menghadap Tuhan seperti halnya dengan Musa, yang menghilang dari masyarakatnya selama empat puluh malam, kemudian kembali lagi setelah tadinya dikatakan meninggal.
Umar terus mengancam orang-orang yang mengatakan bahwa Rasulullah telah wafat. Dikatakannya bahwa Rasulullah SAW akan kembali kepada mereka dan akan memotong tangan dan kaki mereka.
Muhammad Husain Haekal dalam bukunya yang diterjemahkan Ali Audah berjudul "Abu Bakr As-Siddiq - Yang Lembut Hati" (Pustaka Litera AntarNusa, 1987) menceritakan kala itu, Abu Bakar sudah pulang ke rumahnya di Sunh di pinggiran kota Madinah setelah Nabi kembali dari masjid ke rumah Aisyah .
Sesudah tersiar berita wafatnya Nabi orang menyusul Abu Bakar menyampaikan berita sedih itu. Abu Bakar segera kembali. Ia melihat Umar yang sedang berpidato di hadapan kaum muslimin. Abu Bakar tidak berhenti melainkan terus menuju ke rumah Aisyah.
Dilihatnya Nabi SAW di salah satu bagian dalam rumah itu, sudah diselubungi kain. Ia maju menyingkap kain itu dari wajah Nabi lalu menciumnya dan katanya: "Alangkah sedapnya sewaktu engkau hidup, dan alangkah sedapnya sewaktu engkau wafat."
Ia keluar lagi menemui orang banyak lalu berkata kepada mereka: "Saudara-saudara! Barangsiapa mau menyembah Muhammad, Muhammad sudah meninggal. Tetapi barang siapa menyembah Allah, Allah hidup selalu, tak pernah mati." Selanjutnya ia membacakan firman Allah:
"Muhammad hanyalah seorang Rasul; sebelumnya pun telah berlalu rasul-rasul. Apabila dia mati atau terbunuh kamu akan berbalik belakang? Barang siapa berbalik belakang samasekali tak akan merugikan Allah tetapi Allah akan memberi pahala kepada orang-orang yang bersyukur." ( QS Ali Imran : 144).
Setelah didengarnya Abu Bakar membacakan ayat itu, Umar jatuh tersungkur ke tanah. Kedua kakinya sudah tak dapat menahan lagi, setelah dia yakin bahwa Rasulullah SAW memang sudah wafat. Orang semua terdiam setelah mendengar dan melihat kenyataan itu. Setelah sadar dari rasa kebingungan demikian, mereka tidak tahu apa yang hendak mereka perbuat.
Haekal melukiskan sikap Abu Bakar dari segi psikologi. Kalaupun ada di kalangan Muslimin yang akan merasa tercekam perasaannya karena meninggalnya Rasulullah seperti yang dialami Umar itu, maka Abu Bakar-lah orangnya. Dia teman dekat dan pilihan Nabi, dia yang diminta oleh Nabi berada di dekatnya dalam setiap kesempatan.
Dia yang menangis ketika Nabi mengatakan: "Seorang hamba oleh Allah disuruh memilih tinggal di dunia ini atau di sisi-Nya, maka ia akan memilih di sisi Allah," dan dia pula yang mengatakan ketika mendengar kata-kata itu dengan air mata yang sudah tak tertahankan: "Kami akan menebus Tuan dengan jiwa kami dan anak-anak kami."
"Tetapi keterharuannya dengan berpulangnya Rasulullah itu tidak sampai membuatnya kebingungan seperti yang terjadi pada Umar. Begitu ia yakin bahwa Rasulullah sudah berpulang, ia keluar dan berpidato di depan orang banyak," tutur Haekal.
Kata-kata yang diucapkannya serta ayat Qur'an yang dibacakannya untuk meyakinkan orang, menunjukkan adanya suatu kekuatan dalam dirinya dalam menghadapi kenyataan. Ini yang menyebabkannya tidak sampai jatuh kebingungan dalam menerima berita yang menyedihkan seperti berpulangnya Rasulullah itu.
Kekuatan jiwa Abu Bakar itu ditambah lagi oleh suatu sifat lain yang lebih lagi memperlihatkan keagungan dan kehebatannya, yaitu pandangannya yang jauh ke hari depan.
Kedua sifat ini sungguh mengagumkan, sebab adanya justru pada orang yang begitu lemah lembut, begitu menjunjung tinggi dan begitu besar kecintaannya kepada Muhammad, melebihi cintanya pada kehidupan dunia ini dengan segala isinya.
Menurut Haekal, kekuatan jiwa yang besar inilah yang menjadi pegangan Abu Bakar pada detik-detik yang sangat menentukan dan pelik. Saat kesedihan dan duka yang sedang menimpa kaum Muslimin karena kematian Rasulullah, itu jugalah sandarannya pada saat-saat genting berikutnya yang harus dialaminya dan dialami kaum Muslimin.
"Pada saat itulah Islam dan umat Islam terhindar dari bencana besar, yang kalau tidak karenanya mereka akan terjerumus ke dalam bahaya. Sebagai akibatnya, hanya Allah yang tahu, apa yang akan menimpa mereka dan menimpa generasi berikutnya," demikian Haekal.
Umar bin Khattab yang berada di tengah-tengah mereka berdiri dan berpidato, membantah berita itu. Ia mengatakan bahwa Rasulullah tidak meninggal, melainkan sedang pergi menghadap Tuhan seperti halnya dengan Musa, yang menghilang dari masyarakatnya selama empat puluh malam, kemudian kembali lagi setelah tadinya dikatakan meninggal.
Umar terus mengancam orang-orang yang mengatakan bahwa Rasulullah telah wafat. Dikatakannya bahwa Rasulullah SAW akan kembali kepada mereka dan akan memotong tangan dan kaki mereka.
Muhammad Husain Haekal dalam bukunya yang diterjemahkan Ali Audah berjudul "Abu Bakr As-Siddiq - Yang Lembut Hati" (Pustaka Litera AntarNusa, 1987) menceritakan kala itu, Abu Bakar sudah pulang ke rumahnya di Sunh di pinggiran kota Madinah setelah Nabi kembali dari masjid ke rumah Aisyah .
Sesudah tersiar berita wafatnya Nabi orang menyusul Abu Bakar menyampaikan berita sedih itu. Abu Bakar segera kembali. Ia melihat Umar yang sedang berpidato di hadapan kaum muslimin. Abu Bakar tidak berhenti melainkan terus menuju ke rumah Aisyah.
Dilihatnya Nabi SAW di salah satu bagian dalam rumah itu, sudah diselubungi kain. Ia maju menyingkap kain itu dari wajah Nabi lalu menciumnya dan katanya: "Alangkah sedapnya sewaktu engkau hidup, dan alangkah sedapnya sewaktu engkau wafat."
Ia keluar lagi menemui orang banyak lalu berkata kepada mereka: "Saudara-saudara! Barangsiapa mau menyembah Muhammad, Muhammad sudah meninggal. Tetapi barang siapa menyembah Allah, Allah hidup selalu, tak pernah mati." Selanjutnya ia membacakan firman Allah:
وَمَا مُحَمَّدٌ اِلَّا رَسُوۡلٌ ۚ قَدۡ خَلَتۡ مِنۡ قَبۡلِهِ الرُّسُلُؕ اَفَا۟ٮِٕنْ مَّاتَ اَوۡ قُتِلَ انْقَلَبۡتُمۡ عَلٰٓى اَعۡقَابِكُمۡؕ وَمَنۡ يَّنۡقَلِبۡ عَلٰى عَقِبَيۡهِ فَلَنۡ يَّضُرَّ اللّٰهَ شَيۡـــًٔا ؕ وَسَيَجۡزِى اللّٰهُ الشّٰكِرِيۡنَ
"Muhammad hanyalah seorang Rasul; sebelumnya pun telah berlalu rasul-rasul. Apabila dia mati atau terbunuh kamu akan berbalik belakang? Barang siapa berbalik belakang samasekali tak akan merugikan Allah tetapi Allah akan memberi pahala kepada orang-orang yang bersyukur." ( QS Ali Imran : 144).
Setelah didengarnya Abu Bakar membacakan ayat itu, Umar jatuh tersungkur ke tanah. Kedua kakinya sudah tak dapat menahan lagi, setelah dia yakin bahwa Rasulullah SAW memang sudah wafat. Orang semua terdiam setelah mendengar dan melihat kenyataan itu. Setelah sadar dari rasa kebingungan demikian, mereka tidak tahu apa yang hendak mereka perbuat.
Haekal melukiskan sikap Abu Bakar dari segi psikologi. Kalaupun ada di kalangan Muslimin yang akan merasa tercekam perasaannya karena meninggalnya Rasulullah seperti yang dialami Umar itu, maka Abu Bakar-lah orangnya. Dia teman dekat dan pilihan Nabi, dia yang diminta oleh Nabi berada di dekatnya dalam setiap kesempatan.
Dia yang menangis ketika Nabi mengatakan: "Seorang hamba oleh Allah disuruh memilih tinggal di dunia ini atau di sisi-Nya, maka ia akan memilih di sisi Allah," dan dia pula yang mengatakan ketika mendengar kata-kata itu dengan air mata yang sudah tak tertahankan: "Kami akan menebus Tuan dengan jiwa kami dan anak-anak kami."
"Tetapi keterharuannya dengan berpulangnya Rasulullah itu tidak sampai membuatnya kebingungan seperti yang terjadi pada Umar. Begitu ia yakin bahwa Rasulullah sudah berpulang, ia keluar dan berpidato di depan orang banyak," tutur Haekal.
Kata-kata yang diucapkannya serta ayat Qur'an yang dibacakannya untuk meyakinkan orang, menunjukkan adanya suatu kekuatan dalam dirinya dalam menghadapi kenyataan. Ini yang menyebabkannya tidak sampai jatuh kebingungan dalam menerima berita yang menyedihkan seperti berpulangnya Rasulullah itu.
Kekuatan jiwa Abu Bakar itu ditambah lagi oleh suatu sifat lain yang lebih lagi memperlihatkan keagungan dan kehebatannya, yaitu pandangannya yang jauh ke hari depan.
Kedua sifat ini sungguh mengagumkan, sebab adanya justru pada orang yang begitu lemah lembut, begitu menjunjung tinggi dan begitu besar kecintaannya kepada Muhammad, melebihi cintanya pada kehidupan dunia ini dengan segala isinya.
Menurut Haekal, kekuatan jiwa yang besar inilah yang menjadi pegangan Abu Bakar pada detik-detik yang sangat menentukan dan pelik. Saat kesedihan dan duka yang sedang menimpa kaum Muslimin karena kematian Rasulullah, itu jugalah sandarannya pada saat-saat genting berikutnya yang harus dialaminya dan dialami kaum Muslimin.
"Pada saat itulah Islam dan umat Islam terhindar dari bencana besar, yang kalau tidak karenanya mereka akan terjerumus ke dalam bahaya. Sebagai akibatnya, hanya Allah yang tahu, apa yang akan menimpa mereka dan menimpa generasi berikutnya," demikian Haekal.
(mhy)