Sejarah Sekaten, Peninggalan Hindu yang Diislamisasi
loading...
A
A
A
Sejarah sekaten dimulai pada era Majapahit. Ini merupakan kelanjutan upacara tradisional yang dilaksanakan oleh raja-raja Jawa semenjak zaman Majapahit pada akhir abad 14 atau awal abad 15 yang dilaksanakan setiap tahun sekali. Tujuan upacara tersebut adalah untuk keselamatan kerajaan agar Tuhan selalu memberikan perlindungan dan keselamatan kepada Raja dan seluruh rakyatnya.
"Upacara selamatan tersebut dahulu disebut Rojowedo yang artinya kitab suci raja atau kebijaksanaan raja. Rojowedo disebut juga dengan rojomedo yang artinya hewan kurban raja yang diambilkan dan kerbau liar atau mahesolawung," tutur ES Ardinarto dalam karya tulisnya berjudul "Sekaten Merupakan Upacaya Adat yang Bernuansa Religius".
Upacara kurban semacam ini sering disebut sebagai mahesolawungan, dan ternyata sampai kini keraton Surakarta masih terus melaksanakan mahesolawungan yang diselenggarakan pada hari Senin atau Kamis akhir bulan Bakda Mulud di tengah hutan Krendowahono- daerah Gondangreja-Kalioyoso.
Pada saat memotong hewan dilakukan dengan tatacara agama Hindu . Sebab kerajaan Majapahit dahulu sebagai penganut ajaran Hindu. Pada waktu mengadakan selamatan dan kurban selalu diiringi dengan bunyi-bunyian atau gamelan sebagai hiburannya.
Pengaruh Islam
Dwi Ratna Nurhajarini dalam bukunya berjudul "Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta" menyebut sekitar abad 15 pengaruh agama Islam mulai masuk ke tanah Jawa yang diikuti oleh kebudayaan Islam yang punya pengaruh besar terhadap kemunduran kebudayaan dan agama Hindu di Jawa. Apalagi sesudah berdirinya kerajaan Demak dengan Raden Patah sebagai raja Islam pertama.
Dengan masuknya pengaruh Islam ke Jawa mulailah agama dan budaya Islam berkembang yang akhirnya dapat menggantikan pengaruh Hindu bersamaan dengan runtuhnya kerajaan Majapahit.
Simuh dalam "Mistik Islam Kejawen" menyebut dalam penyebaran agama Islam di Jawa menyebabkan ada dua jenis agama Islam yang disebut dengan (1) Islam Santri dan (2) Islam Kejawen atau Islam Abangan.
Islam santri sebagai sebutan orang Islam yang benar-benar menjalankan syariat Islam (rukun Islam) dengan penuh ketaatan. Sedangkan, Islam Abangan adalah golongan orang yang mengaku beragama Islam tetapi tidak menjalankan syariat Islam dengan tekun, bahkan masih menjalankan pengaruh budaya Hindu, misalnya masih mengadakan selamatan dengan membuat sesaji.
"Sampai sekarangpun Islam Abangan atau Islam Kejawen masih banyak penganutnya," ujar Simuh.
Penyebaran agama Islam di Jawa ternyata tidak berjalan mulus, karena pengaruh Hindu masih kuat, apalagi di pedalaman. Untuk melancarkan penyebaran agama Islam peran Wali Songo sangat besar. Salah satunya adalah Sunan Kalijaga, yang sudah memahami betul budaya orang Jawa, yang suka akan gamelan dan selamatan/sesaji dengan memotong hewan.
Budaya tersebut dimanfaatkan oleh Wali Songo untuk mengadakan penyebaran agama Islam. Hanya saja pada waktu mengadakan kurban hewan yang akan dipotong terlebih dahulu didoakan secara Islam, tidak lagi secara Hindu. Ternyata saran dari Wali Songo tersebut diterima oleh masyarakat Demak.
Sularto dalam bukunya berjudul "Diorama Kraton Surakarta Hadiningrat" (Tiga Serangkai, 1993) menjelaskan untuk melanjutkan penyebaran agama Islam, maka pada tahun 1408 didirikan sebuah masjid besar di Kerajaan Demak sebagai pusat penyiaran agama Islam. Setiap tahun pada tanggal 5 sampai dengan tanggal 12 bulan Mulud atau Rabiullawal di alun-alun diadakan perayaan atau pasar malam untuk merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW . Perayaan itu akhimya disebut sekatenan.
"Agar para pengunjung mau masuk ke halaman masjid, maka mulai tanggal 5 Mulud di halaman masjid dibunyikan gamelan dengan lagu-lagu tertentu, sambil mendengarkan para Wali Songo berdakwah secara langsung," tutur Sularso.
Sebelum memasuki halaman masjid, masyarakat diwajibkan mengambil air wudhu, dan mengucapkan kalimat syahadat, Asyhadu alla ila ha illalah, waasyhadu anna Muhammadar rasulullah. Orang yang masuk ke halaman masjid sesudah wudhu serta mengucapkan kalimat syahadat, berarti orang tersebut sudah masuk Islam.
Cara seperti ini ternyata membawa hasil yang baik. Pada puncak acara sekatenan yaitu pada tanggal 12 Mulud, raja mengeluarkan sesaji yang diwujudkan dalam bentuk gunungan, yang isinya berupa hasil bumi dan jajanan pasar. Upacara sekatenan sering disebut Gerebeg Muludan.
"Upacara selamatan tersebut dahulu disebut Rojowedo yang artinya kitab suci raja atau kebijaksanaan raja. Rojowedo disebut juga dengan rojomedo yang artinya hewan kurban raja yang diambilkan dan kerbau liar atau mahesolawung," tutur ES Ardinarto dalam karya tulisnya berjudul "Sekaten Merupakan Upacaya Adat yang Bernuansa Religius".
Upacara kurban semacam ini sering disebut sebagai mahesolawungan, dan ternyata sampai kini keraton Surakarta masih terus melaksanakan mahesolawungan yang diselenggarakan pada hari Senin atau Kamis akhir bulan Bakda Mulud di tengah hutan Krendowahono- daerah Gondangreja-Kalioyoso.
Pada saat memotong hewan dilakukan dengan tatacara agama Hindu . Sebab kerajaan Majapahit dahulu sebagai penganut ajaran Hindu. Pada waktu mengadakan selamatan dan kurban selalu diiringi dengan bunyi-bunyian atau gamelan sebagai hiburannya.
Pengaruh Islam
Dwi Ratna Nurhajarini dalam bukunya berjudul "Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta" menyebut sekitar abad 15 pengaruh agama Islam mulai masuk ke tanah Jawa yang diikuti oleh kebudayaan Islam yang punya pengaruh besar terhadap kemunduran kebudayaan dan agama Hindu di Jawa. Apalagi sesudah berdirinya kerajaan Demak dengan Raden Patah sebagai raja Islam pertama.
Dengan masuknya pengaruh Islam ke Jawa mulailah agama dan budaya Islam berkembang yang akhirnya dapat menggantikan pengaruh Hindu bersamaan dengan runtuhnya kerajaan Majapahit.
Simuh dalam "Mistik Islam Kejawen" menyebut dalam penyebaran agama Islam di Jawa menyebabkan ada dua jenis agama Islam yang disebut dengan (1) Islam Santri dan (2) Islam Kejawen atau Islam Abangan.
Islam santri sebagai sebutan orang Islam yang benar-benar menjalankan syariat Islam (rukun Islam) dengan penuh ketaatan. Sedangkan, Islam Abangan adalah golongan orang yang mengaku beragama Islam tetapi tidak menjalankan syariat Islam dengan tekun, bahkan masih menjalankan pengaruh budaya Hindu, misalnya masih mengadakan selamatan dengan membuat sesaji.
"Sampai sekarangpun Islam Abangan atau Islam Kejawen masih banyak penganutnya," ujar Simuh.
Penyebaran agama Islam di Jawa ternyata tidak berjalan mulus, karena pengaruh Hindu masih kuat, apalagi di pedalaman. Untuk melancarkan penyebaran agama Islam peran Wali Songo sangat besar. Salah satunya adalah Sunan Kalijaga, yang sudah memahami betul budaya orang Jawa, yang suka akan gamelan dan selamatan/sesaji dengan memotong hewan.
Budaya tersebut dimanfaatkan oleh Wali Songo untuk mengadakan penyebaran agama Islam. Hanya saja pada waktu mengadakan kurban hewan yang akan dipotong terlebih dahulu didoakan secara Islam, tidak lagi secara Hindu. Ternyata saran dari Wali Songo tersebut diterima oleh masyarakat Demak.
Sularto dalam bukunya berjudul "Diorama Kraton Surakarta Hadiningrat" (Tiga Serangkai, 1993) menjelaskan untuk melanjutkan penyebaran agama Islam, maka pada tahun 1408 didirikan sebuah masjid besar di Kerajaan Demak sebagai pusat penyiaran agama Islam. Setiap tahun pada tanggal 5 sampai dengan tanggal 12 bulan Mulud atau Rabiullawal di alun-alun diadakan perayaan atau pasar malam untuk merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW . Perayaan itu akhimya disebut sekatenan.
"Agar para pengunjung mau masuk ke halaman masjid, maka mulai tanggal 5 Mulud di halaman masjid dibunyikan gamelan dengan lagu-lagu tertentu, sambil mendengarkan para Wali Songo berdakwah secara langsung," tutur Sularso.
Sebelum memasuki halaman masjid, masyarakat diwajibkan mengambil air wudhu, dan mengucapkan kalimat syahadat, Asyhadu alla ila ha illalah, waasyhadu anna Muhammadar rasulullah. Orang yang masuk ke halaman masjid sesudah wudhu serta mengucapkan kalimat syahadat, berarti orang tersebut sudah masuk Islam.
Cara seperti ini ternyata membawa hasil yang baik. Pada puncak acara sekatenan yaitu pada tanggal 12 Mulud, raja mengeluarkan sesaji yang diwujudkan dalam bentuk gunungan, yang isinya berupa hasil bumi dan jajanan pasar. Upacara sekatenan sering disebut Gerebeg Muludan.
(mhy)