Persoalan Israiliyyat Sudah Muncul sejak Zaman Nabi Muhammad SAW
loading...
A
A
A
Muhsin dan Erha Saufan Hadana dalam bukunya berjudul "Studi Ulumul Qur'an" (Bambu Kuning Utama, 2020) menulis, persoalan israiliyyat sudah muncul sejak zaman Nabi Muhammad SAW . Hanya saja sahabat mengutipnya tidak berlebihan, yaitu pada batas wajar saja. Tetapi israiliyyat mulai menjadi persoalan serius ketika memasuki masa tabi‘in .
Di sanalah awal mula para ulama berusaha untuk mengkritisi riwayat israiliyyat yang ditemukan, seperti memberikan penilaian yang tentunya diiringi dengan disiplin ilmu tertentu. "Dan ada pula ulama yang tidak peduli terhadap keadaan israiliyyat," tulis A Umar Syam Manggabarani dalam Tesisnya berjudul "Israiliyyat dalam Kisah Nabi Yusuf as Perspektif Ibnu Katsir".
Kemungkinan dengan alasan hanya ingin menerima dari apa yang sudah ada sebelumnya. Sedikit demi sedikit, israiliyyat mulai tersebar pada zaman sahabat.
Umar Syam mengingatkan bangsa Yahudi dan Nasrani sama-sama mempunyai kitab samawi, yaitu Taurat dan Injil yang dipahami bahwa di dalamnya terdapat pembahasan yang sangat berkaitan erat dengan al-Qur‘an, yaitu soal akidah. "Itu juga menceritakan para nabi Al-Qur'an ," jelasnya.
Al-Qur'an dan dua kitab menjelaskan secara berbeda. Taurat dan Alkitab lebih spesifik daripada Al-Quran. Wajar, karena al-Qur‘an diturunkan jauh dari sejarah kehidupan para Nabi. "Maka sebenarnya tidak ada pertentangan antara kedua kitab tersebut dengan al-Qur‘an, bahkan saling melengkapi," tambahnya.
Tetapi sebaliknya, kata Umar Syam lagi, jika ada pertentangan, maka itu merupakan penjelasan yang dibuat-buat bersumber dari orang yang tidak suka dengan Islam. Demikian sikap benci itulah faktor lain dari adanya israiliyyat.
Jadi setiap bertemu, para sahabat bertanya langsung kepada Ahl al-Kitâb. Tetapi Mereka hanya sebatas menanyakan penjelasan kisah-kisah yang belum dipahami saja, itu pun mereka tidak membenarkan dan juga tidak menyalahkan.
Sikap sahabat itu tidak lain hanyakah untuk berpegang teguh dengan pesan Nabi Muhammad SAW untuk toleran kepada pendapat dari Ahl al-Kitâb. "Maka dari itu sahabat menyikapinya dengan teliti dan berhati-hati sekali terhadap riwayat yang berasal dari mereka," jelas Umar Syam.
Mohd Nazri Ahmad dan Muhd Najib Abdul Kadir dalam "Israiliyyat: Pengaruh dalam Kitab Tafsir" (Sanon Printing Corporation, 2004) bahkan menyebut para sahabat pun tak segan untuk berdebat dengan Ahl al-Kitab jika memang penjelasannya tidak sesuai dengan al-Qur‘an dan hadis.
Sebagian besar informasi yang berasal dari kelompok Yahudi berasal dari kisah empat orang: Abdullah bin Salam, Ka'ab bin Al-Akhbar, Wahab bin Munabbih, dan Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij.
Para ahli memiliki gagasan berbeda tentang hukum dan bagaimana mereka seharusnya diberitahu. Perbedaan yang paling utama adalah pada masa lalu Ka'ab bin Al-Akhbar, sedangkan Abdullah bin Salam berada di puncak bidang ilmu.
Imam Bukhari dan ahli lainnya menerima cerita yang diceritakan Abdullah bin Salam. Namun, kisah-kisah yang diceritakan Ka'ab bin Al-Akhbar dan Wahab bin Munabbih tidak diterima dan dikritik.
Rasulullah SAW telah mengatakan kepada umat Islam untuk tidak membiarkan sumber-sumber ini mengubah mereka. Abu Hanifah menulis bahwa orang Yahudi dari Ahl al-Kitab biasa membaca Taurat dalam bahasa Ibrani dan kemudian menjelaskannya kepada umat Islam dalam bahasa Arab.
Thameem Ushama dalam "Metodologi Tafsir Al-Qur'an" menyebut seorang sahabat terkenal bernama Ibnu Mas'ud pernah berkata: “Janganlah meminta penjelasan tafsir kepada Ahl al-Kitâb, karena mereka tidak mampu memberikan petunjuk yang benar, mereka sendiri berada dalam kesalahan.”
"Al-Qur'an bercerita agar manusia dapat belajar dari apa yang dilalui tokoh atau orang yang bercerita dan bagaimana akhir kisahnya," tambah M. Quraish Shihab dalam "Kaidah Tafsir" (Lentara Hati, 2013)
Selanjutnya, Philip K. Hitti dalam "History Of The Arabs" Palgrave Macmillan, 2002) mengatakan Al-Qur'an tidak hanya bercerita; itu juga mengajarkan pelajaran moral dan mengatakan bahwa sepanjang sejarah, Tuhan selalu memberi penghargaan kepada orang baik dan menghukum orang jahat.
Di sanalah awal mula para ulama berusaha untuk mengkritisi riwayat israiliyyat yang ditemukan, seperti memberikan penilaian yang tentunya diiringi dengan disiplin ilmu tertentu. "Dan ada pula ulama yang tidak peduli terhadap keadaan israiliyyat," tulis A Umar Syam Manggabarani dalam Tesisnya berjudul "Israiliyyat dalam Kisah Nabi Yusuf as Perspektif Ibnu Katsir".
Kemungkinan dengan alasan hanya ingin menerima dari apa yang sudah ada sebelumnya. Sedikit demi sedikit, israiliyyat mulai tersebar pada zaman sahabat.
Umar Syam mengingatkan bangsa Yahudi dan Nasrani sama-sama mempunyai kitab samawi, yaitu Taurat dan Injil yang dipahami bahwa di dalamnya terdapat pembahasan yang sangat berkaitan erat dengan al-Qur‘an, yaitu soal akidah. "Itu juga menceritakan para nabi Al-Qur'an ," jelasnya.
Al-Qur'an dan dua kitab menjelaskan secara berbeda. Taurat dan Alkitab lebih spesifik daripada Al-Quran. Wajar, karena al-Qur‘an diturunkan jauh dari sejarah kehidupan para Nabi. "Maka sebenarnya tidak ada pertentangan antara kedua kitab tersebut dengan al-Qur‘an, bahkan saling melengkapi," tambahnya.
Tetapi sebaliknya, kata Umar Syam lagi, jika ada pertentangan, maka itu merupakan penjelasan yang dibuat-buat bersumber dari orang yang tidak suka dengan Islam. Demikian sikap benci itulah faktor lain dari adanya israiliyyat.
Jadi setiap bertemu, para sahabat bertanya langsung kepada Ahl al-Kitâb. Tetapi Mereka hanya sebatas menanyakan penjelasan kisah-kisah yang belum dipahami saja, itu pun mereka tidak membenarkan dan juga tidak menyalahkan.
Sikap sahabat itu tidak lain hanyakah untuk berpegang teguh dengan pesan Nabi Muhammad SAW untuk toleran kepada pendapat dari Ahl al-Kitâb. "Maka dari itu sahabat menyikapinya dengan teliti dan berhati-hati sekali terhadap riwayat yang berasal dari mereka," jelas Umar Syam.
Mohd Nazri Ahmad dan Muhd Najib Abdul Kadir dalam "Israiliyyat: Pengaruh dalam Kitab Tafsir" (Sanon Printing Corporation, 2004) bahkan menyebut para sahabat pun tak segan untuk berdebat dengan Ahl al-Kitab jika memang penjelasannya tidak sesuai dengan al-Qur‘an dan hadis.
Sebagian besar informasi yang berasal dari kelompok Yahudi berasal dari kisah empat orang: Abdullah bin Salam, Ka'ab bin Al-Akhbar, Wahab bin Munabbih, dan Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij.
Para ahli memiliki gagasan berbeda tentang hukum dan bagaimana mereka seharusnya diberitahu. Perbedaan yang paling utama adalah pada masa lalu Ka'ab bin Al-Akhbar, sedangkan Abdullah bin Salam berada di puncak bidang ilmu.
Imam Bukhari dan ahli lainnya menerima cerita yang diceritakan Abdullah bin Salam. Namun, kisah-kisah yang diceritakan Ka'ab bin Al-Akhbar dan Wahab bin Munabbih tidak diterima dan dikritik.
Rasulullah SAW telah mengatakan kepada umat Islam untuk tidak membiarkan sumber-sumber ini mengubah mereka. Abu Hanifah menulis bahwa orang Yahudi dari Ahl al-Kitab biasa membaca Taurat dalam bahasa Ibrani dan kemudian menjelaskannya kepada umat Islam dalam bahasa Arab.
Thameem Ushama dalam "Metodologi Tafsir Al-Qur'an" menyebut seorang sahabat terkenal bernama Ibnu Mas'ud pernah berkata: “Janganlah meminta penjelasan tafsir kepada Ahl al-Kitâb, karena mereka tidak mampu memberikan petunjuk yang benar, mereka sendiri berada dalam kesalahan.”
"Al-Qur'an bercerita agar manusia dapat belajar dari apa yang dilalui tokoh atau orang yang bercerita dan bagaimana akhir kisahnya," tambah M. Quraish Shihab dalam "Kaidah Tafsir" (Lentara Hati, 2013)
Selanjutnya, Philip K. Hitti dalam "History Of The Arabs" Palgrave Macmillan, 2002) mengatakan Al-Qur'an tidak hanya bercerita; itu juga mengajarkan pelajaran moral dan mengatakan bahwa sepanjang sejarah, Tuhan selalu memberi penghargaan kepada orang baik dan menghukum orang jahat.