Hati-hati, Menempelnya 3 Macam Riya dalam Ibadah yang Menjerumuskan
loading...
A
A
A
Hati-hati, ternyata ada jenis riya yang bisa menempel dalam ibadah yang kita lakukan. Riya tanpa sadar ini, justeru akan menjerumuskan ke dalam dosa.
Riya ’ sendiri adalah menampakkan ibadah dengan maksud agar dilihat orang lain. Jadi riya’ berarti melakukan amalan tidak ikhlas karena Allah karena yang dicari adalah pandangan, sanjungan dan pujian manusia, bukan balasan murni di sisi Allah. Penyakit inilah yang banyak menimpa kita ketika beribadah. Padahal riya’ ini benar-benar Nabi khawatirkan.
Lantas jenis riya seperti apa yang menempel dalam ibadah kita ini? Menjawab hal itu, Syaikh Ibnu Al Utsaimin, ulama ahli fiqih terkemuka mengatakan, “Menempelnya riya’ dengan ibadah ada tiga macam, yakni:
Kondisi pertama, tidak terkait antara yang pertama dengan yang terakhir. Maka yang pertama sah dalam kondisi apa saja sementara yang terakhir batal.
Contoh hal itu adalah seseorang memiliki 100 riyal dan ingin bersedekah dengannya. Dia mensedekahkan 50 riyal ikhlas (karena Allah), kemudian datang riya’ (pamer) pada 50 riyal sisanya. Maka yang pertama sah dan diterima sementara 50 riyal sisanya batal karena bercampur antara riya dengan ikhlas.
Kondisi kedua, ada keterikatan antara awal ibadah dengan akhirnya. Maka hal itu tidak lepas dari dua hal:
Hal pertama, dia melawan riya agar tidak tetap dalam dirinya, bahkan dia berpaling dan tidak menyukainya. Maka hal itu tidak berdampak apa-apa berdasarkan sabda Nabi sallallahu alaihi wa sallam:
“Sesungguhnya Allah memaafkan umatku apa yang ada dalam dirinya selagi dia belum beramal atau berkata.
Hal kedua, tenang dengan riya ini dan tidak berusaha melawannya. Maka kondisi ini membatalkan semua ibadahnya. Karena yang pertama terkait dengan yang terakhir.
Contoh hal itu, seseorang memulai shalat ikhlas karena Allah, kemudian datang riya’ pada rakaat kedua. Maka semua shalatnya batal karena yang pertama terkait dengan yang terakhir.
Bukan termasuk riya kalau seseorang senang ketika orang mengetahui ibadahnya. Karena hal itu terjadi setelah selesai ibadah. Bukan termasuk riya seseorang senang dengan melakukan ketaatan. Karena hal itu merupakan bukti atas keimanannya. Nabi sallallahu alaihi wa sallam bersabda:
“Siapa yang senang dengan kebaikannya dan tidak suka dengan kejelekannya, maka itu adalah orang mukmin.
Nabi sallallahu alaihi wa sallam ditanya tentang hal itu, maka beliau menjawab,”Itu adalah kabar gembira yang disegerakan bagi orang mukmin. (Majmu’ Fatawa Syeikh Ibnu Utsaimin, (2/29, 30)
Wallahu A'lam
Riya ’ sendiri adalah menampakkan ibadah dengan maksud agar dilihat orang lain. Jadi riya’ berarti melakukan amalan tidak ikhlas karena Allah karena yang dicari adalah pandangan, sanjungan dan pujian manusia, bukan balasan murni di sisi Allah. Penyakit inilah yang banyak menimpa kita ketika beribadah. Padahal riya’ ini benar-benar Nabi khawatirkan.
Lantas jenis riya seperti apa yang menempel dalam ibadah kita ini? Menjawab hal itu, Syaikh Ibnu Al Utsaimin, ulama ahli fiqih terkemuka mengatakan, “Menempelnya riya’ dengan ibadah ada tiga macam, yakni:
1. Riya yang asal tujuan dalam ibadahnya agar dilihat oleh orang
Seperti orang salat agar dilihat orang sehingga orang memuji atas salatnya. Maka ini membatalkan ibadahnya.2. Riya yang bersamaan dalam ibadah di sela-selanya
Maksudnya pertama kali ketika beribadah ikhlas karena Allah, kemudian di sela-sela itu datang riya’. Ibadah ini tidak lepas dari dua kondisi, antara lain:Kondisi pertama, tidak terkait antara yang pertama dengan yang terakhir. Maka yang pertama sah dalam kondisi apa saja sementara yang terakhir batal.
Contoh hal itu adalah seseorang memiliki 100 riyal dan ingin bersedekah dengannya. Dia mensedekahkan 50 riyal ikhlas (karena Allah), kemudian datang riya’ (pamer) pada 50 riyal sisanya. Maka yang pertama sah dan diterima sementara 50 riyal sisanya batal karena bercampur antara riya dengan ikhlas.
Kondisi kedua, ada keterikatan antara awal ibadah dengan akhirnya. Maka hal itu tidak lepas dari dua hal:
Hal pertama, dia melawan riya agar tidak tetap dalam dirinya, bahkan dia berpaling dan tidak menyukainya. Maka hal itu tidak berdampak apa-apa berdasarkan sabda Nabi sallallahu alaihi wa sallam:
إن الله تجاوز عن أمتي ما حدَّثت به أنفسها ما لم تعمل أو تتكلم
“Sesungguhnya Allah memaafkan umatku apa yang ada dalam dirinya selagi dia belum beramal atau berkata.
Hal kedua, tenang dengan riya ini dan tidak berusaha melawannya. Maka kondisi ini membatalkan semua ibadahnya. Karena yang pertama terkait dengan yang terakhir.
Contoh hal itu, seseorang memulai shalat ikhlas karena Allah, kemudian datang riya’ pada rakaat kedua. Maka semua shalatnya batal karena yang pertama terkait dengan yang terakhir.
3. Datangnya riya setelah selesai beribadah
Hal itu tidak berpengaruh dan tidak membatalkan. Karena telah sah dan sempurna, maka tidak merusak dengan adanya riya setelah itu.Bukan termasuk riya kalau seseorang senang ketika orang mengetahui ibadahnya. Karena hal itu terjadi setelah selesai ibadah. Bukan termasuk riya seseorang senang dengan melakukan ketaatan. Karena hal itu merupakan bukti atas keimanannya. Nabi sallallahu alaihi wa sallam bersabda:
مَن سرَّته حسنته وساءته سيئته فذلك المؤمن
“Siapa yang senang dengan kebaikannya dan tidak suka dengan kejelekannya, maka itu adalah orang mukmin.
Nabi sallallahu alaihi wa sallam ditanya tentang hal itu, maka beliau menjawab,”Itu adalah kabar gembira yang disegerakan bagi orang mukmin. (Majmu’ Fatawa Syeikh Ibnu Utsaimin, (2/29, 30)
Wallahu A'lam
(wid)