Hati-hati, Jebakan Riya Ini Menjerat Dosa Besar

Kamis, 18 Juli 2024 - 10:06 WIB
loading...
Hati-hati, Jebakan Riya...
Secara tidak sadar, banyak sekali jebakan sifat riya (pamer) dari amal ibadah yang kita lakukan dan ngerinya riya yang tak sadar ini menyeret pelakunya pada dosa besar yang balasannya sangat mengerikan. Foto ilustrasi/ist
A A A
Secara tidak sadar, banyak sekali jebakan sifat riya (pamer) dari amal ibadah yang kita lakukan. Bahayanya dari jebakan riya ini, seorang hamba akan terseret pada dosa besar yang balasannya sangat mengerikan. Bagaimana dan seperti apa jebakan riya tersebut?

Sejatinya, seseorang yang melawan jebakan riya ’ adalah mereka yang sedang berperang melawan dorongan dari dalam diri sendiri. Satu energi besar yang bercampur baur, sukar dipisahkan antara positif dan negatifnya.

Jebakan riya’ sangat banyak, belum lagi perangkap kesombongan, gila popularitas (sum’ah), cari perhatian (tamalluq), dan semisalnya. Akan tetapi, hal itu bukan alasan untuk menghentikan atau malas beribadah. Ibadah harus tetap dijalankan perlahan seraya membenahinya secara bertahap.

Karenanya, setiap muslim perlu mengenal dari mana saja potensi riya’ dapat muncul. Seperti diungkapkan Imam al-Ghazali, beliau berkata,“Buta dari mengenal seluk-beluk benalu amal membuat kita mustahil dapat menghindarinya.” (Abu Hamid al-Ghazali, Kitab al-Arba’in fi Ushul ad-Din, halaman 102).

Dalam Kitab al-Arba’in, Imam al-Ghazali (wafat 505 H/1111 M) menjelaskan secara rinci 6 tempat yang sangat berpotensi menumbuhkan sifat riya ’. Imam al-Ghazali menjelaskannya sebagai berikut:

1. Raut muka dan bentuk badan

Seperti ‘menampakkan’ badan yang kerempeng dan lemah misalnya, agar orang-orang melihatnya tampak seperti seorang ahli ibadah, ahli riyadhah, puasa, dan semisalnya. Termasuk juga memperlihatkan raut muka sedih, supaya terlihat seperti orang yang punya pengamatan mendalam ihwal kehidupan dan kehinaan dunia. Semua itu bagian dari riya’ yang diwanti-wanti al-Ghazali.

2. Penampilan

Contoh kecil, seperti mencukur kumis agar terlihat lebih menawan dan mempesona sehingga banyak orang terpukau, menundukkan kepala saat berjalan, bergerak dan melangkah secar elegan supaya tampak lebih berwibawa, menampakkan bekas sujud di dahi agar tidak diragukan kualitas sujudnya, dan hal-hal serupa.

3. Gaya pakaian

Seperti mengenakan pakaian lengan panjang dengan lengan baju yang terlipat, tiada tujuan lain kecuali agar terlihat lebih keren, misalnya. Berbaju lusuh dengan beberapa tambalan juga termasuk salah satunya, bila tujuannya agar terlihat sebagai seorang sufi besar lagi bersahaja.

4. Ucapan

Hal ini termasuk yang kerapkali menjebak para dai. Jadi, sebaiknya berhati-hati. Karena, orang alim pun tidak terlepas dari penyakit riya’. Wajar saja bila baginda Nabi Muhammad saw bersabda dalam hadist riwayat Mu’âdz bin Jabal, Min fitnatil âlim, an yakunal kalam ahabba ilaihi min al-istima’, “Termasuk ujian besar seorang alim, yaitu ketika ia lebih suka berbicara daripada mendengar”. (Abu Hamid al-Ghazali, Ihyâ’ Ulumuddin, juz I, halaman 62).

5. Perbuatan

Seperti memperlama rukuk dan sujud, misalnya, sedekah, puasa, haji, dan lain sebagainya. Semua itu sangat potensial untuk memunculkan riya’. Bahkan, gerak-gerik tubuh kita pun ketika melenceng dari niat luhur kerapkali terjerumus dalam penyakit hati ini.

6. Lingkungan sekitar

Riya’ juga bisa tumbuh karena banyaknya murid, teman, dan guru yang bisa dipamerkan. Seperti orang yang sering berkunjung kepada para gurunya, sehingga ia memiliki branding diri yang baik di mata umat: misalnya dekat dengan orang alim, sering bertabaruk, dan seterusnya.

Mengutip tulisan Ustad Ahmad Dirgahayu Hidayat, alumnus Ma’had Aly Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur, dijelaskan membaca sekilas penjelasan al-Ghazali tentang 6 tempat riya’, seolah untuk beramal shaleh orang menjadi sangat ribet.

"Beramal itu lillahi ta’ala, murni karena Allah semata memang tidak mudah. Bukan karena Allah mempersulit akses menuju ke sana, tetapi karena hati mnusia penuh oleh nuansa syaithani, egoisme, dan mabuk dunia, sehingga ia sulit menemukan kemurnian ibadah yang sebenarnya,"ungkapnya seperti dilansir NU Online.

Namun menurut Ustadz Ahmad Dirgahayu, sebagai hamba Allah, tentu orang tak boleh berkecil hati. Orang harus terus berupaya sedikit demi sedikit membenahi hati dengan cara apa pun. Seperti banyak membaca, mengaji kepada para ustadz, kiai, atau tuan guru yang dapat meningkatkan kualitas spiritualnya. Kuncinya, adalah tidak sampai berhenti karena terjangkit riya’ saat beramal pertama, kedua, atau bahkan ketiga kalinya. Namun amal ibadah tetap harus terus dilanjutkan sampai hati menjadi stabil dan tidak butuh dilihat lagi oleh manusia lainnya.


Wallahu A'lam
(wid)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2143 seconds (0.1#10.140)