Kisah Amerika Memindahkan Kedutaan dari Tel Aviv ke Yerusalem

Kamis, 02 November 2023 - 14:35 WIB
loading...
Kisah Amerika Memindahkan Kedutaan dari Tel Aviv ke Yerusalem
Pada 14 Mei 2018, bertepatan dengan hari ulang tahun kemerdekaan Israel ke-70, Amerika Serika membuka kedutaan di Yerusalem. Foto: Ist
A A A
Pada 14 Mei 2018, bertepatan dengan hari ulang tahun kemerdekaan Israel ke-70, Amerika Serikat membuka kedutaan di Yerusalem . Kedutaan tersebut dipindahkan dari Tel Aviv oleh pemerintahan Donald Trump dan berada di lokasi yang sebelumnya sebagai Konsulat Amerika Serikat.

Mantan anggota Kongres AS , Paul Findley (1921 – 2019) menyebut pada mulanya Amerika Serikat telah secara konsisten menentang klaim Israel atas seluruh kota Yerusalem.

"AS telah, bersama dengan hampir semua negara lain, mempertahankan kedutaan besarnya di Tel Aviv dan bukan di Yerusalem sebagai lambang penentangannya terhadap pemaksaan kekuasaan Israel atas seluruh kota Yerusalem," tulis Paul Findley, dalam bukunya berjudul "Deliberate Deceptions: Facing the Facts about the U.S. - Israeli Relationship" yang diterjemahkan Rahmani Astuti menjadi "Diplomasi Munafik ala Yahudi - Mengungkap Fakta Hubungan AS-Israel" (Mizan, 1995).



Pada awal 1950-an, pemerintahan Eisenhower melangkah sangat jauh dengan melarang para diplomat Amerika agar tidak berurusan dengan para pejabat Israel di Yerusalem.

Tindakan drastis itu muncul sebagai reaksi atas dipindahkannya Kementerian Luar Negeri Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem pada 13 Juli 1953.

Menanggapi tindakan Amerika Serikat itu, Inggris, dan negara-negara lain memboikot semua fungsi di Yerusalem dan menolak untuk mengunjungi kementerian luar negeri, yang perpindahannya ke Yerusalem dipandang sebagai upaya untuk mendukung klaim Israel atas Yerusalem sebagai ibukotanya.

Menteri Luar Negeri AS, John Foster Dulles, mempertahankan boikot itu selama satu setengah tahun sebelum menyerah pada kekerasan sikap Israel dan ketidaknyamanan-ketidaknyamanan praktis dari situasi itu.

Pada 12 November 1954, dia membolehkan Duta Besar Amerika yang baru untuk Israel, Edward Lawson, untuk menyerahkan surat-surat kepercayaannya di Yerusalem, dan secara efektif mengakhiri boikot itu.

Namun Kementerian Luar Negeri tetap berpegang teguh pada kata-kata dari suatu memo abadi, "membiarkan masalah Yerusalem sebagai masalah yang masih terbuka dan mencegahnya terselesaikan semata-mata melalui proses keausan dan fait acompli."



Ketika Israel membuka gedung Knessetnya yang baru di Yerusalem pada 30 Agustus 1966, tidak ada diplomat AS yang hadir, meskipun sekelompok wakil Kongres menghadirinya.

Sekalipun demikian, kebijaksanaan Washington mengenai Yerusalem melemah dari tahun ke tahun.

Sejak 1949 pemerintah mengabaikan penetapan Yerusalem sebagai sebuah kota internasional yang telah disetujuinya dalam Rencana Pembagian tahun 1947. Sebagai gantinya, AS menyetujui usulan bahwa akan ditetapkan zona-zona pemerintahan lokal Arab dan Israel dengan seorang komisaris PBB yang bertanggung jawab atas tempat-tempat suci dan permasalahan internasional sementara Yerusalem tetap tidak boleh dijadikan ibukota negara mana pun.

Kemunduran kebijaksanaan AS lainnya muncul 1969 di bawah pemerintahan Nixon ketika Amerika Serikat melepaskan diri dari ucapan seorang komisaris PBB, mengabaikan ketetapannya bahwa Yerusalem merupakan sebuah kota internasional, dan menurunkan posisinya menjadi sekadar rumusan bahwa Yerusalem tetap merupakan kota yang terbagi yang masa depannya ditentukan oleh pihak-pihak yang terkait.

Akan tetapi pemerintah juga menyatakan pada 1969 bahwa Yerusalem Timur Arab, yang telah direbut Israel pada 1967, merupakan "wilayah pendudukan [yang serupa] dengan daerah-daerah lain yang diduduki oleh Israel."



Presiden George Bush secara terbuka menegaskan kembali kebijaksanaan ini pada 3 Maret 1990, serta penetapan Yerusalem Timur Arab sebagai wilayah pendudukan.

Resolusi Kongres

Paul Findley mengatakan, sementara kebijaksanaan AS telah secara konsisten menentang klaim Israel atas Yerusalem sebagai ibukotanya, Kongres secara rutin mengeluarkan resolusi-resolusi tidak mengikat yang memintakan pengakuan atas Jerusalem sebagai ibukota Israel.

Pada 1988 Senator Republik Jesse Helms dari North Carolina melangkah demikian jauh dengan menambahkan suatu amandemen bagi Akta Apropriasi Kementerian Luar Negeri yang meminta dibangunnya dua fasilitas diplomatik yang terpisah di Israel, satu di Tel Aviv dan satu lagi di Jerusalem "atau Tepi Barat."

Para pengecam menyatakan amandemen itu merupakan upaya lain dari para pendukung Israel agar Kedutaan Besar AS dipindahkan ke Yerusalem.

Pemimpin minoritas republik Robert Dole dari Kansas mengeluh pada 1990 bahwa Kongres bertindak tidak bertanggung jawab dengan mengeluarkan resolusi-resolusi yang "mengalir lancar dalam waktu sekitar 15 detik [tanpa] perdebatan."



Dole mengemukakan bahwa resolusi 1990 "menyatakan Yerusalem sebagai ibukota Israel --tempat kedudukan pemerintahan Israel; suatu posisi yang bertentangan 180 derajat dengan pandangan negara-negara Arab dan bangsa Palestina. Yang paling penting, resolusi itu menyatakan bahwa pemerintah --AS dan banyak pengamat luar-- menganggap lebih baik masalah itu diserahkan kepada pihak-pihak yang terkait agar dirundingkan, dan bukannya diputuskan melalui aksi unilateral."

Pada saat yang sama, Partai Demokrat telah secara resmi mendukung posisi Israel dalam program politik partainya, dengan meminta dipindahkannya Kedutaan Besar AS ke Yerusalem.

Prinsip dasar politik Demokrat pada 1984 berbunyi: "Partai Demokrat mengakui dan mendukung status pasti Yerusalem sebagai ibukota Israel. Sebagai lambang dari pendirian ini, Kedutaan Besar AS harus dipindahkan dari Tel Aviv ke Yerusalem."

Pada tahun yang sama, subkomite Permasalahan Luar Negeri DPR mengenai operasi-operasi internasional dan mengenai Eropa serta Timur Tengah mengeluarkan sebuah resolusi tidak mengikat yang menyatakan bahwa Kongres menetapkan Kedutaan Besar dipindahkan ke Yerusalem "secepat mungkin."

Ini merupakan salah satu tujuan utama Komite Urusan Publik Israel Amerika (AIPAC), sarana lobi resmi Israel. Bahkan Menteri Luar Negeri George Shultz, salah seorang pendukung paling hangat Israel, memperingatkan Kongres bahwa gerakan semacam itu tidak akan bijaksana.



Sekalipun demikian, Partai Demokrat terus mendukung kebijaksanaan Israel dalam masalah Yerusalem. Pada 1988 kandidat presiden Demokrat Michael Dukakis menunjukkan kesediaannya untuk memindahkan Kedutaan Besar ke Yerusalem, begitu pula Bill Clinton pada 1992.

Program Partai Demokrat pada 1992 menyebut Yerusalem sebagai ibukota Israel, namun tidak melangkah terlalu jauh dengan mendesak agar Kedutaan Besar AS dipindahkan ke sana.

Pada akhirnya, kedutaan ini dibuka di Yerusalem pada 14 Mei 2018.Kedutaan tersebut dipindahkan dari Tel Aviv oleh pemerintahan Donald Trump.

Langkah itu diambil setelah 23 tahun berlakunya Undang-Undang Kedutaan Besar Yerusalem 23 Oktober 1995 yang menetapkan batas waktu 31 Mei 1999 untuk memindahkan kedutaan.

Clinton, Bush, dan Obama menangguhkan pemindahan kedutaan. Eugene Kontorovich mengaku bahwa keputusan untuk menggeser kedutaan besar Amerika Serikat ke Yerusalem sama saja dengan Amerika Serikat mengakui kedaulatan Israel atas tanah itu setelah Perang Enam Hari pada tahun 1967.

(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3098 seconds (0.1#10.140)