Kisah Israel Memasok Senjata ke Rezim Rasis Afrika Selatan

Minggu, 05 November 2023 - 06:45 WIB
loading...
Kisah Israel Memasok Senjata ke Rezim Rasis Afrika Selatan
ilmuwan Israel Benjamin Beit-Hallahmi telah melaporkan bahwa Israel menjual persenjataan kecil sejak 1955 kepada Afrika Selatan. Foto: wikidata
A A A
Mantan anggota Kongres AS , Paul Findley (1921 – 2019) mengungkap hubungan antara Israel dan Afrika Selatan mendalam dan kuat, dan telah berlangsung selama bertahun-tahun.

Pengucilan kedua negara itu di kalangan masyarakat internasional dikarenakan kebijaksanaan-kebijaksanaan represif mereka terhadap penduduk asli yang mendorong timbulnya keprihatinan bersama menyangkut keamanan, yang pada gilirannya berkembang menjadi hubungan militer aktif.

Israel memasok Afrika Selatan dengan sejumlah besar teknologi militer sebagai pertukaran dengan bahan-bahan mentah dari Afrika Selatan, terutama berlian yang belum dipotong.

"Kerjasama itu secara luas dilaporkan mencakup usaha-usaha bersama dalam pengembangan senjata-senjata nuklir," tulis Paul Findley, dalam bukunya berjudul "Deliberate Deceptions: Facing the Facts about the U.S. - Israeli Relationship" yang diterjemahkan Rahmani Astuti menjadi "Diplomasi Munafik ala Yahudi - Mengungkap Fakta Hubungan AS-Israel" (Mizan, 1995).



Menurut Paul Findley, hubungan Israel dengan Afrika Selatan tetap ditutup-tutupi, sebagian karena setiap laporan di dalam negeri Israel mengenai kerja sama militer antara kedua negara itu "sama sekali dilarang oleh sensor militer".

Namun wartawan Seymour Hersh telah mengungkapkan bahwa kerja sama antara kedua negara mengenai masalah-masalah nuklir "dimulai dengan sungguh-sungguh" pada 1967, dan ilmuwan Israel Benjamin Beit-Hallahmi telah melaporkan bahwa Israel menjual persenjataan kecil sejak 1955 kepada Afrika Selatan.

Meskipun terjadi kerjasama semacam itu, peliputan media atas hubungan tersebut begitu sedikit sehingga baru pada 1971 kolumnis masalah luar negeri New York Times C.L. Sulzberger dinilai lain dari yang lain dengan melaporkan hubungan persahabatan yang terjalin antara Israel dan Afrika Selatan, termasuk kerjasama militer mereka.

Perhatian semacam itu mengakibatkan timbulnya kecaman dari Majelis Umum PBB pada 1975 terhadap "hubungan dan kerjasama Israel [dengan] rezim rasis Afrika Selatan... dalam bidang politik, militer, ekonomi, dan bidang-bidang lainnya."

Pada 1982 Yoel Marcus, komentator politik Israel terkemuka dari Ha'aretz, koran Israel paling penting, menyebut Afrika Selatan "sekutu Israel kedua terpenting, setelah AS."7 Setelah mendapat penerangan dari CIA pada 1989, Wakil Demokrat Stephen Solarz, pendukung gigih Israel, berkata: "Hubungan militer Israel dengan Afrika Selatan... jauh lebih luas dibanding yang didesasdesuskan atau diduga."8 Tidak ada sesuatu pun yang terjadi sejak itu untuk mengubah penilaian Solarz.

Tanda dramatis pertama bahwa hubungan antara kedua negara itu telah berkembang secara berarti muncul pada April 1976 ketika Perdana Menteri Afrika Selatan John Vorster secara terbuka mengunjungi Israel. Meskipun Israel menggambarkan kunjungan itu sebagai perjalanan ziarah, Vorster, seorang simpatisan Nazi pada masa Perang Dunia II, disambut meriah layaknya seorang pemimpin luar negeri.



Dalam suatu jamuan makan untuk Vorster, Perdana Menteri Yitzhak Rabin menjelaskan alasan-alasan Israel yang mendorong kedekatan antara kedua negara:

"Saya percaya kedua negara sama-sama mempunyai masalah bagaimana membangun dialog regional, hidup berdampingan, dan menjaga stabilitas dalam menghadapi ketidakstabilan dan kenekadan akibat rongrongan asing... Inilah sebabnya mengapa kini kami mengikuti dengan penuh simpati usaha-usaha historis Anda untuk mencapai detente di benua Anda, untuk membangun jembatan bagi masa depan yang aman dan lebih baik, untuk menciptakan kehidupan berdampingan yang akan menjamin atmosfir yang baik bagi kerjasama dari semua bangsa Afrika, tanpa campur tangan dan ancaman luar."

Beberapa bulan setelah kunjungan Vorster, hubungan antara Israel dan Afrika Selatan menjadi lebih erat daripada sebelumnya, terutama dikarenakan kesediaan Israel untuk menyediakan senjata-senjata bagi negeri apartheid itu.

Israel dilaporkan telah menjual kepada Afrika Selatan dua hingga enam kapal meriam jarak jauh yang dilengkapi misil-misil dan dua lusin pesawat tempur Kfir; lima puluh personil angkatan laut Afrika Selatan dilatih di Israel; dan Israel menyediakan untuk Afrika Selatan peralatan elektronik militer yang canggih sebagai pertukaran bagi batu bara, termasuk sekitar satu juta ton setahun untuk memasok industri baja Israel.

Dalam tahun 1980-an Israel mengirimkan ke Afrika teknologi dan cetak biru untuk membangun pesawat perang canggihnya sendiri. Tambahan besar bagi persediaan senjata Afrika Selatan ini diberikan karena terjadinya penundaan proyek pesawat tempur Israel, Lavi, yang gagal.



Meskipun mendapat dana US$1,5 milyar bantuan AS untuk mengembangkan pesawat perang itu, Israel tidak mampu menyelesaikan proyek itu sesuai anggaran dan, di bawah tekanan Amerika, membatalkannya pada 1987.

Israel kemudian mengadakan perjanjian untuk membantu Afrika Selatan memproduksi suatu versi yang dinamakan Simba. Para teknisi Israel yang diberhentikan dari proyek Lavi berbondong-bondong pergi ke Afrika Selatan untuk mengerjakan Simba.

Meskipun Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 1977 memberlakukan embargo senjata dari seluruh dunia ke Afrika Selatan karena kebijaksanaan rasisnya, Israel terus bekerja sama dengan Afrika Selatan.

Ini menyulut kemarahan para anggota Congressional Black Caucus. Ketika Perdana Menteri Israel Yitzhak Shamir mengunjungi Washington pada 1988, para anggota Black Caucus menyerahkan padanya sebuah surat yang berbunyi:

"Amerika Serikat menyediakan untuk Israel hampir US$1,5 miliar dalam bentuk bantuan untuk mengembangkan pesawat tempur Lavi. Sejak itu kami mengetahui bahwa... para insinyur Israel yang bekerja pada proyek Lavi mengambil manfaat dari bantuan luar negeri AS untuk Afrika Selatan. Kami anggap ini merupakan pemanfaatan yang tak bermoral atas bantuan kami." Shamir mengabaikan catatan itu, dan tidak ada tindakan lebih jauh yang diambil.

Pada November 1991 Presiden Afrika Selatan F.W. de Klerk mengadakan kunjungan resmi empat hari ke Israel untuk meyakinkan negara Yahudi itu bahwa "Afrika Selatan yang baru akan tetap menjadi sahabat yang dapat dipercaya sebagaimana sebelumnya."



Kedua negara menandatangani memorandum of understanding untuk memperluas kerja sama mereka dalam bidang-bidang ekonomi, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan dan, menurut The Jerusalem Post, "bidang-bidang lain."

Laporan-laporan pada waktu itu mengungkapkan bahwa kedua negara mengadakan perdagangan nonmiliter senilai US$317 juta pada 1990, terutama dalam bentuk bahan mentah dari Afrika Selatan sebagai pertukaran bagi barang-barang jadi dari Israel.

Perdagangan militer diperkirakan bernilai $800 juta setiap tahun pada 1987, ketika Israel secara resmi menjanjikan tidak akan membuat kontrakkontrak militer baru dengan Afrika Selatan. Namun terdapat laporan-laporan yang menyatakan bahwa perdagangan militer itu dalam kenyataannya justru meningkat.

(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3692 seconds (0.1#10.140)