Pentingya Ilmu Manajemen Konflik dalam Rumah Tangga
loading...
A
A
A
Islam sangat menganjurkan bagi mereka yang telah mampu, agar segera menikah. Hal ini karena nikah merupakan fitrah kemanusiaan serta naluri kemanusiaan. Jika naluri tersebut tidak tidak dipenuhi melalui jalan yang benar yaitu melalui pernikahan atau perkawinan, maka bisa menjerumuskan seseorang ke jalan syaitan, yaitu mereka dapat berbuat hal-hal yang diharamkan Allah seperti berzina, kumpul kebo, dan lain sebagainya. Pernikahan juga menjadi perhatian serius dalam Islam karena bisa berfungsi sebagai benteng yang kokoh bagi akhlak manusia.
Dalam sebuah hadis shahih yang telah diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, Darimi, Ibnu Jarud, dan Baihaqi, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda yang artinya: “Wahai para pemuda ! Barang siapa diantara kalian berkemampuan untuk nikah, maka nikahlah, karena nikah itu lebih menundukan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barang siapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa (shaum), karena shaum itu dapat membentengi dirinya.”
Pernikahan adalah anjuran Allah Ta'ala bagi manusia untuk mempertahankan keberadaannya. Pernikahan juga untuk mengendalikan perkembangbiakan dengan cara yang sesuai dan menurut kaidah norma agama. Laki-laki dan perempuan memiliki fitrah yang saling membutuhkan satu sama lain. Pernikahan dilangsungkan untuk mencapai tujuan hidup manusia dan mempertahankan kelangsungan jenisnya. (Baca juga : Doa dan Zikir, Cara Mengatasi Kecemasan Tanpa Cemas )
Selain itu, tujuan suci dari suatu pernikahan adalah agar syariat Islam dalam kehidupan rumah tangga selalu ditegakkan oleh pasangan suami istri. Untuk itu, sangatlah penting bagi kita untuk memilih calon yang tepat sebelum menikah, agar nantinya bisa terbina Keluarga Sakinah, Mawaddah, Warahmah. Di sisi lain, Islam juga membenarkan tentang adanya thalaq (perceraian) apabila suami dan istri tidak lagi bisa menegakkan syariat-syariat islam dalam rumah tangganya. Namun, Islam juga membenarkan adanya rujuk (kembali menikah) apabila keduanya sanggup untuk kembali melaksanakan syariat-syariat Islam dalam rumah tangganya.
Sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
ثَلاَثٌ جِدُّهُنَّ جِدٌّ وَهَزْلُهُنَّ جِدٌّ النِّكَاحُ وَالطَّلاَقُ وَالرَّجْعَةُ
“Tiga perkara yang serius dan bercandanya sama-sama dianggap serius: (1) nikah, (2) talak, dan (3) rujuk.” (HR. Abu Dawud).
Islam telah mengajarkan tuntunannya dalam memanajemen konflik dalam rumah tangga. Bagaimana hendaknya sikap seorang suami, istri, bahkan mertua dalam menyikapi perselisihan yang ada di rumah tangga. Terdapat sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Sahl bin Saad as-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu, ia berkata :
جاء رسول الله صلى الله عليه وسلم بيت فاطمة فلم يجد عليًّا في البيت، فقال: “أين ابن عمك؟” قالت: كان بيني وبينه شيء، فغاضبني، فخرج، فلم يَقِلْ عندي فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم لإنسان: “انظر أين هو؟” فجاء فقال: يا رسول الله، هو في المسجد راقد، فجاء رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو مضطجع، قد سقط رداؤه عن شقه، وأصابه تراب، فجعل رسول الله صلى الله عليه وسلم يمسحه عنه، ويقول: “قم أبا تراب، قم أبا تراب”
Artinya : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengunjungi rumah Fatimah. Namun beliau tidak menjumpai Ali di dalam rumah. Beliau bertanya, ‘Mana putra pamanmu’? Fatimah menjawab, ‘Terjadi sesuatu antara diriku dengannya. Kemudian dia marah padaku. Dan tidak tidur siang bersamaku’.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan seseorang, ‘Carilah dimana Ali’. Kemudian orang tersebut datang dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, Ali sedang di masjid. Dia tidur. Rasulullah pun berangkat menuju masjid. Beliau melihat Ali yang sedang berbaring. Rida’nya jatuh dari punggungnya sehingga ia tertidur dengan punggung berdebu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusapi punggungnya, sambil mencandainya, ‘Bangunlah hai Abu Turob. Bangunlah hai Abu Turob’.”
Dari hadis ini, kita bisa memetik banyak pelajaran. Di antaranya, seorang mertua atau orang tua boleh datang ke rumah anak-mantunya tanpa seizin keduanya. Sebagaimana Rasulullah datang ke rumah putrinya tanpa memberi kabar sebelumnya. Melihat Ali tidak ada di rumah di jam istirahat, Rasulullah mencium ada permasalah yang sedang terjadi antara putrinya dengan suaminya. Meskipun mengetahui ada masalah, beliau tidak ingin tahu masalah tersebut dengan detil. Beliau hanya bertanya kepada anaknya, ‘Mana anak pamanmu’? bukan bertanya dengan, ‘Mana suamimu’? Beliau hendak menjelaskan bahwa Ali itu bukan hanya memiliki hubungan sebagai suami denganmu, tapi dia juga seorang kerabat. Artinya beliau hendak menegaskan dan merekatkan hubungan bahwa Ali punya dua hak pada dirimu. Hak sebagai suami dan hak sebagai kerabat.
Lihatlah bagaimana langkah pertama Rasulullah dalam melihat keributan rumah tangga anaknya. Ia gunakan kata-kata yang merekatkan. Bukan yang membuat emosi sang anak tambah tinggi. Hal ini hendaknya diteladani oleh para orang tua. Betapa banyak permasalahan kalau ditanggapi tidak serius, ia akan hilang. (Baca juga : Kematian Itu Mendadak, Perbaiki Amal Mulai Sekarang )
Kemudian perhatikan juga bagaimana seorang istri ketika terjadi permasalahan rumah tangga . Fatimah radhiyallahu ‘anha berkata, ‘Terjadi sesuatu antara diriku dengannya. Kemudian dia marah padaku’. Ia tidak melaporkan detil kejadian dan konfliknya dengan suaminya kepada sang ayah. Bukan aji mumpung karena ayah datang, dijadikan kesempatan untuk laporan bahwa sang suami tidak seperti ayah yang selalu menyayangi. Tidak. Fatimah tidak melakukan itu. Ia tidak membiarkan permasalahan rumah tangganya diketahui oleh orang ketiga. Walaupun itu ayah sendiri. Dia pendam saja permasalahnya. Karena banyak hal yang kecil, kalau sudah tersebar menjadi besar. Terus membesar. Dan jadi keributan. Fungsi suami-istri adalah sebagaimana fungsi pakaian yang menutupi aurat.
Allah Ta’ala berfirman :
هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ
“Mereka para istri adalah pakaian bagi kalian para suami. Demikian juga kalian pakaian bagi mereka.” (QS. Al-Baqarah: 187).
Hendaknya para istri meneladani Fatimah. Jangan sampai permasalahan rumah tangganya keluar. Apalagi sampai diceritakan di sosial media. Menjadi perhatian banyak orang. Hendaknya para wanita bersabar. Dan berdoa kepada Allah agar memberinya jalan keluar. Inilah sifat wanita yang bertakwa. Dan menjaga kehormatan suaminya. Kemudian lihatlah sikap Ali bin Abu Thalib radhiallahu ‘anhu. Ali tidak memaksakan diri berdebat. Menunjukkan bahwa dia yang benar dan istri yang salah. Tidak. Dia lebih baik mengalah. Dan keluar dari rumah.
Dari sini kita bisa mengetahui bahwa permasalahan rumah tangga juga menimpa orang-orang saleh. Ali adalah seorang ahli surga. Demikian juga dengan Fatimah, wanita ahli surga. Artinya, kalau suami kita marah. Atau istri kita marah. Bukan berarti mereka bukan orang yang saleh atau salehah. Hal itu wajar dan biasa. Yang dituntut adalah bagaimana cara kita menyikapi konflik tersebut.
Dari kisah tersebut, kita menjadi lebih jelas bahwa Islam adalah agama kita adalah agama yang istimewa. Setiap permasalahan yang kita hadapi, kemudian kita lihat pada agama kita, kita akan jumpai solusi. Misalnya, ketika marah dengan pasangan, yakinlah dan hadirkan perasaan bahwa pasangan kita juga punya jasa pada kita. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ
“Janganlah seorang mukmin benci kepada seorang wanita mukminah (istrinya), jika ia membenci sebuah sikap (akhlak) istrinya maka ia akan ridho dengan sikapnya (akhlaknya) yang lain” (HR. Muslim).
Hubungan suami istri adalah ladang pahala dan kesempatan meraih surga tertinggi. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
ﻓَﺎﻧْﻈُﺮِﻱْ ﺃﻳﻦَ ﺃَﻧْﺖِ ﻣِﻨْﻪُ، ﻓَﺈﻧَّﻤَﺎ ﻫُﻮَ ﺟَﻨَّﺘُﻚِ ﻭَﻧَﺎﺭُﻙِ
“Lihatlah di mana posisi di hati suamimu, karena suamimu adalah surga dan nerakamu.” (HR. Ahmad).
Jadi, rumah tangga merupakan salah satu wadah untuk beribadah serta beramal saleh disamping kegiatan ibadah dan amal saleh lainnya, dimana menurut konsep ajaran islam, hidup adalah untuk mengabdi dan beribadah hanya kepada Allah semata. (Baca juga : Hukum Tentang Membuka Tali Pengikat pada Jenazah )
Dalam Q.S. An-Nahl ayat 72, Allah telah berfirman yang artinya:
“Dan Allah menjadikan bagimu pasangan (suami atau isteri) dari jenis kamu sendiri dan menjadikan anak dan cucu bagimu dari pasanganmu, serta memberimu rizki dari yang baik. Mengapa mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?”
Wallahu'Alam
Dalam sebuah hadis shahih yang telah diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, Darimi, Ibnu Jarud, dan Baihaqi, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda yang artinya: “Wahai para pemuda ! Barang siapa diantara kalian berkemampuan untuk nikah, maka nikahlah, karena nikah itu lebih menundukan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barang siapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa (shaum), karena shaum itu dapat membentengi dirinya.”
Pernikahan adalah anjuran Allah Ta'ala bagi manusia untuk mempertahankan keberadaannya. Pernikahan juga untuk mengendalikan perkembangbiakan dengan cara yang sesuai dan menurut kaidah norma agama. Laki-laki dan perempuan memiliki fitrah yang saling membutuhkan satu sama lain. Pernikahan dilangsungkan untuk mencapai tujuan hidup manusia dan mempertahankan kelangsungan jenisnya. (Baca juga : Doa dan Zikir, Cara Mengatasi Kecemasan Tanpa Cemas )
Selain itu, tujuan suci dari suatu pernikahan adalah agar syariat Islam dalam kehidupan rumah tangga selalu ditegakkan oleh pasangan suami istri. Untuk itu, sangatlah penting bagi kita untuk memilih calon yang tepat sebelum menikah, agar nantinya bisa terbina Keluarga Sakinah, Mawaddah, Warahmah. Di sisi lain, Islam juga membenarkan tentang adanya thalaq (perceraian) apabila suami dan istri tidak lagi bisa menegakkan syariat-syariat islam dalam rumah tangganya. Namun, Islam juga membenarkan adanya rujuk (kembali menikah) apabila keduanya sanggup untuk kembali melaksanakan syariat-syariat Islam dalam rumah tangganya.
Sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
ثَلاَثٌ جِدُّهُنَّ جِدٌّ وَهَزْلُهُنَّ جِدٌّ النِّكَاحُ وَالطَّلاَقُ وَالرَّجْعَةُ
“Tiga perkara yang serius dan bercandanya sama-sama dianggap serius: (1) nikah, (2) talak, dan (3) rujuk.” (HR. Abu Dawud).
Islam telah mengajarkan tuntunannya dalam memanajemen konflik dalam rumah tangga. Bagaimana hendaknya sikap seorang suami, istri, bahkan mertua dalam menyikapi perselisihan yang ada di rumah tangga. Terdapat sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Sahl bin Saad as-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu, ia berkata :
جاء رسول الله صلى الله عليه وسلم بيت فاطمة فلم يجد عليًّا في البيت، فقال: “أين ابن عمك؟” قالت: كان بيني وبينه شيء، فغاضبني، فخرج، فلم يَقِلْ عندي فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم لإنسان: “انظر أين هو؟” فجاء فقال: يا رسول الله، هو في المسجد راقد، فجاء رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو مضطجع، قد سقط رداؤه عن شقه، وأصابه تراب، فجعل رسول الله صلى الله عليه وسلم يمسحه عنه، ويقول: “قم أبا تراب، قم أبا تراب”
Artinya : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengunjungi rumah Fatimah. Namun beliau tidak menjumpai Ali di dalam rumah. Beliau bertanya, ‘Mana putra pamanmu’? Fatimah menjawab, ‘Terjadi sesuatu antara diriku dengannya. Kemudian dia marah padaku. Dan tidak tidur siang bersamaku’.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan seseorang, ‘Carilah dimana Ali’. Kemudian orang tersebut datang dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, Ali sedang di masjid. Dia tidur. Rasulullah pun berangkat menuju masjid. Beliau melihat Ali yang sedang berbaring. Rida’nya jatuh dari punggungnya sehingga ia tertidur dengan punggung berdebu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusapi punggungnya, sambil mencandainya, ‘Bangunlah hai Abu Turob. Bangunlah hai Abu Turob’.”
Dari hadis ini, kita bisa memetik banyak pelajaran. Di antaranya, seorang mertua atau orang tua boleh datang ke rumah anak-mantunya tanpa seizin keduanya. Sebagaimana Rasulullah datang ke rumah putrinya tanpa memberi kabar sebelumnya. Melihat Ali tidak ada di rumah di jam istirahat, Rasulullah mencium ada permasalah yang sedang terjadi antara putrinya dengan suaminya. Meskipun mengetahui ada masalah, beliau tidak ingin tahu masalah tersebut dengan detil. Beliau hanya bertanya kepada anaknya, ‘Mana anak pamanmu’? bukan bertanya dengan, ‘Mana suamimu’? Beliau hendak menjelaskan bahwa Ali itu bukan hanya memiliki hubungan sebagai suami denganmu, tapi dia juga seorang kerabat. Artinya beliau hendak menegaskan dan merekatkan hubungan bahwa Ali punya dua hak pada dirimu. Hak sebagai suami dan hak sebagai kerabat.
Lihatlah bagaimana langkah pertama Rasulullah dalam melihat keributan rumah tangga anaknya. Ia gunakan kata-kata yang merekatkan. Bukan yang membuat emosi sang anak tambah tinggi. Hal ini hendaknya diteladani oleh para orang tua. Betapa banyak permasalahan kalau ditanggapi tidak serius, ia akan hilang. (Baca juga : Kematian Itu Mendadak, Perbaiki Amal Mulai Sekarang )
Kemudian perhatikan juga bagaimana seorang istri ketika terjadi permasalahan rumah tangga . Fatimah radhiyallahu ‘anha berkata, ‘Terjadi sesuatu antara diriku dengannya. Kemudian dia marah padaku’. Ia tidak melaporkan detil kejadian dan konfliknya dengan suaminya kepada sang ayah. Bukan aji mumpung karena ayah datang, dijadikan kesempatan untuk laporan bahwa sang suami tidak seperti ayah yang selalu menyayangi. Tidak. Fatimah tidak melakukan itu. Ia tidak membiarkan permasalahan rumah tangganya diketahui oleh orang ketiga. Walaupun itu ayah sendiri. Dia pendam saja permasalahnya. Karena banyak hal yang kecil, kalau sudah tersebar menjadi besar. Terus membesar. Dan jadi keributan. Fungsi suami-istri adalah sebagaimana fungsi pakaian yang menutupi aurat.
Allah Ta’ala berfirman :
هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ
“Mereka para istri adalah pakaian bagi kalian para suami. Demikian juga kalian pakaian bagi mereka.” (QS. Al-Baqarah: 187).
Hendaknya para istri meneladani Fatimah. Jangan sampai permasalahan rumah tangganya keluar. Apalagi sampai diceritakan di sosial media. Menjadi perhatian banyak orang. Hendaknya para wanita bersabar. Dan berdoa kepada Allah agar memberinya jalan keluar. Inilah sifat wanita yang bertakwa. Dan menjaga kehormatan suaminya. Kemudian lihatlah sikap Ali bin Abu Thalib radhiallahu ‘anhu. Ali tidak memaksakan diri berdebat. Menunjukkan bahwa dia yang benar dan istri yang salah. Tidak. Dia lebih baik mengalah. Dan keluar dari rumah.
Dari sini kita bisa mengetahui bahwa permasalahan rumah tangga juga menimpa orang-orang saleh. Ali adalah seorang ahli surga. Demikian juga dengan Fatimah, wanita ahli surga. Artinya, kalau suami kita marah. Atau istri kita marah. Bukan berarti mereka bukan orang yang saleh atau salehah. Hal itu wajar dan biasa. Yang dituntut adalah bagaimana cara kita menyikapi konflik tersebut.
Dari kisah tersebut, kita menjadi lebih jelas bahwa Islam adalah agama kita adalah agama yang istimewa. Setiap permasalahan yang kita hadapi, kemudian kita lihat pada agama kita, kita akan jumpai solusi. Misalnya, ketika marah dengan pasangan, yakinlah dan hadirkan perasaan bahwa pasangan kita juga punya jasa pada kita. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ
“Janganlah seorang mukmin benci kepada seorang wanita mukminah (istrinya), jika ia membenci sebuah sikap (akhlak) istrinya maka ia akan ridho dengan sikapnya (akhlaknya) yang lain” (HR. Muslim).
Hubungan suami istri adalah ladang pahala dan kesempatan meraih surga tertinggi. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
ﻓَﺎﻧْﻈُﺮِﻱْ ﺃﻳﻦَ ﺃَﻧْﺖِ ﻣِﻨْﻪُ، ﻓَﺈﻧَّﻤَﺎ ﻫُﻮَ ﺟَﻨَّﺘُﻚِ ﻭَﻧَﺎﺭُﻙِ
“Lihatlah di mana posisi di hati suamimu, karena suamimu adalah surga dan nerakamu.” (HR. Ahmad).
Jadi, rumah tangga merupakan salah satu wadah untuk beribadah serta beramal saleh disamping kegiatan ibadah dan amal saleh lainnya, dimana menurut konsep ajaran islam, hidup adalah untuk mengabdi dan beribadah hanya kepada Allah semata. (Baca juga : Hukum Tentang Membuka Tali Pengikat pada Jenazah )
Dalam Q.S. An-Nahl ayat 72, Allah telah berfirman yang artinya:
“Dan Allah menjadikan bagimu pasangan (suami atau isteri) dari jenis kamu sendiri dan menjadikan anak dan cucu bagimu dari pasanganmu, serta memberimu rizki dari yang baik. Mengapa mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?”
Wallahu'Alam
(wid)