Cara Menyucikan Najis-Najis Sesuai Petunjuk Dalil
loading...
A
A
A
Makanya ulama yang mengatakan bahwa madzi itu najis, maka najisnya adalah mukhaffafah (najis yang ringan), makanya cukup diciprati dengan air. Sebagian ulama yang mengatakan bahwa madzi adalah suci, mereka ber itu suci berdalil dengan hadits ini bahwa madzi itu suci, maka cukup dengan diciprati air. Karena kalau diciprati dengan air, dzat madzinya masih ada tapi sudha boleh digunakan untuk salat. Itu berarti bahwa madzi adalah suci.
Bagi ulama yang mengatakan madzi adalah najis, mereka berdalil dengan hadits yang sama dan mengatakan bahwa kalau madzi itu suci, untuk apa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan kita untuk mencipratinya dengan air?
Jadi para ulama khilaf dan ini sesuatu yang wajar. Karena memang pemahaman antara ulama yang satu dengan ulama yang lainnya dalam memahami hadits dan mengkompromikan dalil-dalil yang ada bisa berbeda. Yang jelas kita memilih diantara pendapat yang ditunjukkan oleh dalil yang menurut kita lebih kuat, maka itulah yang kita ambil dan kita harus menghormati pendapat yang lainnya.
Saya lebih menguatkan pendapat yang mengatakan bahwa madzi itu suci. Karena secara kenyataan bahwa madzi adalah bagian dari mani, sedangkan mani menurut kita adalah suci. Maka konsekuensinya bahwa madzi yang merupakan bagian dari mani adalah suci. Adapun perintah untuk mencipratinya dengan air, maka ini tidak menunjukkan bahwa madzi itu najis. Karena bisa kita pahami bahwa perintah tersebut adalah perintah anjuran, tidak sampai pada derajat wajib. Dan kita juga bisa mengambil alasan yang disebutkan oleh sebagian ulama yang mengatakan bahwa madzi ini dzatnya masih ada walaupun diciprati dengan air. Tapi dengan diciprati dengan air tersebut kita sudah boleh menggunakan pakaian yang terkena madzi itu. Sehingga dzat madzi sebenarnya tidak najis. Wallahu ta’ala a’lam..
Bagaimana kalau di jalan ada najis yang mengenai pakaian itu, bagaimana cara membersihkannya? Apakah harus dicuci ataukah cukup diciprati ataukah cukup dibiarkan? Kita dengar bagaimana hadis Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam masalah ini.
Ummu Salamah, ibunda kaum mukminin, salah satu dari istri Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Ummu Salamah mengatakan: “Sungguh aku adalah seorang perempuan dan aku memanjangkan juluran kainku dan aku biasa berjalan di tempat yang kotor.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawabnya dengan mengatakan:
“Tanah yang berikutnya bisa membersihkan kotoran itu.” (HR. Tirmidzi, Abu Dawud)
Jika demikian, maka tidak perlu dicuci, tidak perlu diciprati, sudah biarkan tanah yang berikutnya membersihkan kotoran itu.
Baca Juga: 3 Macam Najis dan Cara Membersihkannya
Wallahu A'lam
Bagi ulama yang mengatakan madzi adalah najis, mereka berdalil dengan hadits yang sama dan mengatakan bahwa kalau madzi itu suci, untuk apa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan kita untuk mencipratinya dengan air?
Jadi para ulama khilaf dan ini sesuatu yang wajar. Karena memang pemahaman antara ulama yang satu dengan ulama yang lainnya dalam memahami hadits dan mengkompromikan dalil-dalil yang ada bisa berbeda. Yang jelas kita memilih diantara pendapat yang ditunjukkan oleh dalil yang menurut kita lebih kuat, maka itulah yang kita ambil dan kita harus menghormati pendapat yang lainnya.
Saya lebih menguatkan pendapat yang mengatakan bahwa madzi itu suci. Karena secara kenyataan bahwa madzi adalah bagian dari mani, sedangkan mani menurut kita adalah suci. Maka konsekuensinya bahwa madzi yang merupakan bagian dari mani adalah suci. Adapun perintah untuk mencipratinya dengan air, maka ini tidak menunjukkan bahwa madzi itu najis. Karena bisa kita pahami bahwa perintah tersebut adalah perintah anjuran, tidak sampai pada derajat wajib. Dan kita juga bisa mengambil alasan yang disebutkan oleh sebagian ulama yang mengatakan bahwa madzi ini dzatnya masih ada walaupun diciprati dengan air. Tapi dengan diciprati dengan air tersebut kita sudah boleh menggunakan pakaian yang terkena madzi itu. Sehingga dzat madzi sebenarnya tidak najis. Wallahu ta’ala a’lam..
4. Cara menyucikan pakaian wanita yang menjulur ke tanah dan tanahnya ada najis
Di dalam Islam, pakaian perempuan disunahkan untuk terjulur melebihi kaki. Ini kalau pada laki-laki masuknya sebagai isbal. Tapi kalau pada perempuan isbal ini dianjurkan untuk menutup kakinya. Inilah Islam yang membedakan antara laki-laki dan perempuan. Kalau perempuan karena memang diperintahkan untuk menutup diri dan jangan sampai menjadi fitnah bagi laki-laki, maka yang yang seperti ini dibolehkan bahkan dianjurkan bagi perempuan untuk menjulurkan pakaian untuk menutupi kakinya. Tentunya dengan tidak berlebihan. Jangan sampai setelah ada orang yang mendengarkan kajian ini, pakaiannya dijulurkan sampai 1 meter, tidak demikian, ini berlebihan. Yang penting sudah terjulur dan menutupi kakinya, itulah yang dianjurkan di dalam Islam.Bagaimana kalau di jalan ada najis yang mengenai pakaian itu, bagaimana cara membersihkannya? Apakah harus dicuci ataukah cukup diciprati ataukah cukup dibiarkan? Kita dengar bagaimana hadis Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam masalah ini.
Ummu Salamah, ibunda kaum mukminin, salah satu dari istri Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Ummu Salamah mengatakan: “Sungguh aku adalah seorang perempuan dan aku memanjangkan juluran kainku dan aku biasa berjalan di tempat yang kotor.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawabnya dengan mengatakan:
يُطَهِّرُهُ مَا بَعْدَهُ
“Tanah yang berikutnya bisa membersihkan kotoran itu.” (HR. Tirmidzi, Abu Dawud)
Jika demikian, maka tidak perlu dicuci, tidak perlu diciprati, sudah biarkan tanah yang berikutnya membersihkan kotoran itu.
Baca Juga: 3 Macam Najis dan Cara Membersihkannya
Wallahu A'lam
(wid)