Kesejahteraan Sosial Dimulai dengan Islam, Berikut Ini Penjelasannya

Selasa, 16 Januari 2024 - 10:42 WIB
loading...
Kesejahteraan Sosial Dimulai dengan Islam, Berikut Ini Penjelasannya
Prof Quraish Shihab. Foto/Ilustrasi: Ist
A A A
Muhammad Quraish Shihab mengatakan kesejahteraan sosial dimulai dari perjuangan mewujudkan dan menumbuhsuburkan aspek-aspek akidah dan etika pada diri pribadi, karena dari diri pribadi yang seimbang akan lahir masyarakat seimbang.

"Masyarakat Islam pertama lahir dari Nabi Muhammad SAW , melalui kepribadian beliau yang sangat mengagumkan," tulis Quraish Shihab dalam bukunya berjudul " Wawasan Al-Quran , Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat" (Mizan, 2007).

Pribadi ini, menurut Quraish Shihab, melahirkan keluarga seimbang: Khadijah , Ali bin Abi Thalib , Fathimah Az-Zahra' , dan lain-lain.

Kemudian lahir di luar keluarga itu Abu Bakar Ash-Shiddiq ra , dan sebagainya, yang juga membentuk keluarga, dan demikian seterusnya, sehingga pada akhirnya terbentuklah masyarakat yang seimbang antara keadilan dan kesejahteraan sosialnya.



Kesejahteraan sosial dimulai dengan "Islam", yaitu penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah SWT. Tidak mungkin jiwa akan merasakan ketenangan apabila kepribadian terpecah (split personality):

Allah membuat perumpamaan seorang budak yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat yang dalam perselisihan, dan seorang budak yang menjadi milik penuh seseorang. Adakah kedua budak itu sama halnya? Segala puji bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui ( QS Al-Zumar [39] : 29).

Kesejahteraan sosial dimulai dari kesadaran bahwa pilihan Allah --apa pun bentuknya, setelah usaha maksimal-- adalah pilihan terbaik, dan selalu mengandung hikmah. Karena itu Allah memerintahkan kepada manusia berusaha semaksimal mungkin, kemudian berserah diri kepada-Nya, disertai kesadaran bahwa:

Tiada satu bencana pun yang menimpa di bumi, dan tidak pula pada dirimu sendiri, melainkan telah tertulis di dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi Allah. (Kami jelaskan ini) supaya kamu jangan berduka cita terhadap sesuatu yang luput dari kamu, dan jangan juga terlalu gembira (melampaui batas) terhadap hal yang diberikannya kepada kamu... ( QS Al-Hadid [57] : 22-23).

Ini dimulai dengan pendidikan kejiwaan bagi setiap pribadi, keluarga, dan masyarakat, sehingga akhirnya tercipta hubungan yang serasi di antara semua anggota masyarakat, yang salah satu cerminannya adalah kesediaan mengulurkan tangan sebelum diminta oleh yang membutuhkan, atau kesediaan berkorban demi kepentingan orang banyak.



Mereka mengutamakan (orang lain) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka membutuhkan (apa yang mereka berikan itu) (QS Al-Hasyr [59]: 9).

Setiap pribadi bertanggung jawab untuk mensucikan jiwa dan hartanya, kemudian keluarganya, dengan memberikan perhatian secukupnya terhadap pendidikan anak-anak dan istrinya, baik dari segi jasmani maupun ruhani. Tentunya, tanggung jawab ini mengandung konsekuensi keuangan dan pendidikan.

Dari sini Al-Quran memerintahkan penyisihan sebagian hasil usaha untuk menghadapi masa depan. Salah satu penggalan ayat yang diulang-ulang Al-Quran sebagai tanda orang bertakwa adalah,

Dan sebagian dari yang Kami anugerahkan kepada mereka, mereka nafkahkan ( QS Al-Baqarah [2] : 3)

Sebagian lain (yang tidak mereka nafkahkan itu), mereka tabung, demikian tulis Muhammad Abduh, guna menciptakan rasa aman menghadapi masa depan, diri, dan keluarga.

Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejabteraannya). Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar ( QS Al-Nisa' [4] : 9).



Dari keluarga, kewajiban beralih kepada seluruh anggota masyarakat, sehingga dikenal adanya kewajiban timbal balik antara pribadi dan masyarakat, serta masyarakat terhadap pribadi.

Kewajiban tersebut --sebagaimana halnya setiap kewajiban-- melahirkan hak-hak tertentu yang sifatnya adalah keserasian dan keseimbangan di antara keduanya. Sekali lagi kewajiban dan hak tersebut tidak terbatas pada bentuk penerimaan maupun penyerahan harta benda, tetapi mencakup seluruh aspek kehidupan.

Siapa di antara kamu yang melihat kemunkaran, maka hendaklah ia meluruskannya dengan tangan. Bila tak mampu maka dengan lidah, dan bila (inipun) ia tak mampu, maka dengan hati dan inilah selemah-lemahnya iman (Diriwayatkan oleh Muslim).

Demikian sabda Nabi SAW yang pada akhirnya melahirkan pesan, bahwa, paling tidak, seorang Muslim harus merasakan manis atau pahitnya sesuatu yang terjadi di dalam masyarakatnya, bukan bersikap tak acuh dan tak peduli. Terdapat puluhan ayat dan ratusan hadis yang menekankan keterikatan iman dengan rasa senasib dan sepenanggungan, di antaranya:

Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Mereka itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi pangan kepada orang miskin ( QS Al-Ma'un [107] : 1-3)



Menurut Quraish, redaksi ayat di atas bukanlah "tidak memberi makan", melainkan "tidak menganjurkan memberi pangan". Ini mencerminkan kepedulian. Yang tidak memiliki kemampuan memberi, minimal harus menganjurkan pemberian itu.

"Jika ini pun tidak dilakukannya, sesuai ayat di atas ia termasuk orang yang mendustakan agama dan hari pembalasan," jelasnya.

Setiap orang berkewajiban bekerja. Masyarakat atau mereka yang berkemampuan harus membantu menciptakan lapangan pekerjaan untuk setiap anggotanya yang berpotensi. Karena itulah monopoli dilarang-Nya. Jangankan di dalam bidang ekonomi, pada tempat duduk pun diperintahkan agar memberi peluang dan kelapangan:

Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepada kamu, "Berlapang-lapanglah di dalam majelis!", maka lapangkanlah. Niscaya Allah memberi kelapangan untuk kamu ( QS Al-Mujadilah [58] : 11).

Setiap insan harus memperoleh perlindungan jiwa, harta, dan kehormatannya. Jangankan membunuh atau merampas harta secara tidak sah, mengancam atau mengejek dengan sindiran halus, atau menggelari dengan sebutan yang tidak senonoh, berprasangka buruk tanpa dasar, mencari-cari kesalahan, dan sebagainya. Kesemuanya ini terlarang dengan tegas, karena semua itu dapat menimbulkan rasa takut, tidak aman, maupun kecemasan yang mengantarkan kepada tidak terciptanya kesejahteraan lahir dan batin yang didambakan ( QS Al-Hujurat [49] : 11-12).



Bantuan keuangan baru boleh diberikan apabila seseorang ternyata tidak dapat memenuhi kebutuhannya. Ketika seseorang datang kepada Nabi SAW mengadukan kemiskinannya, Nabi SAW tidak memberinya uang tetapi kapak agar digunakan untuk mengambil dan mengumpulkan kayu.

Di sisi lain, perlu diingat bahwa Al-Quran menegaskan perkataan yang baik pada saat menolak, serta memaafkan tingkah laku yang kurang sopan dari si peminta, akan jauh lebih baik daripada memberi namun dibarengi sikap dan tingkah laku yang menyakitkan.

Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik daripada sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan ( QS Al-Baqarah [2] : 263).

Demi mewujudkan kesejahteraan sosial, Al-Quran melarang beberapa praktik yang dapat mengganggu keserasian hubungan antar anggota masyarakat, seperti larangan riba ( QS Al-Baqarah [2] : 275), dan larangan melakukan transaksi bukan atas dasar kerelaan ( QS Al-Nisa' [4] : 29).

Di samping itu, ditetapkan bahwa pada harta milik pribadi terdapat hak orang-orang yang membutuhkan dan harus disalurkan, baik berupa zakat maupun sedekah ( QS Al-Dzariyat [51] : 19).

(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1581 seconds (0.1#10.140)