Pembebasan Irak: Kisah Orang-Orang Arab Nasrani yang Memilih Perang
loading...
A
A
A
Kekalahan Persia di Ullais, Irak, disusul meninggalkan raja Kisra Ardasyir. Rakyat Persia pun sibuk karena kematian rajanya itu. Orang-orang Arab di pedalaman dan di Mesopotamia jadi tercerai berai. Tak terdengar lagi berita-berita adanya persiapan perang atau hendak mengusir Muslimin dari negeri itu.
Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul " Abu Bakr As-Siddiq " yang diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah (PT Pustaka Litera AntarNusa, 1987) menceritakan Khalid bin Walid cukup arif untuk membiarkan begitu saja sikap mereka yang diam itu atau jadi lupa daratan karena kemenangan sehingga tak lagi melihat apa yang ada di balik semua itu dan yang akan terjadi sesudah itu.
"Yang mendorong semangat orang-orang Persia berperang di Ullais itu ialah kabilah-kabilah Arab juga. Jika kabilah-kabilah ini pada suatu waktu tenang-tenang saja berarti besok mereka akan membuat tipu muslihat," tutur Haekal.
Menurutnya, kalau Khalid tidak menumpas semua cita-cita mereka yang hendak mengadakan pembangkangan dan pengkhianatan, kalau semua jalan menuju ke Semenanjung tidak diamankan, maka jangan menyalahkan orang lain jika ia kelak ditimpa bencana. "Ia tak pernah mengabaikan perhitungan sampai yang sekecil-kecilnya sekalipun," ujar Haekal lagi.
Oleh karena itu, situasi demikian sudah diperhitungkannya dan perencanaannya juga matang. Perhitungan yang paling mudah ialah menduduki kota Hirah, dan menguasai tempat-tempat mereka di sebelah barat Sungai Furat ke arah perbatasan dengan Semenanjung.
Kepala daerah Hirah ketika itu seorang marzaban Persia bernama Azadabeh. Kekuasaan ibu kota Irak waktu itu sudah berkurang, sesudah selama 25 tahun memegang kekuasaan yang berwibawa. Sebabnya ialah, Banu Lakhm yang telah mendirikan kerajaan di Hirah sejak abad ketiga Masehi dan berlangsung selama berabad-abad itu, berselisih dengan Banu Tayyi' sehingga pecah perang antara mereka.
Dengan adanya perselisihan ini, Persia menggunakan kesempatan dengan membantu Banu Tayyi' melawan Nu'man bin al-Munzir yang akhirnya berhasil ditangkap, dipenjara dan kemudian dibunuh.
Setelah itu Iyas bin Qubaisah dari Banu Tayyi' bertindak sebagai penguasa Hirah dan daerah yang berada di bawah kekuasaannya.
Sesudah beberapa tahun berkuasa Banu Bakr bin Wa'il datang menghancurkan pasukan Persia didukung oleh sekutu-sekutu Iyas di Zu Qar yang membuat Iyas terjungkir dari kursinya dan Kisra mengangkat seorang marzaban dari pihaknya sebagai penguasa Hirah.
Dengan demikian habislah wibawa dan kekuasaannya. Tetapi pengaruhnya dalam hati orang-orang Arab membuat pihak Persia selalu memberikan perhatian dan mengambil hati mereka.
Oleh karena itu, Khalid khawatir melihat kedengkian mereka kepadanya itu, bahwa Banu Bakr bin Wa'il akan bekerja sama dengan Banu Tayyi' dan kabilah-kabilah Arab lain yang tinggal di Hirah dan sekitarnya untuk mengadakan perlawanan atau memutuskan jalan. Maka terpikir oleh Khalid hendak menyerangnya dan menguasai kota kemudian menjadikannya markas dan pusat segala kegiatannya.
Persiapan Memasuki Hirah
Penduduk Hirah memang sudah tidak ragu lagi bahwa Khalid akan datang juga dan akan mengepung mereka setelah tersiar berita-berita tentang Ullais dan Amgasyia serta kemenangan-kemenangan dan segala perbuatannya di kedua tempat itu.
Penguasa Hirah sudah memperkirakan bahwa Khalid akan melalui sungai dengan menggunakan kapal-kapal Amgasyia. Langkah pertama yang diambil Azadabeh mengerahkan bala tentaranya ke luar kota Hirah. Anaknya diperintahkan membendung jembatan-jembatan di Furat supaya air sungai tidak lagi mengalir ke hilir dan untuk merintangi perjalanan kapal di sana.
Perkiraan Azadabeh tidak meleset. Khalid dan pasukannya memang menggunakan kapal-kapal Amgasyia dan terus bertolak ke utara ke jurusan Hirah.
Sementara mereka dalam pelayaran itu, tiba-tiba kapal oleng lalu kandas. Dengan oleng dan kandasnya kapal tersebut pasukan Muslimin terkejut sekali, dan Khalid pun marah. Ditanyakannya sebab-sebab kejadian itu kepada awak kapal. Mereka mengatakan bahwa atas perintah penguasa Hirah jembatan-jembatan itu dibendung dan aliran air dialihkan. Dengan demikian kapal-kapal itu tak akan dapat berlayar.
Khalid keluar dengan satu batalion pasukan berkudanya dan menuju ke tempat anak Azadabeh di mulut tebing. Ia dan anak buahnya disergap di tempat berlindungnya itu, dan air di sungai kembali mengalir.
Khalid dan pasukan berkudanya tetap mengawasi. Kapal-kapal itu kembali berlayar membawa semua pasukannya ke Khawarnaq. Di tempat ini mereka diturunkan untuk mengadakan persiapan memasuki Hirah.
Khalid di Istana Khawarnaq
Khalid pun menguasai Istana Khawarnaq dan Istana Najaf, keduanya adalah tempat musim panas para pembesar Hirah, sementara pasukannya sudah berkemah di depan tembok kota itu.
Adapun Azadabeh sendiri sudah lari lebih dulu sebelum bertempur. Ia merasa sangat terpukul dengan apa yang telah menimpa anaknya dan dengan kematian Ardasyir.
Larinya Azadabeh itu tidak mengurangi pihak Hirah sendiri untuk mempertahankan keempat benteng kota dan tembok-temboknya dan mengadakan persiapan untuk mempertahankannya sedapat mungkin.
"Tetapi persiapan mereka sedikit pun tak ada artinya," ujar Haekal berkisah.
Istana Khawarnaq dan kota Hirah telah membangkitkan semangat pasukan berkuda Muslimin serta kenangan kepada Nu'man Agung putra Munzir dan Sinimmar dan apa yang telah terjadi dengan pembangunan istana yang menjulang tinggi serta puisi-puisi mengenai itu.
Semua ini menambah kekuatan dan semangat mereka. Betapapun besarnya kekuatan musuh dan segala persiapannya, bagi Jenderal jenius ini, Khalid Saifullah, Khalid Saiful Islam ternyata tak ada artinya.
Dengan kepiawaian dan keperkasaannya semua itu dapat diterobosnya. Tetapi pihak Hirah tetap tak mau menyerah. Khalid menugaskan para perwiranya menghubungi mereka supaya menyerah. Kalau mereka setuju, terimalah, sebaliknya kalau mereka tetap menolak berilah waktu satu hari kemudian barulah perangi mereka.
Para perwira Muslimin itu mengajak penguasa-penguasa Hirah untuk menerima satu dari tiga pilihan ini: Islam, jizyah atau pengumuman perang. Tetapi penguasa-penguasa itu memilih perang.
Sekarang tak ada jalan lain maka menyerbulah tentara itu ke istana-istana mereka dengan akibat menelan banyak korban. Pastor-pastor dan rahib-rahib yang banyak terdapat dalam biara-biara di Hirah, begitu melihat pembantaian menimpa mereka dan yang lain, mereka berseru:
"Hai penghuni istana, tak ada orang yang membunuhi kami selain kamu!"
Melihat perlawanan itu tampaknya sia-sia para penghuni istana itu berseru:
"Hai orang-orang Arab! Satu dari yang tiga itu kami setujui. Hentikan serangan kalian sambil menunggu sampai Khalid tiba ke tempat kami."
Khalid menemui penghuni istana itu satu persatu, lalu katanya kepada mereka: "Ya, adakah kamu orang-orang Arab? Mengapa kamu membenci orang Arab? Ataukah kamu orang-orang asing, mengapa kamu membenci keadilan?"
Mereka menjawab dengan mengatakan: "Ya memang, malah kami Arab 'Aribah dan yang lain Arab Musta'arribah."
"Kalau benar apa yang kamu katakan, mengapa kamu menjauhi kami dan membenci kami?"
"Untuk membuktikan apa yang kami katakan," sahut mereka lagi, "kami tak menggunakan bahasa lain selain bahasa Arab."
"Pilihlah satu dari tiga," kata Khalid lebih lanjut: "bergabung ke dalam agama kami, kamu mendapat hak dan kewajiban yang sama, walaupun kamu pindah tempat kalau kamu akan tinggal di perkampungan kamu; atau membayar jizyah; atau berperang. Demi Allah, kami datang ke mari dengan orang-orang yang lebih mencintai mati daripada hidup."
"Kami akan membayar jizyah," kata mereka.
Heran juga Khalid atas kegigihan mereka bertahan dalam agama Nasraninya itu, lalu katanya:
"Celaka kamu! Kekufuran itu adalah padang tandus yang menyesatkan. Orang Arab yang paling bodoh ketika dalam perjalanan bertemu dengan dua orang penunjuk jalan, yang dipilihnya orang asing dan yang orang Arab ditinggalkan."
Kata-kata ini tak dapat mengubah kegigihan mereka dari agamanya itu. Mereka bersikap demikian mungkin karena jiwa mereka terpengaruh oleh martabatnya sebagai manusia kalau sampai ia pindah dari keyakinan yang dianutnya, sebab dia sudah kalah lalu terpaksa pindah agama. Juga terpengaruh oleh keadaan kaum Muslimin yang masih baru di Irak. Orang tidak tahu, akan betahkah mereka di Hirah dengan keadaan itu, atau karena hal-hal tertentu mereka akan keluar meninggalkannya.
Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul " Abu Bakr As-Siddiq " yang diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah (PT Pustaka Litera AntarNusa, 1987) menceritakan Khalid bin Walid cukup arif untuk membiarkan begitu saja sikap mereka yang diam itu atau jadi lupa daratan karena kemenangan sehingga tak lagi melihat apa yang ada di balik semua itu dan yang akan terjadi sesudah itu.
"Yang mendorong semangat orang-orang Persia berperang di Ullais itu ialah kabilah-kabilah Arab juga. Jika kabilah-kabilah ini pada suatu waktu tenang-tenang saja berarti besok mereka akan membuat tipu muslihat," tutur Haekal.
Menurutnya, kalau Khalid tidak menumpas semua cita-cita mereka yang hendak mengadakan pembangkangan dan pengkhianatan, kalau semua jalan menuju ke Semenanjung tidak diamankan, maka jangan menyalahkan orang lain jika ia kelak ditimpa bencana. "Ia tak pernah mengabaikan perhitungan sampai yang sekecil-kecilnya sekalipun," ujar Haekal lagi.
Oleh karena itu, situasi demikian sudah diperhitungkannya dan perencanaannya juga matang. Perhitungan yang paling mudah ialah menduduki kota Hirah, dan menguasai tempat-tempat mereka di sebelah barat Sungai Furat ke arah perbatasan dengan Semenanjung.
Kepala daerah Hirah ketika itu seorang marzaban Persia bernama Azadabeh. Kekuasaan ibu kota Irak waktu itu sudah berkurang, sesudah selama 25 tahun memegang kekuasaan yang berwibawa. Sebabnya ialah, Banu Lakhm yang telah mendirikan kerajaan di Hirah sejak abad ketiga Masehi dan berlangsung selama berabad-abad itu, berselisih dengan Banu Tayyi' sehingga pecah perang antara mereka.
Dengan adanya perselisihan ini, Persia menggunakan kesempatan dengan membantu Banu Tayyi' melawan Nu'man bin al-Munzir yang akhirnya berhasil ditangkap, dipenjara dan kemudian dibunuh.
Setelah itu Iyas bin Qubaisah dari Banu Tayyi' bertindak sebagai penguasa Hirah dan daerah yang berada di bawah kekuasaannya.
Sesudah beberapa tahun berkuasa Banu Bakr bin Wa'il datang menghancurkan pasukan Persia didukung oleh sekutu-sekutu Iyas di Zu Qar yang membuat Iyas terjungkir dari kursinya dan Kisra mengangkat seorang marzaban dari pihaknya sebagai penguasa Hirah.
Dengan demikian habislah wibawa dan kekuasaannya. Tetapi pengaruhnya dalam hati orang-orang Arab membuat pihak Persia selalu memberikan perhatian dan mengambil hati mereka.
Oleh karena itu, Khalid khawatir melihat kedengkian mereka kepadanya itu, bahwa Banu Bakr bin Wa'il akan bekerja sama dengan Banu Tayyi' dan kabilah-kabilah Arab lain yang tinggal di Hirah dan sekitarnya untuk mengadakan perlawanan atau memutuskan jalan. Maka terpikir oleh Khalid hendak menyerangnya dan menguasai kota kemudian menjadikannya markas dan pusat segala kegiatannya.
Persiapan Memasuki Hirah
Penduduk Hirah memang sudah tidak ragu lagi bahwa Khalid akan datang juga dan akan mengepung mereka setelah tersiar berita-berita tentang Ullais dan Amgasyia serta kemenangan-kemenangan dan segala perbuatannya di kedua tempat itu.
Penguasa Hirah sudah memperkirakan bahwa Khalid akan melalui sungai dengan menggunakan kapal-kapal Amgasyia. Langkah pertama yang diambil Azadabeh mengerahkan bala tentaranya ke luar kota Hirah. Anaknya diperintahkan membendung jembatan-jembatan di Furat supaya air sungai tidak lagi mengalir ke hilir dan untuk merintangi perjalanan kapal di sana.
Perkiraan Azadabeh tidak meleset. Khalid dan pasukannya memang menggunakan kapal-kapal Amgasyia dan terus bertolak ke utara ke jurusan Hirah.
Sementara mereka dalam pelayaran itu, tiba-tiba kapal oleng lalu kandas. Dengan oleng dan kandasnya kapal tersebut pasukan Muslimin terkejut sekali, dan Khalid pun marah. Ditanyakannya sebab-sebab kejadian itu kepada awak kapal. Mereka mengatakan bahwa atas perintah penguasa Hirah jembatan-jembatan itu dibendung dan aliran air dialihkan. Dengan demikian kapal-kapal itu tak akan dapat berlayar.
Khalid keluar dengan satu batalion pasukan berkudanya dan menuju ke tempat anak Azadabeh di mulut tebing. Ia dan anak buahnya disergap di tempat berlindungnya itu, dan air di sungai kembali mengalir.
Khalid dan pasukan berkudanya tetap mengawasi. Kapal-kapal itu kembali berlayar membawa semua pasukannya ke Khawarnaq. Di tempat ini mereka diturunkan untuk mengadakan persiapan memasuki Hirah.
Khalid di Istana Khawarnaq
Khalid pun menguasai Istana Khawarnaq dan Istana Najaf, keduanya adalah tempat musim panas para pembesar Hirah, sementara pasukannya sudah berkemah di depan tembok kota itu.
Adapun Azadabeh sendiri sudah lari lebih dulu sebelum bertempur. Ia merasa sangat terpukul dengan apa yang telah menimpa anaknya dan dengan kematian Ardasyir.
Larinya Azadabeh itu tidak mengurangi pihak Hirah sendiri untuk mempertahankan keempat benteng kota dan tembok-temboknya dan mengadakan persiapan untuk mempertahankannya sedapat mungkin.
"Tetapi persiapan mereka sedikit pun tak ada artinya," ujar Haekal berkisah.
Istana Khawarnaq dan kota Hirah telah membangkitkan semangat pasukan berkuda Muslimin serta kenangan kepada Nu'man Agung putra Munzir dan Sinimmar dan apa yang telah terjadi dengan pembangunan istana yang menjulang tinggi serta puisi-puisi mengenai itu.
Semua ini menambah kekuatan dan semangat mereka. Betapapun besarnya kekuatan musuh dan segala persiapannya, bagi Jenderal jenius ini, Khalid Saifullah, Khalid Saiful Islam ternyata tak ada artinya.
Dengan kepiawaian dan keperkasaannya semua itu dapat diterobosnya. Tetapi pihak Hirah tetap tak mau menyerah. Khalid menugaskan para perwiranya menghubungi mereka supaya menyerah. Kalau mereka setuju, terimalah, sebaliknya kalau mereka tetap menolak berilah waktu satu hari kemudian barulah perangi mereka.
Para perwira Muslimin itu mengajak penguasa-penguasa Hirah untuk menerima satu dari tiga pilihan ini: Islam, jizyah atau pengumuman perang. Tetapi penguasa-penguasa itu memilih perang.
Sekarang tak ada jalan lain maka menyerbulah tentara itu ke istana-istana mereka dengan akibat menelan banyak korban. Pastor-pastor dan rahib-rahib yang banyak terdapat dalam biara-biara di Hirah, begitu melihat pembantaian menimpa mereka dan yang lain, mereka berseru:
"Hai penghuni istana, tak ada orang yang membunuhi kami selain kamu!"
Melihat perlawanan itu tampaknya sia-sia para penghuni istana itu berseru:
"Hai orang-orang Arab! Satu dari yang tiga itu kami setujui. Hentikan serangan kalian sambil menunggu sampai Khalid tiba ke tempat kami."
Khalid menemui penghuni istana itu satu persatu, lalu katanya kepada mereka: "Ya, adakah kamu orang-orang Arab? Mengapa kamu membenci orang Arab? Ataukah kamu orang-orang asing, mengapa kamu membenci keadilan?"
Mereka menjawab dengan mengatakan: "Ya memang, malah kami Arab 'Aribah dan yang lain Arab Musta'arribah."
"Kalau benar apa yang kamu katakan, mengapa kamu menjauhi kami dan membenci kami?"
"Untuk membuktikan apa yang kami katakan," sahut mereka lagi, "kami tak menggunakan bahasa lain selain bahasa Arab."
"Pilihlah satu dari tiga," kata Khalid lebih lanjut: "bergabung ke dalam agama kami, kamu mendapat hak dan kewajiban yang sama, walaupun kamu pindah tempat kalau kamu akan tinggal di perkampungan kamu; atau membayar jizyah; atau berperang. Demi Allah, kami datang ke mari dengan orang-orang yang lebih mencintai mati daripada hidup."
"Kami akan membayar jizyah," kata mereka.
Heran juga Khalid atas kegigihan mereka bertahan dalam agama Nasraninya itu, lalu katanya:
"Celaka kamu! Kekufuran itu adalah padang tandus yang menyesatkan. Orang Arab yang paling bodoh ketika dalam perjalanan bertemu dengan dua orang penunjuk jalan, yang dipilihnya orang asing dan yang orang Arab ditinggalkan."
Kata-kata ini tak dapat mengubah kegigihan mereka dari agamanya itu. Mereka bersikap demikian mungkin karena jiwa mereka terpengaruh oleh martabatnya sebagai manusia kalau sampai ia pindah dari keyakinan yang dianutnya, sebab dia sudah kalah lalu terpaksa pindah agama. Juga terpengaruh oleh keadaan kaum Muslimin yang masih baru di Irak. Orang tidak tahu, akan betahkah mereka di Hirah dengan keadaan itu, atau karena hal-hal tertentu mereka akan keluar meninggalkannya.
(mhy)