Etika Debat dalam Al-Qur’an: Salah Satunya Niat yang Tulus dan Benar
loading...
A
A
A
Dalam forum debat atau diskusi , setiap peserta sudah tentu akan berusaha mempertahankan dan memenangkan argumentasinya dengan berbagai cara. Agar mendapatkan sebuah kebenaran dan tujuan yang dicapai, maka diperlukan ketentuan-ketentuan yang mengaturnya sehingga dapat mempertemukan setiap perbedaan argumentasi dalam forum diskusi. Ketentuan tersebut juga memberi patokan-patokan dasar agar tidak sampai berbenturan dan permusuhan dalam berdiskusi.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia , etika dijelaskan sebagai ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk serta tentang hak dan kewajiban moral ( akhlak ) atau perilaku yang menjadi pedoman.
Formulasi terkait etika diskusi bisa dipahami sebagai jumlah ketentuan moral atau akhlak tentang apa yang baik dan buruk untuk dilakukan dalam hal adu argumentasi demi mendapatkan kebenaran yang bersifat deduktif.
Hal ini penting dilakukan, mengingat sebuah diskusi bila tidak diatur dengan kode etik akan menjadi rancu dan kacau, sehingga tidak sampai pada tujuan yang ingin dicapai.
Paling tidak, ada tujuh etika diskusi yang layak diperhatikan dalam perspektif al-Qur’an , salah satunya adalah niat yang tulus dan benar.
Tulusnya niat seseorang dalam berdiskusi atau berdebat sangat menentukan hasil yang akan dicapai. Dalam hal ini, seseorang harus menjauhi sifat pamer kemampuan (riya’), merasa keras kepala, membanggakan diri (‘ujub), serta mengejar pujian dan popularitas, sehingga menghalalkan segala cara.
Abu Hamid Muhammad al-Ghazali dalam bukunya berjudul "Bidayat al-Hidayah" memberi peringatan untuk menjauhi sifat-sifat tersebut karena merupakan embrio penyakit hati yang akan menjalar dan mempengaruhi timbulnya sifat-sifat tercela lainnya.
Ia menambahkan, hendaknya orang yang berdiskusi itu seperti mencari ternak yang hilang. Dia tidak peduli siapa yang menemukannya kembali, apakah dia atau orang lain dan dia akan memandang orang lain sebagai partner dalam mencari ternak yang hilang tersebut, bukan sebagai pesaing atau lawan. Manakala orang lain telah menemukannya, dia pun mengucapkan terimakasih.
Niat yang tulus pernah dicontohkan oleh Nabi Isa ketika ia berdiskusi dengan kaumnya seputar seruan untuk menyembah Allah dan agar mereka percaya dengan agama yang telah dibawanya. Ia menutup seruan Allah itu dengan menyatakan:
Bilbaiyinaati qoola qad ji'tukum bil Hikmati wa li-ubaiyina lakum ba'dal lazii takhtalifuuna fiihi fattaqul laaha wa atii'uun
Artinya: Sungguh Aku datang kepadamu dengan membawa hikmat dan untuk menjelaskan kepadamu sebagian dari apa yang kamu berselisih tentangnya. Maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah (kepada) ku. ( QS 43 :63).
Pada ayat ini, Muhammad Ibn Jarir al-Tabari dalam Jami’ al-Bayan ‘An Ta’wil Ay al-Qur’an menegaskan bahwa makna yang dimaksud adalah seputar urusan agama, bukan urusan duniawi.
Adapaun lafaz ba’dun pada ayat tersebut bermakna kullun, sehingga didapati pemahaman bahwa Nabi Isa diutus oleh Allah untuk menyampaikan risalah yang dibawanya, berupa agama Allah dengan pedoman kitab Taurat kepada kaumnnya Bani Isra’il agar dapat memberi petunjuk bagi semua urusan yang telah menimpanya.
Di dalam hadis Nabi dijelaskan bahwa setiap amal perbuatan harus dilakukan dengan niat tulus karena Allah, bukan karena pamrih terhadap orang lain, sebagaimana bersabdanya:
"Dari Umar bin al-Khattab yang sedang berkhutbah, ia berkata: saya mendengar dari Rasulullah , Rasulullah bersabda: “Semua perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap-tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan; Barangsiapa niat hijrahnya karena dunia yang ingin digapainya atau karena seorang perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa yang dia diniatkan”. (HR Bukhari)
Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam Fath al-Bari bi Syarh Sahih Bukhari memberi penjelasan terkait dengan hadis ini, bahwa setiap perbuatan harus disertai dengan niat. Barangsiapa yang berniat, maka akan mendapat pahala, baik niat itu dilaksanakan ataupun tidak dengan sebab alasan syariat dan setiap perbuatan yang tidak diniatkan tidak akan mendapat pahala.
"Hadis ini juga menunjukkan adanya cerita seorang Muslim yang ikut berhijrah dengan maksud ingin menikahi seorang perempuan sehingga ia disebut Muhajir Ummu Qays," ujarnya.
Dengan demikian, semua perbuatan mengharuskan sebuah niat. Niat yang tulus sangat penting dilakukan karena setiap perbuatan bergantung pada apa yang diniatkan. Demikian juga dalam berdiskusi, niat tulus dan bersih dari hal-hal yang dapat membuat diskusi tidak berjalan kondusif harus dihindari, karena hal demikian hanya dapat membekukan diskusi antar pihak, dan hanya membuang-buang waktu semata tanpa mendapatkan kebenaran yang bersifat deduktif.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia , etika dijelaskan sebagai ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk serta tentang hak dan kewajiban moral ( akhlak ) atau perilaku yang menjadi pedoman.
Formulasi terkait etika diskusi bisa dipahami sebagai jumlah ketentuan moral atau akhlak tentang apa yang baik dan buruk untuk dilakukan dalam hal adu argumentasi demi mendapatkan kebenaran yang bersifat deduktif.
Hal ini penting dilakukan, mengingat sebuah diskusi bila tidak diatur dengan kode etik akan menjadi rancu dan kacau, sehingga tidak sampai pada tujuan yang ingin dicapai.
Paling tidak, ada tujuh etika diskusi yang layak diperhatikan dalam perspektif al-Qur’an , salah satunya adalah niat yang tulus dan benar.
Tulusnya niat seseorang dalam berdiskusi atau berdebat sangat menentukan hasil yang akan dicapai. Dalam hal ini, seseorang harus menjauhi sifat pamer kemampuan (riya’), merasa keras kepala, membanggakan diri (‘ujub), serta mengejar pujian dan popularitas, sehingga menghalalkan segala cara.
Abu Hamid Muhammad al-Ghazali dalam bukunya berjudul "Bidayat al-Hidayah" memberi peringatan untuk menjauhi sifat-sifat tersebut karena merupakan embrio penyakit hati yang akan menjalar dan mempengaruhi timbulnya sifat-sifat tercela lainnya.
Ia menambahkan, hendaknya orang yang berdiskusi itu seperti mencari ternak yang hilang. Dia tidak peduli siapa yang menemukannya kembali, apakah dia atau orang lain dan dia akan memandang orang lain sebagai partner dalam mencari ternak yang hilang tersebut, bukan sebagai pesaing atau lawan. Manakala orang lain telah menemukannya, dia pun mengucapkan terimakasih.
Niat yang tulus pernah dicontohkan oleh Nabi Isa ketika ia berdiskusi dengan kaumnya seputar seruan untuk menyembah Allah dan agar mereka percaya dengan agama yang telah dibawanya. Ia menutup seruan Allah itu dengan menyatakan:
بِالۡبَيِّنٰتِ قَالَ قَدۡ جِئۡتُكُمۡ بِالۡحِكۡمَةِ وَلِاُبَيِّنَ لَكُمۡ بَعۡضَ الَّذِىۡ تَخۡتَلِفُوۡنَ فِيۡهِ ۚ فَاتَّقُوا اللّٰهَ وَاَطِيۡعُوۡنِ
Bilbaiyinaati qoola qad ji'tukum bil Hikmati wa li-ubaiyina lakum ba'dal lazii takhtalifuuna fiihi fattaqul laaha wa atii'uun
Artinya: Sungguh Aku datang kepadamu dengan membawa hikmat dan untuk menjelaskan kepadamu sebagian dari apa yang kamu berselisih tentangnya. Maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah (kepada) ku. ( QS 43 :63).
Pada ayat ini, Muhammad Ibn Jarir al-Tabari dalam Jami’ al-Bayan ‘An Ta’wil Ay al-Qur’an menegaskan bahwa makna yang dimaksud adalah seputar urusan agama, bukan urusan duniawi.
Adapaun lafaz ba’dun pada ayat tersebut bermakna kullun, sehingga didapati pemahaman bahwa Nabi Isa diutus oleh Allah untuk menyampaikan risalah yang dibawanya, berupa agama Allah dengan pedoman kitab Taurat kepada kaumnnya Bani Isra’il agar dapat memberi petunjuk bagi semua urusan yang telah menimpanya.
Di dalam hadis Nabi dijelaskan bahwa setiap amal perbuatan harus dilakukan dengan niat tulus karena Allah, bukan karena pamrih terhadap orang lain, sebagaimana bersabdanya:
"Dari Umar bin al-Khattab yang sedang berkhutbah, ia berkata: saya mendengar dari Rasulullah , Rasulullah bersabda: “Semua perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap-tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan; Barangsiapa niat hijrahnya karena dunia yang ingin digapainya atau karena seorang perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa yang dia diniatkan”. (HR Bukhari)
Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam Fath al-Bari bi Syarh Sahih Bukhari memberi penjelasan terkait dengan hadis ini, bahwa setiap perbuatan harus disertai dengan niat. Barangsiapa yang berniat, maka akan mendapat pahala, baik niat itu dilaksanakan ataupun tidak dengan sebab alasan syariat dan setiap perbuatan yang tidak diniatkan tidak akan mendapat pahala.
"Hadis ini juga menunjukkan adanya cerita seorang Muslim yang ikut berhijrah dengan maksud ingin menikahi seorang perempuan sehingga ia disebut Muhajir Ummu Qays," ujarnya.
Dengan demikian, semua perbuatan mengharuskan sebuah niat. Niat yang tulus sangat penting dilakukan karena setiap perbuatan bergantung pada apa yang diniatkan. Demikian juga dalam berdiskusi, niat tulus dan bersih dari hal-hal yang dapat membuat diskusi tidak berjalan kondusif harus dihindari, karena hal demikian hanya dapat membekukan diskusi antar pihak, dan hanya membuang-buang waktu semata tanpa mendapatkan kebenaran yang bersifat deduktif.
(mhy)