Debat Capres Cawapres: Frasa Al-Jadal dalam Al-Quran
loading...
A
A
A
Debat sebagai padanan dari istilah diskusi , di dalam al-Qur’an disebutkan istilah al-hiwar, al-mira’, al-muhajjah, al-jadal, syura, dan al-munazarah yang definisinya lebih mendekati perdebatan.
Ini kali kita bahas term al-jadal dan al-jidal. Frasa ini berasal dari akar kata yang terdiri dari huruf ja-da-la. Secara bahasa, kata ini menunjukkan adanya penegasan kembali sebuah argumentasi dan berpegang teguh pada argumentasi yang dianutnya.
Secara istilah, Manna’ al-Qattan dalam Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an mendefinisikan al-jadal dengan arti bertukar pikiran dengan cara bersaing dan berlomba untuk mengalahkan lawan bicara.
Definisi ini berasal dari kata hadaltu alhabla, yakni ahkamtu fatlah (aku kokohkan jalinan itu), mengingat kedua belah pihak yang berdebat saling mengokohkan argumentasinya masing-masing dan berusaha menjatuhkan lawan dari pendirian yang dianutnya.
Sementara al-Jurjani dalam Mu’jam al-Ta’rifat mendefinisikan al-jadal sebagai penggunaan nalar dan analogi yang berasal
dari beberapa ketepatan yang bertujuan mengalahkan lawan bicara. Dengan kata lain, al-jadal adalah upaya seseorang untuk mematahkan dan mementahkan argumentasi lawan bicaranya, karena ada unsur kebencian dan permusuhan di dalamnya.
Di dalam al-Qur’an, kata al-jadal dengan berbagai derivasinya disebut sebanyak 29 kali. Penyebutan ayat-ayat al-Qur’an tentang al-jadal ini bila dicermati secara seksama akan didapati kesimpulan tentang berbagai hal di dunia dan akhirat seperti terdapat pada QS al-Nisa’ (4) : 109, kadangkala menjelaskan tentang kebenaran untuk mengalahkan kebatilan seperti yang terdapat pada QS al-‘Ankabut (29) : 46, di lain kali juga terkadang menggunakan sarana kebatilan untuk menolak kebenaran sebagaimana pada QS Ghafir (40) : 5, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Contoh representatif penyebutan al-jadal bermakna membantah dapat dijumpai pada QS al-Kahfi (18) : 54 sebagai berikut:
Wa laqad sarrafnaa fii haazal quraani linnaasi mn kulli masal; wa kaanal insaanu aksara shai'in jadalaa
"Dan sesungguhnya Kami telah menjelaskan berulang-ulang kepada manusia dalam Al-Qur'an ini dengan bermacam-macam perumpamaan. Tetapi manusia adalah memang yang paling banyak membantah."( QS Al-Kahfi : 54)
Terkait dengan ayat ini, para mufassir berbeda-beda dalam memahami kata jadala. Muhammad al-Ansari al-Qurtubi dalam al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, misalnya, menafsirkan jadala sebagai bantahan terhadap al-Qur’an. Mereka menunjuk manusia yang membantah al-Qur’an tersebut adalah al-Nad}r bin al-Harith. Sementara menurut al-Kalibi, manusia yang dimaksud adalah Ubay bin Khalf, sedangkan menurut al-Zujaj adalah orang-orang kafir, karena berdasarkan ayat wa yujadil al-ladzina kafaru bi al-batil (orang-orang kafir membantah dengan yang batil).
Di dalam kitab tafsirnya, al-Zuhayli menafsirkan kata jadala dengan arti manusia yang sering berdebat, bermusuhan, dan bersaing, kecuali orang yang mendapatkan petunjuk Allah.
Pendapat berbeda diungkapkan al-Sa’di, ia memahaminya sebagai perdebatan yang berasal dari watak atau tabiat dasar manusia, baik berdebat dalam hal kebaikan maupun keburukan.
Pendapat al-Sa’di ini sejalan dengan Ibn ‘Ashur, bahwa setiap manusia berkecenderungan untuk meyakinkan orang yang berbeda dengannya bahwa keyakinan dan perilakunya adalah yang paling benar.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa al-jadal berangkat dari prinsip-prinsip yang telah diyakini kebenarannya dan dipegang teguh tanpa ada keinginan untuk mundur dari argumentasinya. Sehingga al-jadal sering terjadi karena adanya perbedaan pemikiran dan keyakinan pada masing-masing pihak yang terlibat dalam forum diskusi tanpa memperhatikan sejauh mana kebenaran argumentasi yang telah dianutnya.
Ini kali kita bahas term al-jadal dan al-jidal. Frasa ini berasal dari akar kata yang terdiri dari huruf ja-da-la. Secara bahasa, kata ini menunjukkan adanya penegasan kembali sebuah argumentasi dan berpegang teguh pada argumentasi yang dianutnya.
Secara istilah, Manna’ al-Qattan dalam Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an mendefinisikan al-jadal dengan arti bertukar pikiran dengan cara bersaing dan berlomba untuk mengalahkan lawan bicara.
Definisi ini berasal dari kata hadaltu alhabla, yakni ahkamtu fatlah (aku kokohkan jalinan itu), mengingat kedua belah pihak yang berdebat saling mengokohkan argumentasinya masing-masing dan berusaha menjatuhkan lawan dari pendirian yang dianutnya.
Sementara al-Jurjani dalam Mu’jam al-Ta’rifat mendefinisikan al-jadal sebagai penggunaan nalar dan analogi yang berasal
dari beberapa ketepatan yang bertujuan mengalahkan lawan bicara. Dengan kata lain, al-jadal adalah upaya seseorang untuk mematahkan dan mementahkan argumentasi lawan bicaranya, karena ada unsur kebencian dan permusuhan di dalamnya.
Di dalam al-Qur’an, kata al-jadal dengan berbagai derivasinya disebut sebanyak 29 kali. Penyebutan ayat-ayat al-Qur’an tentang al-jadal ini bila dicermati secara seksama akan didapati kesimpulan tentang berbagai hal di dunia dan akhirat seperti terdapat pada QS al-Nisa’ (4) : 109, kadangkala menjelaskan tentang kebenaran untuk mengalahkan kebatilan seperti yang terdapat pada QS al-‘Ankabut (29) : 46, di lain kali juga terkadang menggunakan sarana kebatilan untuk menolak kebenaran sebagaimana pada QS Ghafir (40) : 5, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Contoh representatif penyebutan al-jadal bermakna membantah dapat dijumpai pada QS al-Kahfi (18) : 54 sebagai berikut:
وَلَقَدۡ صَرَّفۡنَا فِىۡ هٰذَا الۡقُرۡاٰنِ لِلنَّاسِ مِنۡ كُلِّ مَثَلٍ ؕ وَكَانَ الۡاِنۡسَانُ اَكۡثَرَ شَىۡءٍ جَدَلًا
Wa laqad sarrafnaa fii haazal quraani linnaasi mn kulli masal; wa kaanal insaanu aksara shai'in jadalaa
"Dan sesungguhnya Kami telah menjelaskan berulang-ulang kepada manusia dalam Al-Qur'an ini dengan bermacam-macam perumpamaan. Tetapi manusia adalah memang yang paling banyak membantah."( QS Al-Kahfi : 54)
Terkait dengan ayat ini, para mufassir berbeda-beda dalam memahami kata jadala. Muhammad al-Ansari al-Qurtubi dalam al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, misalnya, menafsirkan jadala sebagai bantahan terhadap al-Qur’an. Mereka menunjuk manusia yang membantah al-Qur’an tersebut adalah al-Nad}r bin al-Harith. Sementara menurut al-Kalibi, manusia yang dimaksud adalah Ubay bin Khalf, sedangkan menurut al-Zujaj adalah orang-orang kafir, karena berdasarkan ayat wa yujadil al-ladzina kafaru bi al-batil (orang-orang kafir membantah dengan yang batil).
Di dalam kitab tafsirnya, al-Zuhayli menafsirkan kata jadala dengan arti manusia yang sering berdebat, bermusuhan, dan bersaing, kecuali orang yang mendapatkan petunjuk Allah.
Pendapat berbeda diungkapkan al-Sa’di, ia memahaminya sebagai perdebatan yang berasal dari watak atau tabiat dasar manusia, baik berdebat dalam hal kebaikan maupun keburukan.
Pendapat al-Sa’di ini sejalan dengan Ibn ‘Ashur, bahwa setiap manusia berkecenderungan untuk meyakinkan orang yang berbeda dengannya bahwa keyakinan dan perilakunya adalah yang paling benar.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa al-jadal berangkat dari prinsip-prinsip yang telah diyakini kebenarannya dan dipegang teguh tanpa ada keinginan untuk mundur dari argumentasinya. Sehingga al-jadal sering terjadi karena adanya perbedaan pemikiran dan keyakinan pada masing-masing pihak yang terlibat dalam forum diskusi tanpa memperhatikan sejauh mana kebenaran argumentasi yang telah dianutnya.
(mhy)