Syaikh Al-Utsaimin: Puasa Khusus pada Pertengahan Syaban Bukan Amalan Sunah
loading...
A
A
A
Ibnu Rajab rahimahullah menyebutkan dalam al-Lathâ’if bahwadalam Sunan Ibnu Majah dengan sanad yang lemah dari Ali ra bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, “Jika malam nisfu Sya’ban , maka salatlah di malam harinya dan berpuasalah pada siangnya. Karena Allâh Azza wa Jalla turun pada saat matahari tenggelam, lalu berfirman, “Adakah orang yang memohon ampun lalu akan saya ampuni ? Adakah yang memohon rizki lalu akan saya beri? …”
Mengomentari hal itu, Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin dalam kitabnya Majmu’ Fatawa mengatakan, “Hadis tersebut telah dihukumi sebagai hadis palsu oleh penulis kitab al Mannâr. Beliau rahimahullah mengatakan, ‘Yang benar, hadis itu maudhu’ (palsu), karena dalam sanadnya terdapat Abu Bakr, Abdullah bin Muhammad, yang dikenal dengan sebutan Ibnu Abi Bisrah. Imam Ahmad rahimahullah dan Yahya bin Ma’in rahimahullah mengatakan, ‘Orang ini pernah memalsukan hadis .”
Berdasarkan penjelasan ini, maka puasa khusus pada pertengahan Sya’bân itu bukan amalan sunat. Karena berdasarkan kesepakatan para ulama’, hukum syari’at tidak bisa ditetapkan dengan hadis-hadis yang derajatnya berkisar antara lemah dan palsu.
"Kecuali kalau kelemahan ini bisa tertutupi dengan banyaknya jalur periwayatan dan riwayat-riwayat pendukung, sehingga hadis ini bisa naik derajatnya menjadi Hadis Hasan Lighairi," jelasnya. "Dan ketika itu boleh dijadikan landasan untuk beramal kecuali kalau isinya mungkar atau syadz (nyeleneh)."
Mengomentari hal itu, Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin dalam kitabnya Majmu’ Fatawa mengatakan, “Hadis tersebut telah dihukumi sebagai hadis palsu oleh penulis kitab al Mannâr. Beliau rahimahullah mengatakan, ‘Yang benar, hadis itu maudhu’ (palsu), karena dalam sanadnya terdapat Abu Bakr, Abdullah bin Muhammad, yang dikenal dengan sebutan Ibnu Abi Bisrah. Imam Ahmad rahimahullah dan Yahya bin Ma’in rahimahullah mengatakan, ‘Orang ini pernah memalsukan hadis .”
Berdasarkan penjelasan ini, maka puasa khusus pada pertengahan Sya’bân itu bukan amalan sunat. Karena berdasarkan kesepakatan para ulama’, hukum syari’at tidak bisa ditetapkan dengan hadis-hadis yang derajatnya berkisar antara lemah dan palsu.
"Kecuali kalau kelemahan ini bisa tertutupi dengan banyaknya jalur periwayatan dan riwayat-riwayat pendukung, sehingga hadis ini bisa naik derajatnya menjadi Hadis Hasan Lighairi," jelasnya. "Dan ketika itu boleh dijadikan landasan untuk beramal kecuali kalau isinya mungkar atau syadz (nyeleneh)."
(mhy)