Semarak Puasa Ramadan untuk Membendung Islamofobia
loading...
A
A
A
JAKARTA - Bulan Ramadan yang juga disebut sebagai syahru rahmat (bulan yang penuh rahmat), tidak hanya sekadar diisi dengan ritual berpuasa semata. Terkadang umat Islam lupa tentang bagaimana esensi puasa yang seharusnya, yaitu membentuk individu muslim menjadi pribadi yang menyebar rahmat dan perdamaian.
Ketua Umum Asosiasi Dai-Daiyah Indonesia (ADDAI), Moch. Syarif Hidayatullah menjelaskan bahwa dalam bulan Ramadan umat Islam dilatih untuk bersabar, merukunkan, dan mengasihi sesama manusia.
“Ini adalah momen di mana kesabaran, perdamaian, dan kasih sayang menjadi fokus latihan. Jadi, jika seseorang berpuasa tetapi tidak mempraktikkan sifat-sifat tersebut, maka dia sebenarnya gagal memahami esensi sejati dari puasa,” jelasnya di Jakarta, Rabu (20/3/2024).
Dalam konteks ini, Syarif mengutip sebuah hadis yang menekankan bahwa orang yang berpuasa seharusnya menghindari provokasi dan konflik. Bahkan, mereka diperintahkan untuk menjawab provokasi dengan menyatakan bahwa mereka sedang berpuasa.
“Maka dari itu, jika ada seseorang yang berpuasa lalu ia justru menebar konflik dan hal-hal yang negatif, maka dipastikan ia telah gagal dalam memahami esensi puasa itu sendiri. Kalau orang yang memahami esensi puasa pasti dia akan jadi pribadi yang ramah dan menebar rahmat kepada seluruh manusia,” terangnya.
Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan, Alumni dan Kerjasama Fakultas Dirasat Islamiyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini juga memberikan penekanan tentang signifikasi ibadah puasa dalam mereduksi fenomena Islamofobia yang masih saja ada.
Menurutnya, Islamofobia adalah fenomena yang timbul akibat tindakan kekerasan yang mengatasnamakan Islam dan isu itu membutuhkan perhatian semua pihak. Karena itu, Islamofobia harus dilihat tidak hanya dari satu perspektif saja.
“Kebencian terhadap Islam tidak hanya berasal dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh sebagian kecil umat Islam, tetapi juga dari propaganda media yang merusak. Oleh karena itu, penanganan Islamofobia memerlukan pendekatan yang komprehensif, termasuk pengawasan media yang lebih fair dan edukasi yang lebih baik terhadap umat Islam tentang prinsip-prinsip agama mereka,” ungkap Syarif.
Dia juga menekankan pentingnya umat Islam untuk tidak memonopoli kebenaran dan memahami bahwa ajaran Islam tidak mendukung tindakan kekerasan. Bahkan, konsep jihad sendiri sering disalahpahami hingga digunakan untuk kepentingan politik atau ekonomi.
Oleh karena itu, umat Islam perlu mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang ajaran agama mereka dari sumber-sumber yang kredibel. Hal ini termasuk dari ulama-ulama yang berpengalaman dan mampu membawa kedamaian dalam masyarakat Indonesia yang sangat beragam.
Pembina Yayasan Raudhatul Mustariyah ini juga menyatakan bahwa ibadah puasa memiliki peran penting dalam menghindarkan seseorang dari sikap merasa paling benar. Kesombongan dan sikap merasa paling benar seringkali disebabkan oleh keterbatasan ilmu dan wawasan seseorang.
“Dalam Islam, pluralitas pemahaman ajaran agama itu jelas diperbolehkan dan diakui. Oleh karena itu, orang yang benar-benar memahami ajaran Islam akan menghargai keragaman dan tidak merasa bahwa pendapatnya adalah satu-satunya yang benar,” imbuhnya.
Selain menyampaikan pentingnya mawas diri dan menghormati perbedaan, Direktur Zakat dan Wakaf Social Trust Fund (STF) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini mengatakan bahwa dalam rangka mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil’alamin dan mereduksi Islamofobia, ada beberapa langkah konkret yang dapat dilakukan oleh umat Islam dan masyarakat global.
“Pertama, umat Islam perlu memahami esensi ajaran agama mereka dan mengimplementasikan nilai-nilai rahmat dan perdamaian dalam kehidupan sehari-hari,” ujarnya.
“Kedua, umat Islam harus memperluas persaudaraan mereka tidak hanya kepada sesama muslim, tetapi juga kepada seluruh umat manusia. Hal ini akan membantu dalam upaya membangun toleransi dan kerukunan antarumat beragama,” sambungnya.
Selain itu, masyarakat global harus terlibat dalam memerangi Islamofobia dengan memahami bahwa kebencian terhadap Islam sering kali dimanfaatkan untuk kepentingan politik dan ekonomi. Pengawasan media yang lebih adil dan edukasi yang lebih baik tentang Islam juga diperlukan untuk mengatasi Islamofobia.
Lebih dari itu, semua pihak perlu memahami bahwa keberagaman pemahaman dan pendekatan terhadap agama adalah sesuatu yang menjadi sunnatullah dan harus dihargai oleh semua.
“Dengan langkah-langkah konkret ini, diharapkan Islam dan umatnya dapat benar-benar menjadi rahmatan lil’alamin, dan Islamofobia dapat diatasi sehingga mampu menciptakan dunia yang lebih toleran dan damai bagi semua kalangan,” pungkasnya.
Ketua Umum Asosiasi Dai-Daiyah Indonesia (ADDAI), Moch. Syarif Hidayatullah menjelaskan bahwa dalam bulan Ramadan umat Islam dilatih untuk bersabar, merukunkan, dan mengasihi sesama manusia.
“Ini adalah momen di mana kesabaran, perdamaian, dan kasih sayang menjadi fokus latihan. Jadi, jika seseorang berpuasa tetapi tidak mempraktikkan sifat-sifat tersebut, maka dia sebenarnya gagal memahami esensi sejati dari puasa,” jelasnya di Jakarta, Rabu (20/3/2024).
Dalam konteks ini, Syarif mengutip sebuah hadis yang menekankan bahwa orang yang berpuasa seharusnya menghindari provokasi dan konflik. Bahkan, mereka diperintahkan untuk menjawab provokasi dengan menyatakan bahwa mereka sedang berpuasa.
“Maka dari itu, jika ada seseorang yang berpuasa lalu ia justru menebar konflik dan hal-hal yang negatif, maka dipastikan ia telah gagal dalam memahami esensi puasa itu sendiri. Kalau orang yang memahami esensi puasa pasti dia akan jadi pribadi yang ramah dan menebar rahmat kepada seluruh manusia,” terangnya.
Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan, Alumni dan Kerjasama Fakultas Dirasat Islamiyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini juga memberikan penekanan tentang signifikasi ibadah puasa dalam mereduksi fenomena Islamofobia yang masih saja ada.
Menurutnya, Islamofobia adalah fenomena yang timbul akibat tindakan kekerasan yang mengatasnamakan Islam dan isu itu membutuhkan perhatian semua pihak. Karena itu, Islamofobia harus dilihat tidak hanya dari satu perspektif saja.
“Kebencian terhadap Islam tidak hanya berasal dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh sebagian kecil umat Islam, tetapi juga dari propaganda media yang merusak. Oleh karena itu, penanganan Islamofobia memerlukan pendekatan yang komprehensif, termasuk pengawasan media yang lebih fair dan edukasi yang lebih baik terhadap umat Islam tentang prinsip-prinsip agama mereka,” ungkap Syarif.
Dia juga menekankan pentingnya umat Islam untuk tidak memonopoli kebenaran dan memahami bahwa ajaran Islam tidak mendukung tindakan kekerasan. Bahkan, konsep jihad sendiri sering disalahpahami hingga digunakan untuk kepentingan politik atau ekonomi.
Oleh karena itu, umat Islam perlu mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang ajaran agama mereka dari sumber-sumber yang kredibel. Hal ini termasuk dari ulama-ulama yang berpengalaman dan mampu membawa kedamaian dalam masyarakat Indonesia yang sangat beragam.
Pembina Yayasan Raudhatul Mustariyah ini juga menyatakan bahwa ibadah puasa memiliki peran penting dalam menghindarkan seseorang dari sikap merasa paling benar. Kesombongan dan sikap merasa paling benar seringkali disebabkan oleh keterbatasan ilmu dan wawasan seseorang.
“Dalam Islam, pluralitas pemahaman ajaran agama itu jelas diperbolehkan dan diakui. Oleh karena itu, orang yang benar-benar memahami ajaran Islam akan menghargai keragaman dan tidak merasa bahwa pendapatnya adalah satu-satunya yang benar,” imbuhnya.
Selain menyampaikan pentingnya mawas diri dan menghormati perbedaan, Direktur Zakat dan Wakaf Social Trust Fund (STF) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini mengatakan bahwa dalam rangka mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil’alamin dan mereduksi Islamofobia, ada beberapa langkah konkret yang dapat dilakukan oleh umat Islam dan masyarakat global.
“Pertama, umat Islam perlu memahami esensi ajaran agama mereka dan mengimplementasikan nilai-nilai rahmat dan perdamaian dalam kehidupan sehari-hari,” ujarnya.
“Kedua, umat Islam harus memperluas persaudaraan mereka tidak hanya kepada sesama muslim, tetapi juga kepada seluruh umat manusia. Hal ini akan membantu dalam upaya membangun toleransi dan kerukunan antarumat beragama,” sambungnya.
Selain itu, masyarakat global harus terlibat dalam memerangi Islamofobia dengan memahami bahwa kebencian terhadap Islam sering kali dimanfaatkan untuk kepentingan politik dan ekonomi. Pengawasan media yang lebih adil dan edukasi yang lebih baik tentang Islam juga diperlukan untuk mengatasi Islamofobia.
Lebih dari itu, semua pihak perlu memahami bahwa keberagaman pemahaman dan pendekatan terhadap agama adalah sesuatu yang menjadi sunnatullah dan harus dihargai oleh semua.
“Dengan langkah-langkah konkret ini, diharapkan Islam dan umatnya dapat benar-benar menjadi rahmatan lil’alamin, dan Islamofobia dapat diatasi sehingga mampu menciptakan dunia yang lebih toleran dan damai bagi semua kalangan,” pungkasnya.
(shf)