Al-Quran Mengharamkan Babi, Quraish: Bukan Berarti Selainnya Semua Halal
loading...
A
A
A
Prof Quraish Shihab mengatakan makanan yang diuraikan oleh Al-Quran dapat dibagi dalam tiga kategori pokok, yaitu nabati, hewani, dan olahan.
Khusus hewani, yakni hewan yang hidup di darat, maka Al-Quran menghalalkan secara eksplisit al-an'am (unta, sapi, dan kambing), dan mengharamkan secara tegas babi.
"Namun ini bukan berarti bahwa selainnya semua halal atau haram," tulis Quraish Shihab dalam bukunya berjudul "Wawasan al-Quran, Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat (Penerbit Mizan, 196).
Seperti yang diisyaratkan di atas, tentang pengecualian dari makanan yang dihalalkan, dalam soal ini ditemukan perbedaan pendapat ulama tentang hewan-hewan darat yang dikecualikan itu.
Imam Malik misalnya, sangat membatasi pengecualian tersebut, karena berpegang kepada surat Al-An'am (6): 145,
"Tidaklah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang-orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi karena sesungguhnya semua itu rijs (kotor), atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah..."
Ayat ini dipahami oleh Imam Malik sebagai membatasi yang haram dalam batas-batas yang disebut itu, apalagi masih ada ayat-ayat lain yang turun sesudah ayat ini yang juga memberi pembatasan serupa seperti surat Al-Baqarah (2): 173.
Imam Syafi'i --misalnya-- berpegang kepada sekian banyak hadis Nabi yang dinilainya tidak bertentangan dengan kandungan ayat tersebut. Karena walaupun redaksi ayat tersebut dalam bentuk hashr (pembatasan atau pengecualian), namun itu tidak dimaksud sebagai pengecualian hakiki.
Di sisi lain, penjelasan tentang haramnya babi seperti dikutip di atas adalah karena ia rijs (kotor).
Walaupun ilmuwan belum sepenuhnya mengetahui sisi-sisi rijs (kekotoran) baik lahiriah maupun batiniah yang diakibatkan oleh babi, namun dapat diambil kesimpulan bahwa segala macam binatang yang memiliki sifat rijs tentu saja diharamkan Allah. Di sinilah antara lain fungsi Rasul SAW sebagai penjelas kitab suci Al-Quran. Surat Al-A'raf (7): 157 melukiskan Nabi Muhammad SAW antara 1ain sebagai:
Menghalalkan untuk mereka (umatnya) yang baik-baik, dan mengharamkan yang khabits (buruk).
Nah, atas dasar inilah dipertemukan hadis-hadis Nabi yang mengharamkan makanan-makanan tertentu dengan ayat-ayat yang menggunakan redaksi pembatasan di atas. Misalnya hadis yang mengharamkan semua binatang yang bertaring (buas), burung yang memiliki cakar (buas), binatang yang hidup di darat dan di air, dan sebagainya.
Di samping itu, Al-Quran seperti terbaca pada ayat yang lalu, mengharamkan:
Memakan sembelihan yang disembelih selain atas nama Allah, atau dalam bahasa ayat lain:
"Janganlah kamu memakan apa-apa yang tidak disebut nama Allah atasnya, karena yang demikian itu adalah kefasikan" (QS Al-An'am [6]: 121).
Khusus hewani, yakni hewan yang hidup di darat, maka Al-Quran menghalalkan secara eksplisit al-an'am (unta, sapi, dan kambing), dan mengharamkan secara tegas babi.
"Namun ini bukan berarti bahwa selainnya semua halal atau haram," tulis Quraish Shihab dalam bukunya berjudul "Wawasan al-Quran, Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat (Penerbit Mizan, 196).
Seperti yang diisyaratkan di atas, tentang pengecualian dari makanan yang dihalalkan, dalam soal ini ditemukan perbedaan pendapat ulama tentang hewan-hewan darat yang dikecualikan itu.
Imam Malik misalnya, sangat membatasi pengecualian tersebut, karena berpegang kepada surat Al-An'am (6): 145,
"Tidaklah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang-orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi karena sesungguhnya semua itu rijs (kotor), atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah..."
Ayat ini dipahami oleh Imam Malik sebagai membatasi yang haram dalam batas-batas yang disebut itu, apalagi masih ada ayat-ayat lain yang turun sesudah ayat ini yang juga memberi pembatasan serupa seperti surat Al-Baqarah (2): 173.
Imam Syafi'i --misalnya-- berpegang kepada sekian banyak hadis Nabi yang dinilainya tidak bertentangan dengan kandungan ayat tersebut. Karena walaupun redaksi ayat tersebut dalam bentuk hashr (pembatasan atau pengecualian), namun itu tidak dimaksud sebagai pengecualian hakiki.
Di sisi lain, penjelasan tentang haramnya babi seperti dikutip di atas adalah karena ia rijs (kotor).
Walaupun ilmuwan belum sepenuhnya mengetahui sisi-sisi rijs (kekotoran) baik lahiriah maupun batiniah yang diakibatkan oleh babi, namun dapat diambil kesimpulan bahwa segala macam binatang yang memiliki sifat rijs tentu saja diharamkan Allah. Di sinilah antara lain fungsi Rasul SAW sebagai penjelas kitab suci Al-Quran. Surat Al-A'raf (7): 157 melukiskan Nabi Muhammad SAW antara 1ain sebagai:
Menghalalkan untuk mereka (umatnya) yang baik-baik, dan mengharamkan yang khabits (buruk).
Nah, atas dasar inilah dipertemukan hadis-hadis Nabi yang mengharamkan makanan-makanan tertentu dengan ayat-ayat yang menggunakan redaksi pembatasan di atas. Misalnya hadis yang mengharamkan semua binatang yang bertaring (buas), burung yang memiliki cakar (buas), binatang yang hidup di darat dan di air, dan sebagainya.
Di samping itu, Al-Quran seperti terbaca pada ayat yang lalu, mengharamkan:
Memakan sembelihan yang disembelih selain atas nama Allah, atau dalam bahasa ayat lain:
"Janganlah kamu memakan apa-apa yang tidak disebut nama Allah atasnya, karena yang demikian itu adalah kefasikan" (QS Al-An'am [6]: 121).
(mhy)