Shalahuddin Al Ayyubi Sang Penakluk: Kisah Perebutan Wilayah Syam
loading...
A
A
A
Kisah perebutan wilayah Syam antara Shalahuddin Al Ayyubi dan Saifuddin Ghazi Ibn Quthbuddin Mawdud diceritakan Ibnu al-Atsir dalam bukunya berjudul "Al-Mukhtar Min al-Kamil fi al-Tarikh; Qishshah Shalahuddin al-Ayyubi" yang diterjemahkan Abu Haytsam menjadi "Shalahuddin Al-Ayyubi Sang Pembebas Tanah Para Nabi"
Dikisahkan, tatkala Shalahuddin menguasai Damaskus, Hamash, dan Humat, Raja Shalih Isma'il Ibn Nuruddin menulis surat kepada sepupunya, Saifuddin Ghazi Ibn Quthbuddin Mawdud, untuk mengangkat senjata melawan Shalahuddin. Raja memintanya untuk bergabung melawan Shalahuddin, dan mengambil alih negeri tersebut dari tangan Shalahuddin.
Saifuddin lalu mengumpulkan bala tentaranya, dan menulis surat kepada kakaknya, `Imaduddin Zanki -penguasa Sinjar-, memerintahkannya untuk segera bergabung dengan pasukannya menuju Syam.
Akan tetapi `Imaduddin menolak, sebab Shalahuddin telah membuat perjanjian dengannya, dan menawarinya kekuasaan. Ketamakakannya akan kekuasaanlah yang membuatnya menolak ajakan adiknya.
Ketika Saifuddin mendengar penolakan ini, ia segera menyiapkan adiknya, `Izzuddin Mas`ud, dalam sebuah pasukan besar yang dipimpinnya. Ia mengerahkan pasukannya menuju Syam yang panglimanya adalah seorang emir tertua bernama `Izzuddin Mahmud, yang juga dijuluki Zalfandar. Saifuddin mengangkatnya sebagai pengambil keputusan.
Lalu Saifuddin berangkat menuju Sinjar dan mengepungnya pada bulan Ramadan 570 H. Ia menyerang Sinjar dengan sekuat tenaga. Akan tetapi Imaduddin masih menolak permintaannya dan gigih mempertahankan kotanya hingga pengepungan atasnya berlanjut.
Di tengah-tengah pengepungan ini, tiba-tiba Saifuddin menerima berita kekalahan pasukan yang dipimpin adiknya, Izzuddin Mas'ud, dari Shalahuddin. Seketika itu juga ia mengirim surat kepada saudaranya, Imaduddin, dan mengajaknya berdamai. Lalu Saifuddin mundur ke Moshul.
Setelah kekalahan Saifuddin ini, semakin kokohlah kedudukan Shalahuddin hingga ia ditakuti dan disegani. Banyak utusan, baik dari Shalahuddin maupun Saifuddin, yang dikirim untuk perundingan damai, akan tetapi tidak juga bisa tercapai.
Kekalahan Saifuddin
Pada tahun 570 H, pasukan Saifuddin beserta saudaranya, Izzuddin Zalfandar, bergerak menuju kota Halab. Pasukan ini bergabung dengan pasukan-pasukan Halab untuk kemudian beramai-ramai bergerak menuju Shalahuddin dan memeranginya.
Shalahuddin mengirimkan utusan menemui Saifuddin agar bersungguh-sungguh dalam menyerahkan kota Hamash dan Humat, dan menetapkan kekuasaan Shalahuddin di kota Damaskus, di mana dalam hal ini ia adalah wakil Raja Shalih.
Akan tetapi Saifuddin tidak mengindahkan permintaan ini, dan malah berkata: “Harus dilakukan penyerahan seluruh negeri Syam yang telah diambil oleh Shalahuddin. Dan ia harus kembali ke Mesir”.
Saat itu Shalahuddin tengah mengumpulkan pasukannya dan bersiap-siap untuk perang. Ketika Saifuddin menolak permintaannya, Shalahuddin mengerahkan pasukannya menuju `Izzuddin Mas`ud dan Zalfandar.
Kedua pasukan ini bertemu pada 19 Ramadhan 570 H di dekat kota Humat, di satu tempat yang disebut Qurun Humat.
Zalfandar adalah orang yang bodoh dalam hal perang dan pertempuran. Ia tidak mempunyai pengetahuan sedikit pun tentang taktik peperangan, dan dungu. Hanya saja ia disenangi dan diterima oleh Saifuddin.
Ketika kedua pasukan bertemu, pasukan Saifuddin tidak terlalu tangguh dan bisa dihancurkan. Dalam situasi ini seseorang tidak bisa mengabaikan saudaranya.
Setelah kekalahan pasukannya, `Izzuddin - saudara tua Saifuddin- tetap teguh bertahan. Ketika melihat keteguhannya,
Shalahuddin pun berkata: “Saya tidak tahu, apakah dia adalah orang paling pemberani, ataukah tidak tahu apa-apa tentang strategi perang”.
Lalu Shalahuddin memerintahkan prajuritnya untuk menangkapnya. Mereka membawanya dan menurunkannya dari kedudukannya. Sempurnalah sudah kekalahan ini.
Shalahuddin dan pasukannya lalu mengikuti tentara Saifuddin yang kalah hingga mencapai kamp perkemahan mereka. Kemudian Shalahuddin mengambil harta pampasan perang dari mereka berupa harta benda, peralatan, senjata berat, dan kendaraan perang.
Lalu pasukan Shalahuddin kembali pulang setelah perjuangan panjang untuk beristirahat. Sementara pasukan yang dikalahkan kembali ke Halab sambil diikuti oleh Shalahuddin sampai mereka tiba di Halab.
Shalahuddin lalu memblokade kota ini, dan menyatakan perang. Ketika itu pidato Raja Shalih Ibn Nuruddin dipatahkan, dan namanya dihapus dari mata uang di negerinya.
Shalahuddin tetap mengepung kota ini sehingga pada saat penduduknya merasa bahwa pengepungan ini berlangsung lama, mereka mengirim surat kepada Shalahuddin untuk mengajak berdamai.
Isi surat itu menyatakan bahwa Shalahuddin tetap menguasai beberapa negara di Syam yang telah berada di tangannya, dan mereka tetap memiliki daerah dari negeri Syam yang masih ada di tangan mereka.
Shalahuddin menerima syarat ini, hingga tercapailah perdamaian. Lalu ia meninggalkan Halab pada sepuluh hari pertama bulan Syawal 570 H, dan tiba di Humat. Ketika itu sampailah kepadanya berita pencopotan jabatan khalifah beserta utusannya.
Dikisahkan, tatkala Shalahuddin menguasai Damaskus, Hamash, dan Humat, Raja Shalih Isma'il Ibn Nuruddin menulis surat kepada sepupunya, Saifuddin Ghazi Ibn Quthbuddin Mawdud, untuk mengangkat senjata melawan Shalahuddin. Raja memintanya untuk bergabung melawan Shalahuddin, dan mengambil alih negeri tersebut dari tangan Shalahuddin.
Saifuddin lalu mengumpulkan bala tentaranya, dan menulis surat kepada kakaknya, `Imaduddin Zanki -penguasa Sinjar-, memerintahkannya untuk segera bergabung dengan pasukannya menuju Syam.
Akan tetapi `Imaduddin menolak, sebab Shalahuddin telah membuat perjanjian dengannya, dan menawarinya kekuasaan. Ketamakakannya akan kekuasaanlah yang membuatnya menolak ajakan adiknya.
Ketika Saifuddin mendengar penolakan ini, ia segera menyiapkan adiknya, `Izzuddin Mas`ud, dalam sebuah pasukan besar yang dipimpinnya. Ia mengerahkan pasukannya menuju Syam yang panglimanya adalah seorang emir tertua bernama `Izzuddin Mahmud, yang juga dijuluki Zalfandar. Saifuddin mengangkatnya sebagai pengambil keputusan.
Lalu Saifuddin berangkat menuju Sinjar dan mengepungnya pada bulan Ramadan 570 H. Ia menyerang Sinjar dengan sekuat tenaga. Akan tetapi Imaduddin masih menolak permintaannya dan gigih mempertahankan kotanya hingga pengepungan atasnya berlanjut.
Di tengah-tengah pengepungan ini, tiba-tiba Saifuddin menerima berita kekalahan pasukan yang dipimpin adiknya, Izzuddin Mas'ud, dari Shalahuddin. Seketika itu juga ia mengirim surat kepada saudaranya, Imaduddin, dan mengajaknya berdamai. Lalu Saifuddin mundur ke Moshul.
Setelah kekalahan Saifuddin ini, semakin kokohlah kedudukan Shalahuddin hingga ia ditakuti dan disegani. Banyak utusan, baik dari Shalahuddin maupun Saifuddin, yang dikirim untuk perundingan damai, akan tetapi tidak juga bisa tercapai.
Kekalahan Saifuddin
Pada tahun 570 H, pasukan Saifuddin beserta saudaranya, Izzuddin Zalfandar, bergerak menuju kota Halab. Pasukan ini bergabung dengan pasukan-pasukan Halab untuk kemudian beramai-ramai bergerak menuju Shalahuddin dan memeranginya.
Shalahuddin mengirimkan utusan menemui Saifuddin agar bersungguh-sungguh dalam menyerahkan kota Hamash dan Humat, dan menetapkan kekuasaan Shalahuddin di kota Damaskus, di mana dalam hal ini ia adalah wakil Raja Shalih.
Akan tetapi Saifuddin tidak mengindahkan permintaan ini, dan malah berkata: “Harus dilakukan penyerahan seluruh negeri Syam yang telah diambil oleh Shalahuddin. Dan ia harus kembali ke Mesir”.
Saat itu Shalahuddin tengah mengumpulkan pasukannya dan bersiap-siap untuk perang. Ketika Saifuddin menolak permintaannya, Shalahuddin mengerahkan pasukannya menuju `Izzuddin Mas`ud dan Zalfandar.
Kedua pasukan ini bertemu pada 19 Ramadhan 570 H di dekat kota Humat, di satu tempat yang disebut Qurun Humat.
Zalfandar adalah orang yang bodoh dalam hal perang dan pertempuran. Ia tidak mempunyai pengetahuan sedikit pun tentang taktik peperangan, dan dungu. Hanya saja ia disenangi dan diterima oleh Saifuddin.
Ketika kedua pasukan bertemu, pasukan Saifuddin tidak terlalu tangguh dan bisa dihancurkan. Dalam situasi ini seseorang tidak bisa mengabaikan saudaranya.
Setelah kekalahan pasukannya, `Izzuddin - saudara tua Saifuddin- tetap teguh bertahan. Ketika melihat keteguhannya,
Shalahuddin pun berkata: “Saya tidak tahu, apakah dia adalah orang paling pemberani, ataukah tidak tahu apa-apa tentang strategi perang”.
Lalu Shalahuddin memerintahkan prajuritnya untuk menangkapnya. Mereka membawanya dan menurunkannya dari kedudukannya. Sempurnalah sudah kekalahan ini.
Shalahuddin dan pasukannya lalu mengikuti tentara Saifuddin yang kalah hingga mencapai kamp perkemahan mereka. Kemudian Shalahuddin mengambil harta pampasan perang dari mereka berupa harta benda, peralatan, senjata berat, dan kendaraan perang.
Lalu pasukan Shalahuddin kembali pulang setelah perjuangan panjang untuk beristirahat. Sementara pasukan yang dikalahkan kembali ke Halab sambil diikuti oleh Shalahuddin sampai mereka tiba di Halab.
Shalahuddin lalu memblokade kota ini, dan menyatakan perang. Ketika itu pidato Raja Shalih Ibn Nuruddin dipatahkan, dan namanya dihapus dari mata uang di negerinya.
Shalahuddin tetap mengepung kota ini sehingga pada saat penduduknya merasa bahwa pengepungan ini berlangsung lama, mereka mengirim surat kepada Shalahuddin untuk mengajak berdamai.
Isi surat itu menyatakan bahwa Shalahuddin tetap menguasai beberapa negara di Syam yang telah berada di tangannya, dan mereka tetap memiliki daerah dari negeri Syam yang masih ada di tangan mereka.
Shalahuddin menerima syarat ini, hingga tercapailah perdamaian. Lalu ia meninggalkan Halab pada sepuluh hari pertama bulan Syawal 570 H, dan tiba di Humat. Ketika itu sampailah kepadanya berita pencopotan jabatan khalifah beserta utusannya.
(mhy)