Perang Salib III: Kisah Para Raja Melawan Shalahuddin Al Ayyubi

Jum'at, 02 Agustus 2024 - 13:01 WIB
loading...
Perang Salib III: Kisah...
Perang Salib III terjadi pada 1189-1192. Perang ini terkenal dengan sebutan Perang Salib Para Raja karena diikuti oleh raja-raja Eropa. Ilustrasi: Ist
A A A
Perang Salib III terjadi pada 1189-1192. Perang ini terkenal dengan sebutan “Perang Salib Para Raja” karena diikuti oleh raja-raja Eropa seperti Raja Richard I dari Inggris , Raja Phillip II dari Prancis , dan Raja Frederick I dari Kekaisaran Suci Roma .

Di sisi lain, dari pihak Islam dipimpin oleh Shalahuddin al Ayyubi yang berhasil menyatukan Mesir dan Suriah di bawah bendera Dinasti Ayyubiah.

Jati Pamungkas, S.Hum, M.A. dalam bukunya berjudul "Perang Salib Timur dan Barat, Misi Merebut Yerusalem dan Mengalahkan Pasukan Islam di Eropa" mengungkap Dinasti Ayyubiah berdiri pada tahun 1171 memanfaatkan kelemahan politik Kekhalifahan Fatimiyah. Setelah Khalifah al-Adhid wafat, Shalahuddin al-Ayyubi ketika itu menjadi wazir atau menteri utama pada akhir Kekhalifahan Fatimiyah, memanfaatkan kekacauan politik dengan membubarkan Islam Syiah pada pemerintahan Kekhalifahan Fatimiyah dan menggantinya dengan Islam Suni .



Pemerintahan baru bentukan dari Shalahuddin tersebut mengakui Khalifah Abbasiyah sebagai pemimpin Islam. Dengan pengambilan langkah politik tersebut Kekhalifahan Fatimiyah secara resmi telah dibubarkan karena Kekhalifahan Fatimiyah selalu berseberangan dalam pandangan politik dengan Abbasiyah.

Perang Salib III berlangsung selama tiga tahun dengan hasil sama-sama kuat. Maksudnya sebagian tempat dikuasai oleh Islam dan yang lainnya dikuasai oleh pasukan Salib.

Latar belakang terjadinya Perang Salib III adalah jatuhnya Yerusalem pada tahun 1187 karena kalah melawan pasukan Shalahuddin.

Shalahuddin Al Ayyubi dalam mata dunia Barat terkenal dengan nama Saladin. Saladin berasal dari Etnis Kurdi. Karir militernya berkembang pesat ketika mengabdikan diri di dalam pemerintahan Kekhalifahan Fatimiyah yang dilanda krisis politik pada masa pemerintahan Khalifah al-Adhid.

Pada tahun 1169, Shalahuddin diangkat menjadi perdana menteri. Pasca wafatnya Khalifah al-Adhid, Pemerintahan Fatimiyah yang didominasi oleh militer mengambil alih kekuasaan dan menobatkan Shalahuddin yang sebelumnya menjadi perdana menteri sebagai sultan.

Syiah yang menjadi simbol religiositas Kekhalifahan Fathimiah diganti menjadi Suni. Berakhirlah kebesaran dan kejayaan Kekhalifahan Fatimiyah yang mendominasi perpolitikan di dunia Islam dari abad ke-10 hingga pertengahan abad ke-12.



Shalahuddin tidak hanya menjadi sultan di Mesir, namun juga di Syam. Pemerintahannya diberi nama Dinasti Ayyubiah yang diambil dari nama ayahnya.

Keadaan politik di Timur Tengah yang bergejolak karena Yerusalem dikuasai kembali oleh Kristen sejak 1099 membuat Shalahuddin termotivasi untuk merebut Yerusalem.

M.B. Goldstein dalam bukunya berjudul "The Newest Testament: A Secular Bible" (Bloomington: Archway Publishing, 2013) menyebut pengangkatan dirinya menjadi Sultan Dinasti Ayyubiah pada tahun 1174 dimanfaatkan betul oleh Shalahuddin untuk menaklukkan Yerusalem.

Jonathan Phillips dalam bukunya berjudul "The Crusades 1095-1204" (New York: Routledge 2014) menambahkan Shalahuddin mempersiapkan secara matang-matang dalam merebut Yerusalem . "Kerajaan Yerusalem pada tahun 1186 menobatkan Guy Lusignan sebagai Raja Kerajaan Yerusalem," jelas Phillips.

Pelantikan Guy menjadi raja sangat dipermasalahkan sehingga membuat stabilitas politik di Kerajaan Yerusalem menjadi tidak stabil dan rawan gerakan bawah tanah untuk menurunkan Guy dari takhtanya.

Pada tahun 1187, salah satu kesatria pasukan Salib, Reynald, menyerang rombongan orang-orang Islam ketika Kerajaan Yerusalem masih terikat perjanjian damai dengan Shalahuddin.



Penyerangan tersebut diperparah dengan fakta bahwa rombongan tersebut terdapat saudara perempuan Shalahuddin yang diperkosa pada waktu penyerangan.

Peristiwa tersebut dimanfaatkan dengan baik oleh Shalahuddin untuk berperang melawan Kerajaan Yerusalem. Tanpa adanya deklarasi dari paus dan bantuan pasukan Salib di Eropa, Shalahuddin akan dapat dengan mudah merebut kembali Yerusalem.

Sebelum Yerusalem direbut, terjadi pertempuran di Hattin. Pertempuran tersebut diikuti dan dipimpin langsung oleh Guy.

Dengan keluarnya pasukan Salib dari Yerusalem, menjadikan pasukan Salib tanpa ada perlindungan dan otomatis menjadi pertempuran hidup mati antara pasukan Salib dengan pasukan Dinasti Ayyubiah yang dipimpin oleh Shalahuddin.

Pertempuran Hattin hanya berlangsung selama dua hari, yaitu tanggal 3 sampai 4 Juli 1187. Tidak hanya kekalahan yang didapatkan pasukan Salib di Hattin, namun juga hampir semua pasukan Salib menjadi korban dalam pertempuran tersebut.

Kekalahan tersebut mengakibatkan Yerusalem tidak mendapat perlindungan yang maksimal karena pasukan terlatih Kerajaan Yerusalem telah disibukkan oleh pertempuran.



Tidak hanya Kerajaan Yerusalem, pemerintahan Kristen di Tripoli dan Antiokhia juga mengirimkan pasukan terbaiknya dalam Pertempuran Hattin.

Jim Bradbury dalam bukunya berjudul "The Routledge Companion to Medieval Warfare"(New York: Routledge, 2004) menyebut Guy sebagai Raja Yerusalem menjadi tawanan perang dan Reynald akhirnya dibunuh.

Pada 20 September 1187, pasukan dari Shalahuddin sampai di Yerusalem. Tanpa adanya pasukan Salib yang memadai dan juga tidak adanya bantuan pasukan dari Eropa karena sifatnya mendadak, membuat Yerusalem rapuh.

Menurut Bradbury, tidak terduga, dengan dibantu pertahanan kota, Yerusalem dapat bertahan selama 12 hari dari kepungan pasukan Shalahuddin. Pada tanggal 2 Oktober 1187, pasukan Salib menyerah dan Balian dari Ibelin menyerah pada Shalahuddin.

Peristiwa Yerusalem ini yang menjadi latar belakang terjadinya Perang Salib III.

(mhy)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2644 seconds (0.1#10.140)