Perang Salib: Byzantium Bersekutu dengan Shalahuddin Al Ayyubi
loading...
A
A
A
Perang Salib di Timur Tengah memakan waktu 269 tahun, dimulai dari tahun 1096 hingga 1365. Itu jika Perang Salib X dihitung. Jika tidak, maka selama 176 tahun, yaitu dari tahun 1096 hingga 1272.
Jati Pamungkas, S.Hum, M.A. dalam bukunya berjudul "Perang Salib Timur dan Barat, Misi Merebut Yerusalem dan Mengalahkan Pasukan Islam di Eropa" menyebut dalam Perang Salib, pasukan Salib mendapatkan kemenangan besar satu kali, yaitu Perang Salib I. Kemenangan lainnya diperoleh secara keseluruhan yaitu pada Perang Salib III, VI, dan IX.
Pada Perang Salib I tidak hanya berhasil merebut Yerusalem , pasukan salib juga berhasil mendirikan Kerajaan Surga yang berpusat di Yerusalem, Anticoh, Tripoli, dan Edessa.
Pada Perang Salib III, kehadiran Raja Richard I membuat pasukan Salib mendominasi pertempuran dan Shalahuddin Al Ayyubi terpaksa melakukan perdamaian dengan pasukan Salib.
Pada Perang Salib III, Kerajaan Byzantium yang sebelumnya bersekutu dengan pasukan Salib, bergabung dengan kekuatan Dinasti Ayyubiah. Oleh karena itu kemenangan pasukan Salib ternoda karena terdapat Kristen yang lain tidak satu misi dengan pasukan Salib.
Pada Perang Salib VI, pasukan Salib memperoleh kemenangan melalui jalur perundingan. Frederick II Barbarossa meyakinkan Sultan al-Kamil untuk memberikan Yerusalem kepada pasukan Salib.
Pada Perang Salib IX, tanpa bantuan Dinasti Ilkhan, pasukan Salib mungkin akan kalah melawan Dinasti Mamlukiah. Jadi pasukan Salib memenangkan pertempuran secara mutlak hanya satu kali yaitu Perang Salib I. Pada enam kesempatan Perang Salib lainnya, pasukan Salib menderita kekalahan.
Menurut Jati Pamungkas, secara teknis, tidak ada perbedaan dalam peralatan perang. Pada waktu itu perbedaan teknologi hanya tipis sekali. Belum ada lompatan besar dalam pertempuran.
Pedang, tombak, perisai, baju perang, tidak ada perbedaan yang mencolok. Peralatan yang modern di zaman tersebut adalah meriam lontar.
Meriam lontar dibutuhkan untuk menghancurkan musuh dalam peperangan kota maupun terbuka dari jarak jauh. Kondisi geografis di Timur Tengah membuat pasukan dari Islam lebih diuntungkan karena telah terbiasa dengan iklim maupun pembacaan medan perang dan distribusi konsumsi selama bertempur.
Jati Pamungkas, S.Hum, M.A. dalam bukunya berjudul "Perang Salib Timur dan Barat, Misi Merebut Yerusalem dan Mengalahkan Pasukan Islam di Eropa" menyebut dalam Perang Salib, pasukan Salib mendapatkan kemenangan besar satu kali, yaitu Perang Salib I. Kemenangan lainnya diperoleh secara keseluruhan yaitu pada Perang Salib III, VI, dan IX.
Pada Perang Salib I tidak hanya berhasil merebut Yerusalem , pasukan salib juga berhasil mendirikan Kerajaan Surga yang berpusat di Yerusalem, Anticoh, Tripoli, dan Edessa.
Pada Perang Salib III, kehadiran Raja Richard I membuat pasukan Salib mendominasi pertempuran dan Shalahuddin Al Ayyubi terpaksa melakukan perdamaian dengan pasukan Salib.
Pada Perang Salib III, Kerajaan Byzantium yang sebelumnya bersekutu dengan pasukan Salib, bergabung dengan kekuatan Dinasti Ayyubiah. Oleh karena itu kemenangan pasukan Salib ternoda karena terdapat Kristen yang lain tidak satu misi dengan pasukan Salib.
Pada Perang Salib VI, pasukan Salib memperoleh kemenangan melalui jalur perundingan. Frederick II Barbarossa meyakinkan Sultan al-Kamil untuk memberikan Yerusalem kepada pasukan Salib.
Pada Perang Salib IX, tanpa bantuan Dinasti Ilkhan, pasukan Salib mungkin akan kalah melawan Dinasti Mamlukiah. Jadi pasukan Salib memenangkan pertempuran secara mutlak hanya satu kali yaitu Perang Salib I. Pada enam kesempatan Perang Salib lainnya, pasukan Salib menderita kekalahan.
Menurut Jati Pamungkas, secara teknis, tidak ada perbedaan dalam peralatan perang. Pada waktu itu perbedaan teknologi hanya tipis sekali. Belum ada lompatan besar dalam pertempuran.
Pedang, tombak, perisai, baju perang, tidak ada perbedaan yang mencolok. Peralatan yang modern di zaman tersebut adalah meriam lontar.
Meriam lontar dibutuhkan untuk menghancurkan musuh dalam peperangan kota maupun terbuka dari jarak jauh. Kondisi geografis di Timur Tengah membuat pasukan dari Islam lebih diuntungkan karena telah terbiasa dengan iklim maupun pembacaan medan perang dan distribusi konsumsi selama bertempur.
(mhy)