Siapa yang Berwenang Melakukan Naskh dalam Al-Qur'an? Begini Penjelasan Quraish Shihab
loading...
A
A
A
Siapa yang berwenang melakukan maskh? Prof Dr Quraish Shihab mengatakan pertanyaan ini tentunya hanya ditujukan kepada mereka yang mengakui adanya naskh dalam Al-Quran , baik dalam pengertian yang dikemukakan oleh para ulama muta'akhir maupun dalam pengertian yang lain.
Pengarang buku Manahil Al-'Irfan mengemukakan bahwa para ulama berselisih paham tentang boleh-tidaknya Nabi Muhammad SAW me-naskh ayat-ayat Al-Quran. Selanjutnya mereka yang membolehkannya secara teoretis berbeda paham pula tentang apakah dalam kenyataan faktual ada hadis Nabi yang me-naskh ayat atau tidak?
Menurutnya, Al-Syafi'i, Ahmad (dalam satu riwayat yang dinisbahkan kepadanya), dan Ahl Al-Zhahir, menolak --walaupun secara teoretis-- dapatnya Sunnah me-naskh Al-Quran. Sebaliknya Imam Malik , para pengikut mazhab Abu Hanifah, dan mayoritas para teolog baik dari Asy'ariah maupun Mu'tazilah, memandang bahwa tidak ada halangan logis bagi kemungkinan adanya naskh tersebut.
"Hanya saja mereka kemudian berbeda pendapat tentang ada tidaknya Sunnah Nabi yang me-naskh Al-Quran," tulis Quraish Shihab dalam bukunya berjudul " Membumikan al-Quran , Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat" (Mizan, 1996).
Walaupun terjadi perbedaan pendapat, kata Quraish, secara umum dapat dikatakan bahwa mereka semua bersepakat menyatakan bahwa yang dapat me-naskh Al-Quran hanyalah wahyu-wahyu Ilahi yang bersifat mutawatir (diyakini kebenaran nisbahnya kepada Nabi SAW). Walaupun demikian, mereka berselisih tentang cakupan kata "wahyu Ilahi" tersebut, apakah Sunnah termasuk wahyu atau bukan.
Syarat bahwa wahyu tersebut harus bersifat mutawatir, disebabkan karena sebagaimana dikatakan oleh Al-Syathibi: "Hukum-hukum apabila telah terbukti secara pasti ketetapannya terhadap mukallaf, maka tidak mungkin me-naskh-nya kecuali atas pembuktian yang pasti pula." Sebab adalah sangat riskan untuk membatalkan sesuatu yang pasti berdasarkan hal yang belum pasti.
Quraish mengatakan atas dasar hal tersebut, kita dapat berkata bahwa persoalan kini telah beralih dari pembahasan teoretis kepada pembahasan praktis. Pertanyaan yang muncul di sini adalah "apakah ada Sunnah Nabi yang mutawatir yang telah membatalkan ayat-ayat Al-Quran?"
Dalam hal ini pengarang Manahil Al-Irfan mengemukakan empat hadis yang kesemuanya bersifat ahad (tidak mutawatir), namun dinilai oleh sebagian ulama telah me-naskh ayat-ayat Al-Quran. Apakah ini berarti bahwa tidak ada hadis mutawatir yang me-naskh Al-Quran? Agaknya memang demikian. Di sisi lain, keempat hadis tersebut, setelah diteliti keseluruhan teksnya, menunjukkan bahwa yang me-naskh ayat --kalau hal tersebut dinamai naskh-- bukannya hadis tadi, melainkan ayat yang ditunjuk oleh hadis tersebut.
Hadis "La washiyyata li warits" (tidak dibenarkan adanya wasiat untuk penerima warisan), yang oleh sementara ulama dinyatakan sebagai me-naskh ayat "kewajiban berwasiat" ( QS 2 :180), ternyata setelah diteliti keseluruhan teksnya berbunyi: Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap yang berhak haknya, dengan demikian tidak ada (tidak dibenarkan) wasiat kepada penerima warisan.
Kata-kata "sesungguhnya Allah telah memberikan" dan seterusnya menunjuk kepada ayat waris. Dan atas dasar itu, hadis tersebut menyatakan bahwa yang me-naskh adalah ayat-ayat waris tersebut, bukan hadis Nabi saw. yang bersifat ahad tersebut.
Adapun jika yang dimaksud dengan naskh adalah "pergantian", maka agaknya di sini terdapat keterlibatan para ahli untuk menentukan pilihannya dari sekian banyak alternatif ayat hukum yang telah ditetapkan oleh Allah dalam Al-Quran menyangkut kasus yang dihadapi. Satu pilihan yang didasarkan atas kondisi sosial atau kenyataan objektif dari masing-masing orang.
Ada tiga ayat hukum yang berbeda menyangkut khamr (minuman keras). Ketiganya tidak batal, melainkan berubah sesuai dengan perubahan kondisi. Para ahli dapat memilih salah satu di antaranya, sesuai dengan kondisi yang dihadapinya.
Hal ini agaknya dapat dikuatkan dengan memperhatikan bentuk plural pada ayat Al-Nahl tersebut, "apabila Kami mengganti suatu ayat ...", kata "kami" di sini menurut Quraish Shihab, sebagaimana halnya secara umum kata "Kami" yang menjadi pengganti nama Tuhan dalam ayat-ayat lain, menunjukkan adanya keterlibatan selain Tuhan (manusia) dalam perbuatan yang digambarkan oleh kata kerja pada masing-masing ayat. Ini berarti ada keterlibatan manusia (yakni para ahli) untuk menetapkan alternatifnya dari sekian banyak alternatif yang ditawarkan oleh ayat-ayat Al-Quran yang mansukh atau diganti itu.
Pengarang buku Manahil Al-'Irfan mengemukakan bahwa para ulama berselisih paham tentang boleh-tidaknya Nabi Muhammad SAW me-naskh ayat-ayat Al-Quran. Selanjutnya mereka yang membolehkannya secara teoretis berbeda paham pula tentang apakah dalam kenyataan faktual ada hadis Nabi yang me-naskh ayat atau tidak?
Menurutnya, Al-Syafi'i, Ahmad (dalam satu riwayat yang dinisbahkan kepadanya), dan Ahl Al-Zhahir, menolak --walaupun secara teoretis-- dapatnya Sunnah me-naskh Al-Quran. Sebaliknya Imam Malik , para pengikut mazhab Abu Hanifah, dan mayoritas para teolog baik dari Asy'ariah maupun Mu'tazilah, memandang bahwa tidak ada halangan logis bagi kemungkinan adanya naskh tersebut.
"Hanya saja mereka kemudian berbeda pendapat tentang ada tidaknya Sunnah Nabi yang me-naskh Al-Quran," tulis Quraish Shihab dalam bukunya berjudul " Membumikan al-Quran , Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat" (Mizan, 1996).
Walaupun terjadi perbedaan pendapat, kata Quraish, secara umum dapat dikatakan bahwa mereka semua bersepakat menyatakan bahwa yang dapat me-naskh Al-Quran hanyalah wahyu-wahyu Ilahi yang bersifat mutawatir (diyakini kebenaran nisbahnya kepada Nabi SAW). Walaupun demikian, mereka berselisih tentang cakupan kata "wahyu Ilahi" tersebut, apakah Sunnah termasuk wahyu atau bukan.
Syarat bahwa wahyu tersebut harus bersifat mutawatir, disebabkan karena sebagaimana dikatakan oleh Al-Syathibi: "Hukum-hukum apabila telah terbukti secara pasti ketetapannya terhadap mukallaf, maka tidak mungkin me-naskh-nya kecuali atas pembuktian yang pasti pula." Sebab adalah sangat riskan untuk membatalkan sesuatu yang pasti berdasarkan hal yang belum pasti.
Quraish mengatakan atas dasar hal tersebut, kita dapat berkata bahwa persoalan kini telah beralih dari pembahasan teoretis kepada pembahasan praktis. Pertanyaan yang muncul di sini adalah "apakah ada Sunnah Nabi yang mutawatir yang telah membatalkan ayat-ayat Al-Quran?"
Dalam hal ini pengarang Manahil Al-Irfan mengemukakan empat hadis yang kesemuanya bersifat ahad (tidak mutawatir), namun dinilai oleh sebagian ulama telah me-naskh ayat-ayat Al-Quran. Apakah ini berarti bahwa tidak ada hadis mutawatir yang me-naskh Al-Quran? Agaknya memang demikian. Di sisi lain, keempat hadis tersebut, setelah diteliti keseluruhan teksnya, menunjukkan bahwa yang me-naskh ayat --kalau hal tersebut dinamai naskh-- bukannya hadis tadi, melainkan ayat yang ditunjuk oleh hadis tersebut.
Hadis "La washiyyata li warits" (tidak dibenarkan adanya wasiat untuk penerima warisan), yang oleh sementara ulama dinyatakan sebagai me-naskh ayat "kewajiban berwasiat" ( QS 2 :180), ternyata setelah diteliti keseluruhan teksnya berbunyi: Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap yang berhak haknya, dengan demikian tidak ada (tidak dibenarkan) wasiat kepada penerima warisan.
Kata-kata "sesungguhnya Allah telah memberikan" dan seterusnya menunjuk kepada ayat waris. Dan atas dasar itu, hadis tersebut menyatakan bahwa yang me-naskh adalah ayat-ayat waris tersebut, bukan hadis Nabi saw. yang bersifat ahad tersebut.
Adapun jika yang dimaksud dengan naskh adalah "pergantian", maka agaknya di sini terdapat keterlibatan para ahli untuk menentukan pilihannya dari sekian banyak alternatif ayat hukum yang telah ditetapkan oleh Allah dalam Al-Quran menyangkut kasus yang dihadapi. Satu pilihan yang didasarkan atas kondisi sosial atau kenyataan objektif dari masing-masing orang.
Ada tiga ayat hukum yang berbeda menyangkut khamr (minuman keras). Ketiganya tidak batal, melainkan berubah sesuai dengan perubahan kondisi. Para ahli dapat memilih salah satu di antaranya, sesuai dengan kondisi yang dihadapinya.
Hal ini agaknya dapat dikuatkan dengan memperhatikan bentuk plural pada ayat Al-Nahl tersebut, "apabila Kami mengganti suatu ayat ...", kata "kami" di sini menurut Quraish Shihab, sebagaimana halnya secara umum kata "Kami" yang menjadi pengganti nama Tuhan dalam ayat-ayat lain, menunjukkan adanya keterlibatan selain Tuhan (manusia) dalam perbuatan yang digambarkan oleh kata kerja pada masing-masing ayat. Ini berarti ada keterlibatan manusia (yakni para ahli) untuk menetapkan alternatifnya dari sekian banyak alternatif yang ditawarkan oleh ayat-ayat Al-Quran yang mansukh atau diganti itu.
(mhy)