Hukum Mengambil Anak Angkat Menurut Islam, Begini Penjelasan Syaikh Al-Qardhawi
loading...
A
A
A
Syaikh Yusuf al-Qardhawi mengatakan seorang ayah tidak dibenarkan mengambil anak yang bukan berasal dari keturunannya sendiri. Orang-orang Arab di masa jahiliah dan begitu juga bangsa-bangsa lainnya, banyak yang menisbatkan orang lain dengan nasabnya dengan sesukanya, dengan jalan mengambil anak angkat .
"Seorang laki-laki boleh memilih anak-anak kecil untuk dijadikan anak, kemudian diproklamirkan. Maka si anak tersebut menjadi satu dengan anak-anaknya sendiri dan satu keluarga, sama-sama senang dan sama-sama susah dan mempunyai hak yang sama," tutur tulis Syaikh Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya yang diterjemahkan H. Mu'ammal Hamidy berjudul "Halal dan Haram dalam Islam" (PT Bina Ilmu, 1993).
Mengangkat seorang anak seperti ini sedikit pun tidak dilarang, kendati si anak yang diangkat itu jelas-jelas mempunyai ayah dan nasabnya pun sudah dikenal.
Islam datang, sedang masalah pengangkatan anak ini tersebar luas di masyarakat Arab, sehingga Nabi Muhammad SAW sendiri mengangkat seorang anak, yaitu Zaid bin Haritsah sejak zaman jahiliah.
Zaid waktu itu seorang anak muda yang ditawan sejak kecil dalam salah satu penyerbuan jahiliah, yang kemudian dibeli oleh Hakim bin Hizam untuk diberikan bibinya yang bernama Khadijah, dan selanjutnya diberikan oleh Khadijah kepada Nabi Muhammad SAW sesudah beliau kawin dengan dia.
Setelah ayah dan pamannya mengetahui tempatnya, kemudian mereka minta kepada Nabi, tetapi oleh Nabi disuruh memilih. Namun Zaid lebih senang memilih Nabi sebagai ayah daripada ayah dan pamannya sendiri. Lantas oleh Nabi dimerdekakan dan diangkatnya sebagai anaknya sendiri dan disaksikan oleh orang banyak.
Sejak itu Zaid dikenal dengan nama Zaid bin Muhammad, dan dia termasuk pertama kali bekas hamba yang memeluk Islam.
Bagaimana pandangan Islam terhadap peraturan ini? Syaikh Yusuf al-Qardhawi menjelaskan Islam berpendapat secara positif, bahwa pengangkatan anak adalah suatu pemalsuan terhadap realitas, suatu pemalsuan yang menjadikan seseorang terasing dari lingkungan keluarganya.
Dia dapat bergaul bebas dengan perempuan keluarga baru itu dengan dalih sebagai mahram padahal hakikatnya mereka itu sama sekali orang asing. Istri dari ayah yang memungut bukan ibunya sendiri, begitu juga anak perempuannya, saudara perempuannya atau bibinya. Dia sendiri sebenarnya orang asing dari semuanya itu.
Anak angkat ini dapat menerima waris dan menghalangi keluarga dekat asli yang mestinya berhak menerima. Oleh karena itu, tidak sedikit keluarga yang sebenarnya merasa dengki terhadap orang baru yang bukan dari kalangan mereka ini yang merampas hak milik mereka dan menghalang pusaka yang telah menjadi harapannya.
Kedengkian ini banyak sekali membangkitkan hal-hal yang tidak baik, dapat menyalakan api fitnah dan memutus famili dan kekeluargaan.
Justru itu al-Quran menghapus aturan jahiliah ini dan diharamkan untuk selama-lamanya serta dihapusnya seluruh pengaruh-pengaruhnya.
Firman Allah:
"Allah tidak menjadikan anak-anak angkatmu itu sebagai anak-anakmu sendiri, yang demikian itu adalah omongan-omonganmu dengan mulut-mulutmu, sedang Allah berkata dengan benar dan Dialah yang menunjukkan ke jalan yang lurus. Panggillah mereka (anak-anak) itu dengan bapa-bapa mereka, sebab dia itu lebih lurus di sisi Allah. Jika kamu tidak mengetahui bapa-bapa mereka, maka mereka itu adalah saudaramu seagama dan kawan-kawanmu." ( QS al-Ahzab : 4-5)
Baiklah kita renungkan ungkapan al-Quran yang bersih ini, yaitu kalimat: "Allah tidak menjadikan anak-anak angkatmu itu sebagai anak-anakmu sendiri, yang demikian itu adalah omongan-omonganmu dengan mulut-mulutmu."
Kalimat ini memberi pengertian, bahwa pengakuan anak angkat itu hanya omongan kosong, di belakangnya tidak ada realitas sedikit pun.
Perkataan lidah tidak dapat mengganti kenyataan dan tidak dapat mengubah realitas, tidak dapat menjadikan orang luar sebagai kerabat, dan orang asing sebagai pokok nasab, dan tidak pula anak angkat sebagai anak betul-betul.
"Seorang laki-laki boleh memilih anak-anak kecil untuk dijadikan anak, kemudian diproklamirkan. Maka si anak tersebut menjadi satu dengan anak-anaknya sendiri dan satu keluarga, sama-sama senang dan sama-sama susah dan mempunyai hak yang sama," tutur tulis Syaikh Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya yang diterjemahkan H. Mu'ammal Hamidy berjudul "Halal dan Haram dalam Islam" (PT Bina Ilmu, 1993).
Mengangkat seorang anak seperti ini sedikit pun tidak dilarang, kendati si anak yang diangkat itu jelas-jelas mempunyai ayah dan nasabnya pun sudah dikenal.
Islam datang, sedang masalah pengangkatan anak ini tersebar luas di masyarakat Arab, sehingga Nabi Muhammad SAW sendiri mengangkat seorang anak, yaitu Zaid bin Haritsah sejak zaman jahiliah.
Zaid waktu itu seorang anak muda yang ditawan sejak kecil dalam salah satu penyerbuan jahiliah, yang kemudian dibeli oleh Hakim bin Hizam untuk diberikan bibinya yang bernama Khadijah, dan selanjutnya diberikan oleh Khadijah kepada Nabi Muhammad SAW sesudah beliau kawin dengan dia.
Setelah ayah dan pamannya mengetahui tempatnya, kemudian mereka minta kepada Nabi, tetapi oleh Nabi disuruh memilih. Namun Zaid lebih senang memilih Nabi sebagai ayah daripada ayah dan pamannya sendiri. Lantas oleh Nabi dimerdekakan dan diangkatnya sebagai anaknya sendiri dan disaksikan oleh orang banyak.
Sejak itu Zaid dikenal dengan nama Zaid bin Muhammad, dan dia termasuk pertama kali bekas hamba yang memeluk Islam.
Bagaimana pandangan Islam terhadap peraturan ini? Syaikh Yusuf al-Qardhawi menjelaskan Islam berpendapat secara positif, bahwa pengangkatan anak adalah suatu pemalsuan terhadap realitas, suatu pemalsuan yang menjadikan seseorang terasing dari lingkungan keluarganya.
Dia dapat bergaul bebas dengan perempuan keluarga baru itu dengan dalih sebagai mahram padahal hakikatnya mereka itu sama sekali orang asing. Istri dari ayah yang memungut bukan ibunya sendiri, begitu juga anak perempuannya, saudara perempuannya atau bibinya. Dia sendiri sebenarnya orang asing dari semuanya itu.
Anak angkat ini dapat menerima waris dan menghalangi keluarga dekat asli yang mestinya berhak menerima. Oleh karena itu, tidak sedikit keluarga yang sebenarnya merasa dengki terhadap orang baru yang bukan dari kalangan mereka ini yang merampas hak milik mereka dan menghalang pusaka yang telah menjadi harapannya.
Kedengkian ini banyak sekali membangkitkan hal-hal yang tidak baik, dapat menyalakan api fitnah dan memutus famili dan kekeluargaan.
Justru itu al-Quran menghapus aturan jahiliah ini dan diharamkan untuk selama-lamanya serta dihapusnya seluruh pengaruh-pengaruhnya.
Firman Allah:
"Allah tidak menjadikan anak-anak angkatmu itu sebagai anak-anakmu sendiri, yang demikian itu adalah omongan-omonganmu dengan mulut-mulutmu, sedang Allah berkata dengan benar dan Dialah yang menunjukkan ke jalan yang lurus. Panggillah mereka (anak-anak) itu dengan bapa-bapa mereka, sebab dia itu lebih lurus di sisi Allah. Jika kamu tidak mengetahui bapa-bapa mereka, maka mereka itu adalah saudaramu seagama dan kawan-kawanmu." ( QS al-Ahzab : 4-5)
Baca Juga
Baiklah kita renungkan ungkapan al-Quran yang bersih ini, yaitu kalimat: "Allah tidak menjadikan anak-anak angkatmu itu sebagai anak-anakmu sendiri, yang demikian itu adalah omongan-omonganmu dengan mulut-mulutmu."
Kalimat ini memberi pengertian, bahwa pengakuan anak angkat itu hanya omongan kosong, di belakangnya tidak ada realitas sedikit pun.
Perkataan lidah tidak dapat mengganti kenyataan dan tidak dapat mengubah realitas, tidak dapat menjadikan orang luar sebagai kerabat, dan orang asing sebagai pokok nasab, dan tidak pula anak angkat sebagai anak betul-betul.