Tarik-menarik antara Syariah dan Thariqah, Ibnu Taimiyyah: Seperti Kristen dan Yahudi
loading...
A
A
A
Ibnu Taimiyyah melukiskan pertentangan antara orientasi eksoteris dari kaum fikih dengan orientasi esoteris dari kaum sufi sebagai serupa dengan pertentangan antara kaum Yahudi dan kaum Kristen .
Dengan terlebih dahulu mengutip firman Allah yang artinya, "Kaum Yahudi berkata, 'Orang-orang Kristen itu tidak ada apa-apanya,' dan kaum Kristen berkata, 'Orang-orang Yahudi itu tidak ada apa-apanya'" ( QS al-Baqarah/2 :13).
Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya "Iqtidla al-Shirath al-Mustaqim" mengatakan sebagai berikut:
"Anda dapatkan bahwa banyak dari kaum Fikih, jika melihat kaum Sufi dan orang-orang yang beribadat (melulu), akan memandang mereka ini tidak ada apa-apanya, dan tidak mereka perhitungkan kecuali sebagai orang-orang bodoh dan sesat, sedangkan dalam tarekat mereka itu tidak berpegang kepada ilmu serta kebenaran sedikit pun. Dan Anda juga dapatkan banyak dari kaum Sufi serta orang-orang yang menempuh hidup sebagai faqir tidak menganggap apa-apa kepada Syariah dan ilmu (hukum); bahkan mereka menganggap bahwa orang yang berpegang kepada Syari'ah dan ilmu (hukum) itu terputus dari Allah, dan bahwa para penganutnya tidak memiliki apa-apa yang bermanfaat di sisi Allah."
Cendekiawan Muslim , Nurcholish Madjid atau Cak Nur dalam bukunya berjudul "Islam Doktrin dan Peradaban" mengatakan Ibnu Taimiyyah tidak bermaksud menyalahkan salah satu dari keduanya. Juga tidak hendak merendahkan sufi, sekalipun ia, sebagai seorang penganut Mazhab Hanbali , sangat berat berpegang kepada segi-segi eksoteris Islam seperti diwakili dalam Syariah.
Oleh karena itu, Ibnu Taimiyyah mengatakan, "Yang benar ialah bahwa apa pun yang berdasarkan Kitab dan Sunnah pada kedua belah pihak itu adalah benar. Dan apa pun yang bertentangan dengan Kitab Sunnah pada kedua belah pihak adalah batil."
Terhadap pernyataan Ibnu Taimiyyah ini, penyunting kitab Iqtidla memberi catatan demikian:
"Ini dengan asumsi bahwa ajaran kesufian itu ada kebenaran. Jika tidak, maka sebenarnya ajaran kesufian itu pada dasarnya adalah ciptaan sesudah generasi utama, yang dalam masa generasi itu hidup sebaik-baik umat dan para imam kebenaran pada umat itu.
Sesungguhnya Allah, dengan Kitab-Nya dan petunjuk Nabi-Nya SAW telah membuat kaum beriman tidak memerlukan apa yang ada dalam ajaran kesufian, yang dianggap orang mampu melembutkan hati dan membersihkannya."
Dari kutipan-kutipan itu dapat didasarkan betapa persimpangan jalan antara "kaum kebatinann (ahl al-bawathin dan "kaum kezahiran" (ahl al-dhawahir) dapat meningkat kepada batas-batas yang cukup gawat.
Dengan terlebih dahulu mengutip firman Allah yang artinya, "Kaum Yahudi berkata, 'Orang-orang Kristen itu tidak ada apa-apanya,' dan kaum Kristen berkata, 'Orang-orang Yahudi itu tidak ada apa-apanya'" ( QS al-Baqarah/2 :13).
Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya "Iqtidla al-Shirath al-Mustaqim" mengatakan sebagai berikut:
"Anda dapatkan bahwa banyak dari kaum Fikih, jika melihat kaum Sufi dan orang-orang yang beribadat (melulu), akan memandang mereka ini tidak ada apa-apanya, dan tidak mereka perhitungkan kecuali sebagai orang-orang bodoh dan sesat, sedangkan dalam tarekat mereka itu tidak berpegang kepada ilmu serta kebenaran sedikit pun. Dan Anda juga dapatkan banyak dari kaum Sufi serta orang-orang yang menempuh hidup sebagai faqir tidak menganggap apa-apa kepada Syariah dan ilmu (hukum); bahkan mereka menganggap bahwa orang yang berpegang kepada Syari'ah dan ilmu (hukum) itu terputus dari Allah, dan bahwa para penganutnya tidak memiliki apa-apa yang bermanfaat di sisi Allah."
Cendekiawan Muslim , Nurcholish Madjid atau Cak Nur dalam bukunya berjudul "Islam Doktrin dan Peradaban" mengatakan Ibnu Taimiyyah tidak bermaksud menyalahkan salah satu dari keduanya. Juga tidak hendak merendahkan sufi, sekalipun ia, sebagai seorang penganut Mazhab Hanbali , sangat berat berpegang kepada segi-segi eksoteris Islam seperti diwakili dalam Syariah.
Oleh karena itu, Ibnu Taimiyyah mengatakan, "Yang benar ialah bahwa apa pun yang berdasarkan Kitab dan Sunnah pada kedua belah pihak itu adalah benar. Dan apa pun yang bertentangan dengan Kitab Sunnah pada kedua belah pihak adalah batil."
Terhadap pernyataan Ibnu Taimiyyah ini, penyunting kitab Iqtidla memberi catatan demikian:
"Ini dengan asumsi bahwa ajaran kesufian itu ada kebenaran. Jika tidak, maka sebenarnya ajaran kesufian itu pada dasarnya adalah ciptaan sesudah generasi utama, yang dalam masa generasi itu hidup sebaik-baik umat dan para imam kebenaran pada umat itu.
Sesungguhnya Allah, dengan Kitab-Nya dan petunjuk Nabi-Nya SAW telah membuat kaum beriman tidak memerlukan apa yang ada dalam ajaran kesufian, yang dianggap orang mampu melembutkan hati dan membersihkannya."
Dari kutipan-kutipan itu dapat didasarkan betapa persimpangan jalan antara "kaum kebatinann (ahl al-bawathin dan "kaum kezahiran" (ahl al-dhawahir) dapat meningkat kepada batas-batas yang cukup gawat.
(mhy)