Tertua Se-Pantura, Masih Mengandalkan Metode Salaf

Rabu, 13 Mei 2020 - 09:02 WIB
loading...
Tertua Se-Pantura, Masih Mengandalkan Metode Salaf
Pondok pesantren (Ponpes) Qomarudin merupakan pondok tertua di wilayah Pantai Utara; Gresik, Lamongan, ataupun Tuban. Foto/Koran SINDO/Ashadi
A A A
PONDOK pesantren (Ponpes) Qomarudin merupakan pondok tertua di wilayah Pantai Utara; Gresik, Lamongan, ataupun Tuban. Didirikan oleh Kiai Qomarudin pada 1775 Masehi atau 1188 Hijriah, ponpes ini masih mengandalkan sistem pendidikan salaf. “Ia termasuk pondok paling tua di Pantura,” ujar pengasuh Ponpes Qomarudin Kiai M Iqlil Sholeh.

Sebagai pesantren tertua, lokasi ponpes sudah berpindah tiga kali. Pertama di Desa Kanugrahan (dekat Pringgoboyo), Kecamatan Meduran, Kabupaten Lamongan. Pesantren yang didirikan diberi nama Pesantren Kanugrahan. Tahun berdirinya pesantren itu ditandai dengan candra sengkala “Rupo Sariro Wernaning Jilma”, yaitu 1681 Hijriah atau 1753 Masehi.

Dalam waktu singkat, Pesantren Kanugrahan sudah dikenal di daerah sekitarnya. Jumlah santrinya mencapai 300 orang. (Baca: Setan Dibelenggu, Kemaksiatan dan Kriminalitas kok Masih Marak?)

Kedua di Desa Morobakung, Kecamatan Manyar, Gresik. Berawal, Kiai Qomarudin ingin pergi ke Gresik menemui santrinya, Tirtorejo, keturunan Kanjeng Sunan Giri, yang kala itu menduduki jabatan tumenggung di Gresik.

Dalam perjalanannya, tempat pertama yang disinggahi Desa Morobakung. Beliau mendirikan rumah dan surau, tempat mengajarkan ilmu agama. Tidak diketahui dengan pasti berapa tahun Kiai Qomarudin bermukim Morobakung. Hanya diceritakan, 3 keluarganya yang meninggal dunia dimakamkan di desa itu.

Nama Morobakung juga bersumber dari Kiai Qomarudin. Berasal dari kata moro dan bakung. Moro artinya datang, bakung dari kata embah kakung. Embah kakung yang dimaksud Kiai Qomarudin. “Jadi kedatangan Kiai Qomaruin ke desa itu diterima sebagai datangnya seorang sesepuh yang sangat diharapkan dan dicintai masyarakat. Sebutan itu terabadikan menjadi nama sebuah desa hingga sekarang,” beber Kiai Iqlil.

Ketiga, Ponpes Qomarudin menempati lokasi saat ini, di Jalan Sampurnan, Bungah. Menariknya, pencarian lokasi pesantren sudah menggunakan teori modern. Konon, Kiai Qomarudin mencari lokasi dengan lima syarat, yakni dekat dengan pemerintahan. Kedua, dekat dengan jalan raya. Ketiga, dekat dengan pasar. Keempat, dekat dengan hutan dan terakhir, air yang mencukupi kebutuhan keluarga dan santri.

Demi mencari lokasi yang sesuai lima syarat itu, Kiai Qomarudin meninggalkan Desa Morobakung. Menyeberang Bengawan Solo ke arah utara, yaitu tepatnya di Desa Wantilan. Apalagi istikharahnya, beliau harus mengembara untuk yang ke sekian kalinya agar menentukan tempat ponpes yang tepat.

Sampailah Kiai Qomarudin di suatu tempat, antara Masjid Kiai Gede Bungah dan Kantor Distrik Kecamatan Bungah. Beliau mendapatkan firasat yang baik sesuai dengan cita-citanya. Akhirnya di tempat itu beliau mendirikan ponpes, tepatnya pada 1775 Masehi atau 1188 Hijriah. Kanjeng Tumenggung Tirtorejo atau K Yudonegoro memberi nama Pesantren Sampurnan.

Sesepuh Ponpes Sampurnan, Mbah Kiai Zubair Abdul Karim menyebutkan, pemberian nama ini merupakan isyarat dan harapan agar Kiai Qomarudin dan anak cucunya tetap menetap di Sampurnan. Sebab, Dukuh Sampurnan merupakan tempat yang baik bagi perkembangan pesantren.

Saat ini, Ponpes Qomarudin diasuh bersama-sama kiai muda dan sepuh. Hal itu didasarkan keputusan para masyayikh dan keluarga, Kiai M Iqlil Sholih mewakili kiai sepuh dan yang muda diwakili Kiai Alauddin Farhan.

Alauddin Farhan yang kerap disapa Gus Ala mengatakan, saat ini total santrinya sekitar 5.000. Dari jumlah tersebut, yang bermukim sekitar 700 santri dan santriwati. “Di sekitar pondok induk ada pondok keluarga. Jadi, beberapa santri mukim di pondok induk ataupun di pondok pendukung milik keluarga. Ada juga yang kos dan mbajak (pulang-pergi),” jelasnya. (Baca juga: Ciri dan Tanda Seseorang Mendapat Lailatul Qadar)

Selain pendidikan nonformal dengan mengandalkan sistem pendidikan salaf, juga formal. Mulai PAUD hingga strata dua (S-2). Menurut Gus Ala, sistem salaf adalah pola pendidikan peninggalan para pendiri sehingga tetap menjadi andalan. Misalnya mengaji kitab kuning sesudah subuh, ashar, dan sebelum maghrib. “Jadi Madrasah Diniyah pakai kitab kuning, tetapi secara klasikal. Program unggulan Fiqh, Qiroah, dan Falak,” ungkapnya.

Untuk mendukung itu, pesantren membuat kegiatan harian; jamaah, mengaji Alquran, kitab kuning, tahfid, wirid salat harian, likhomsatun, dan rotib haddad. “Sementara kegiatan mingguan; dibaan, tahlilan, jam'yyah qurro. Khusus ini, banyak santri juara MTQ baik juara nasional maupun internasional,” kata Gus Ala. (Ashadi IK)
(ysw)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1801 seconds (0.1#10.140)