Kisah Syadad bin Aad: Penguasa Dunia Pertama dengan 1.000 Istri dan 4.000 Anak
loading...
A
A
A
Dia berkata, "Aku ingin kalian membuat semua bangunan ini dengan emas, perak, permata, mutiara, yakut, minyak kesturi, kafur, zafaron, dan perhiasan-perhiasan indah lainnya.”
Selanjutnya, mereka pun mengumpulkan untuknya semua yang ada pada mereka dan apa yang ada di tangan orang-orang. Mereka pergi ke seantero dunia dan membawa semua yang telah dititahkan.
Orang-orang mengerjakan semua itu dengan tabah. Semua pelosok mereka susuri untuk mendapatkan apa yang diinginkan oleh sang raja.
Setelah semuanya terkumpul, mulailah para pekerja membuat bata dari emas dan perak; kemudian bata-bata itu dipasangkan di atas batu pualam itu sehingga sisi-sisinya rampung dikerjakan.
Setelah mereka merampungkan pembuatan pagar kota itu, mulailah di tengah-tengahnya mereka bangun gedung yang bahannya hanya terbuat dari emas dan perak. Untuk bangunan itu tiang-tiangnya mereka buat dari zabarzud hijau dan yakut merah.
Gedung itu mereka percantik dengan pepohonan yang terbuat dari mutiara, yakut, permata, dan sungai yang mengalir. Di sekitar gedung ditebarkan minyak kesturi, anbar (minyak wangi dari ikan), dan kafur.
Semua itu mereka bangun dengan kreasi yang menakjubkan dan sempurna yang tidak akan ditemukan bandingannya di dunia ini, bahkan setengahnya pun tidak.
Al-Kisa’i mengatakan, pembangunan kota itu memakan waktu 300 tahun. Setelah pembangunannya selesai, hal itu dilaporkan kepada sang raja.
Mendengar laporan tersebut, raja memerintahkan kepada para menteri, pembantu, dan punggawanya untuk memindahkan perabot dan wadah-wadah yang megah ke sana.
Perintah itu mereka kerjakan selama sepuluh tahun. Setelah mereka selesai, Raja Syadad, beserta seluruh wanitanya, pelayannya, menteri, pembantu beserta wanita-wanitanya, dan para punggawanya, berangkat ke sana dengan menggunakan tunggangan yang berpelanakan dari emas yang sempurna hasil kreasi para arsiteknya.
Ketika mereka sampai ke pintu kota itu, dan raja ingin masuk ke sana terlebih dahulu, tiba-tiba ada malaikat yang diutus oleh Allah kepada Syadad.
Malaikat itu berkata, “Hai Syadad, jika engkau mengakui keesaan Allah, maka aku mempersilahkanmu untuk masuk. Akan tetapi, jika engkau tidak mau mengakuinya, maka pada saat ini juga aku akan merenggut rohmu.”
Mendengar ujaran malaikat itu, Syadad menolak. Ia kafir dan mendurhakainya. Oleh karenanya, malaikat itu berteriak kepada mereka dengan sekali teriakan sehingga mereka semuanya mati, tidak ada seorang pun dari mereka yang masuk ke kota itu.
Wahab bin Munabbih mengatakan, di muka bumi tidak pernah ada sebuah kota yang seperti kota itu.
Allah berfirman: “Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap kaum ‘Ad? (yaitu) penduduk Iram yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi yang belum pernah dibangun (suatu kota) seperti itu, di negeri-negeri lain.” ( QS al-Fajr [89] : 6-8).
Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. As-Sadi mengatakan bahwa kota yang telah dibangun oleh Syadad bin ‘Ad hingga saat ini masih ada.
Seorang laki-laki keturunan Arab yang bernama ‘Abdullah bin Qilabah pernah masuk ke sana. Kejadian itu terjadi pada masa kekhalifahan Mu’awiyah bin Abi Sufyan pada tahun 48 H.
Selanjutnya, mereka pun mengumpulkan untuknya semua yang ada pada mereka dan apa yang ada di tangan orang-orang. Mereka pergi ke seantero dunia dan membawa semua yang telah dititahkan.
Orang-orang mengerjakan semua itu dengan tabah. Semua pelosok mereka susuri untuk mendapatkan apa yang diinginkan oleh sang raja.
Setelah semuanya terkumpul, mulailah para pekerja membuat bata dari emas dan perak; kemudian bata-bata itu dipasangkan di atas batu pualam itu sehingga sisi-sisinya rampung dikerjakan.
Setelah mereka merampungkan pembuatan pagar kota itu, mulailah di tengah-tengahnya mereka bangun gedung yang bahannya hanya terbuat dari emas dan perak. Untuk bangunan itu tiang-tiangnya mereka buat dari zabarzud hijau dan yakut merah.
Gedung itu mereka percantik dengan pepohonan yang terbuat dari mutiara, yakut, permata, dan sungai yang mengalir. Di sekitar gedung ditebarkan minyak kesturi, anbar (minyak wangi dari ikan), dan kafur.
Semua itu mereka bangun dengan kreasi yang menakjubkan dan sempurna yang tidak akan ditemukan bandingannya di dunia ini, bahkan setengahnya pun tidak.
Al-Kisa’i mengatakan, pembangunan kota itu memakan waktu 300 tahun. Setelah pembangunannya selesai, hal itu dilaporkan kepada sang raja.
Mendengar laporan tersebut, raja memerintahkan kepada para menteri, pembantu, dan punggawanya untuk memindahkan perabot dan wadah-wadah yang megah ke sana.
Perintah itu mereka kerjakan selama sepuluh tahun. Setelah mereka selesai, Raja Syadad, beserta seluruh wanitanya, pelayannya, menteri, pembantu beserta wanita-wanitanya, dan para punggawanya, berangkat ke sana dengan menggunakan tunggangan yang berpelanakan dari emas yang sempurna hasil kreasi para arsiteknya.
Ketika mereka sampai ke pintu kota itu, dan raja ingin masuk ke sana terlebih dahulu, tiba-tiba ada malaikat yang diutus oleh Allah kepada Syadad.
Malaikat itu berkata, “Hai Syadad, jika engkau mengakui keesaan Allah, maka aku mempersilahkanmu untuk masuk. Akan tetapi, jika engkau tidak mau mengakuinya, maka pada saat ini juga aku akan merenggut rohmu.”
Mendengar ujaran malaikat itu, Syadad menolak. Ia kafir dan mendurhakainya. Oleh karenanya, malaikat itu berteriak kepada mereka dengan sekali teriakan sehingga mereka semuanya mati, tidak ada seorang pun dari mereka yang masuk ke kota itu.
Wahab bin Munabbih mengatakan, di muka bumi tidak pernah ada sebuah kota yang seperti kota itu.
Allah berfirman: “Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap kaum ‘Ad? (yaitu) penduduk Iram yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi yang belum pernah dibangun (suatu kota) seperti itu, di negeri-negeri lain.” ( QS al-Fajr [89] : 6-8).
Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. As-Sadi mengatakan bahwa kota yang telah dibangun oleh Syadad bin ‘Ad hingga saat ini masih ada.
Seorang laki-laki keturunan Arab yang bernama ‘Abdullah bin Qilabah pernah masuk ke sana. Kejadian itu terjadi pada masa kekhalifahan Mu’awiyah bin Abi Sufyan pada tahun 48 H.