Hukum Salat Jamak dan Qashar Tanpa Uzur
loading...
A
A
A
Hukum salat jamak dan qashar tanpa uzur ini penting diketahui kaum muslim, karena konsekuensinya cukup fatal bila tidak tahu tata cara melaksanakan dan alasannya.
Syaikh Abdulaziz bin Baz Rahimahullah dalam Lajnah Daimah menjelaskan, salat itu kewajiban dan siapa saja yang sengaja meninggalkannya maka dia berdosa. Lantas bagaimana bila ada uzurnya? Syaikh Abdulaziz bin Baz menjawab, orang yang meninggalkan salat tanpa uzur lebih utama untuk diminta qadhanya dibanding orang yang memiliki uzur, sebagaimana pendapat jumhur ulama dan disepakati oleh mazhab yang empat dan selain mereka.
Kalau ada uzur, maka orang seperti itu tidak wajib, seandainya pun dia qadha, tidak ada gunanya, apakah karena orang yang meninggalkan salat dianggap kufur dan orang kafir tidak ada manfaatnya dia melakukan salat selama dia kafir, dan tidak diperintahkan baginya untuk mengqadha shalat yang dia tinggalkan selama dia kufur dan murtad.
Atau karena salat merupakan ibadah yang telah jelas batasan waktunya, yang apabila seseorang meninggalkannya dari waktunya tanpa uzur syar'I, maka tidak diterima salatnya. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,
"Siapa yang beramal tidak bersumber dari ajaranku, maka dia tertolak." (HR. Muslim, no. 1718)
Dari Ibnu Abbas dia berkata,
Allah telah mewajibkan salat melalui lisan nabi kalian shallallahu alaihi wa sallam dalam keadaan menetap sebanyak 4 rakaat dan dalam safar sebanyak 2 rakaat, sedangkan dalam keadaan takut sebanyak satu rakaat." (HR. Muslim, no. 787)
Ibnu Hazm rahimahullah berkata, "Tidak ada perbedaan tentang jumlah rakaat, kecuali dalam salat Zuhur, Ashar dan Isya, yaitu empat rakaat dalam keadaan menetap. Baik bagi orang yang sehat, sakit. Sedangkan bagi orang yang safar dua rakaat, dan dalam keadaan takut satu rakaat. Ini semua merupakan ijmak yang diyakini, hanya saja dalam hal shalat satu rakaat dalam keadaan takut, di sana terdapat perbedaan pendapat." (Al-Muhalla, 3/185)
Sementara itu, tidak dibolehkan menjamak di antara dua salat tanpa uzur. Siapa yang menjamaknya tanpa uzur dan alasan syar'I, maka dia berdosa, karena bertentangan dengan ketentuan syariat yang menetapkan hal tersebut, di antaranya adalah firman Allah Ta'ala,
"Sesungguhnya salat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman." (QS. An-Nisa: 103)
Demikian pula halnya dengan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,
"Jibril alaihissalam mengimami saya di Baitullah sebanyak dua kali. Dia mengimami saya salat Zuhur ketika matahari tergelincir seukuran tali sandal. Kemudian dia mengimami saya shalat Ashar, ketika bayangan seukuran benda aslinya. Lalu dia mengimami saya salat Maghrib ketika orang-orang yang berpuasa berbuka. Lalu dia salat Isya, ketika mega merah terbenam. Lalu dia mengimami saya salat Fajar, ketika orang yang berpuasa diharamkan makan dan minum. Kemudian keesokan harinya, dia mengimami saya shalat Zuhur, ketika bayangan seukuran benda aslinya. Lalu dia mengimami saya salat Ashar, ketika bayangan seukuran dua kali lipat benda aslinya. Lalu dia mengimami saya salat Maghrib, ketika orang-orang berpuasa. Lalu dia mengimami saya salat Isya, hingga sepertiga malam. Lalu dia mengimami saya salat Fajar ketika hari mulai terang. Lalu dia menoleh kepada saya dan berkata, 'Wahai Muhammad, inilah waktu para nabi sebelummu. Maka waktu salat adalah di antara kedua waktu tersebut." (HR. Abu Daud, no. 393, Tirmizi, no. 149. Al-Albany berkata, 'Sanadnya hasan shahih, terdapat dalam 'Shahih Abu Daud', no. 417)
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, "Kaum muslimin sepakat bahwa salat lima waktu memiliki waktu tertentu. Dalam masalah ini terdapat hadits shahih yang banyak." (Al-Mughni, 1/224)
Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, "Jika Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah menetapkan waktu salat secara terperinci, maka melaksanakan salat di luar waktunya merupakan tindakan melampaui batas atas ketentuan Allah Ta'ala,
"Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim." (QS. Al-Baqarah: 229)
Syaikh Abdulaziz bin Baz Rahimahullah dalam Lajnah Daimah menjelaskan, salat itu kewajiban dan siapa saja yang sengaja meninggalkannya maka dia berdosa. Lantas bagaimana bila ada uzurnya? Syaikh Abdulaziz bin Baz menjawab, orang yang meninggalkan salat tanpa uzur lebih utama untuk diminta qadhanya dibanding orang yang memiliki uzur, sebagaimana pendapat jumhur ulama dan disepakati oleh mazhab yang empat dan selain mereka.
Kalau ada uzur, maka orang seperti itu tidak wajib, seandainya pun dia qadha, tidak ada gunanya, apakah karena orang yang meninggalkan salat dianggap kufur dan orang kafir tidak ada manfaatnya dia melakukan salat selama dia kafir, dan tidak diperintahkan baginya untuk mengqadha shalat yang dia tinggalkan selama dia kufur dan murtad.
Atau karena salat merupakan ibadah yang telah jelas batasan waktunya, yang apabila seseorang meninggalkannya dari waktunya tanpa uzur syar'I, maka tidak diterima salatnya. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ (رواه مسلم، رقم 1718 )
"Siapa yang beramal tidak bersumber dari ajaranku, maka dia tertolak." (HR. Muslim, no. 1718)
Salat Qashar dan Jamak
Seperti dilansir Islamqa, seseorang yang melakukan salat qashar dalam keadaan mukim (tanpa safar) sama dengan meninggalkannya sama sekali. Seandainya seseorang melakukan salat, kurang rakaatnya, atau sujudnya atau kurang salah satu rukunnya, dengan sengaja, maka shalatnya batal. Dia bagaikan orang yang meninggalkan sama sekali. Tindakan tersebut lebih dekat kepada tindakan mempermainkan syiar Allah. Ini sangat berbahaya, jika dia tidak mendapatkan rahmat Allah untuk mendapatkan taubat nasuha.Dari Ibnu Abbas dia berkata,
فَرَضَ اللَّهُ الصَّلَاةَ عَلَى لِسَانِ نَبِيِّكُمْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْحَضَرِ أَرْبَعًا وَفِي السَّفَرِ رَكْعَتَيْنِ وَفِي الْخَوْفِ رَكْعَةً (رواه مسلم، رقم 687)
Allah telah mewajibkan salat melalui lisan nabi kalian shallallahu alaihi wa sallam dalam keadaan menetap sebanyak 4 rakaat dan dalam safar sebanyak 2 rakaat, sedangkan dalam keadaan takut sebanyak satu rakaat." (HR. Muslim, no. 787)
Ibnu Hazm rahimahullah berkata, "Tidak ada perbedaan tentang jumlah rakaat, kecuali dalam salat Zuhur, Ashar dan Isya, yaitu empat rakaat dalam keadaan menetap. Baik bagi orang yang sehat, sakit. Sedangkan bagi orang yang safar dua rakaat, dan dalam keadaan takut satu rakaat. Ini semua merupakan ijmak yang diyakini, hanya saja dalam hal shalat satu rakaat dalam keadaan takut, di sana terdapat perbedaan pendapat." (Al-Muhalla, 3/185)
Sementara itu, tidak dibolehkan menjamak di antara dua salat tanpa uzur. Siapa yang menjamaknya tanpa uzur dan alasan syar'I, maka dia berdosa, karena bertentangan dengan ketentuan syariat yang menetapkan hal tersebut, di antaranya adalah firman Allah Ta'ala,
إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا (سورة النساء: 103)
"Sesungguhnya salat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman." (QS. An-Nisa: 103)
Demikian pula halnya dengan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,
أَمَّنِي جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَام عِنْدَ الْبَيْتِ مَرَّتَيْنِ فَصَلَّى بِيَ الظُّهْرَ حِينَ زَالَتْ الشَّمْسُ وَكَانَتْ قَدْرَ الشِّرَاكِ وَصَلَّى بِيَ الْعَصْرَ حِينَ كَانَ ظِلُّهُ مِثْلَهُ وَصَلَّى بِيَ يَعْنِي الْمَغْرِبَ حِينَ أَفْطَرَ الصَّائِمُ وَصَلَّى بِيَ الْعِشَاءَ حِينَ غَابَ الشَّفَقُ وَصَلَّى بِيَ الْفَجْرَ حِينَ حَرُمَ الطَّعَامُ وَالشَّرَابُ عَلَى الصَّائِمِ فَلَمَّا كَانَ الْغَدُ صَلَّى بِيَ الظُّهْرَ حِينَ كَانَ ظِلُّهُ مِثْلَهُ وَصَلَّى بِي الْعَصْرَ حِينَ كَانَ ظِلُّهُ مِثْلَيْهِ وَصَلَّى بِيَ الْمَغْرِبَ حِينَ أَفْطَرَ الصَّائِمُ وَصَلَّى بِيَ الْعِشَاءَ إِلَى ثُلُثِ اللَّيْلِ وَصَلَّى بِيَ الْفَجْرَ فَأَسْفَرَ ثُمَّ الْتَفَتَ إِلَيَّ فَقَالَ يَا مُحَمَّدُ هَذَا وَقْتُ الْأَنْبِيَاءِ مِنْ قَبْلِكَ وَالْوَقْتُ مَا بَيْنَ هَذَيْنِ الْوَقْتَيْنِ (رواه أبو داود، رقم 393 والترمذي، رقم 149 وقال الألباني : إسناده حسن صحيح في " صحيح أبي داود – الأم " برقم 417)
"Jibril alaihissalam mengimami saya di Baitullah sebanyak dua kali. Dia mengimami saya salat Zuhur ketika matahari tergelincir seukuran tali sandal. Kemudian dia mengimami saya shalat Ashar, ketika bayangan seukuran benda aslinya. Lalu dia mengimami saya salat Maghrib ketika orang-orang yang berpuasa berbuka. Lalu dia salat Isya, ketika mega merah terbenam. Lalu dia mengimami saya salat Fajar, ketika orang yang berpuasa diharamkan makan dan minum. Kemudian keesokan harinya, dia mengimami saya shalat Zuhur, ketika bayangan seukuran benda aslinya. Lalu dia mengimami saya salat Ashar, ketika bayangan seukuran dua kali lipat benda aslinya. Lalu dia mengimami saya salat Maghrib, ketika orang-orang berpuasa. Lalu dia mengimami saya salat Isya, hingga sepertiga malam. Lalu dia mengimami saya salat Fajar ketika hari mulai terang. Lalu dia menoleh kepada saya dan berkata, 'Wahai Muhammad, inilah waktu para nabi sebelummu. Maka waktu salat adalah di antara kedua waktu tersebut." (HR. Abu Daud, no. 393, Tirmizi, no. 149. Al-Albany berkata, 'Sanadnya hasan shahih, terdapat dalam 'Shahih Abu Daud', no. 417)
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, "Kaum muslimin sepakat bahwa salat lima waktu memiliki waktu tertentu. Dalam masalah ini terdapat hadits shahih yang banyak." (Al-Mughni, 1/224)
Kesimpulan:
Jika telah disimpulkan demikian, maka tidak boleh menjamak dua salat, kecuali jika didapatkan sebab untuk menjamak, seperti safar, hujan atau sakit. Jika tidak didapatkan sebab untuk menjamak salat, maka harus dilakukan sesuai aslinya, yaitu shalat pada waktunya masing-masing. (Lihat Al-Mughni, Ibnu Qudamah, 2/60)Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, "Jika Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah menetapkan waktu salat secara terperinci, maka melaksanakan salat di luar waktunya merupakan tindakan melampaui batas atas ketentuan Allah Ta'ala,
وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (سورة البقرة: 229)
"Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim." (QS. Al-Baqarah: 229)