Gus Miftah Kepleset Lidah? Begini Resepnya Islam
loading...
A
A
A
Penemu teori ini adalah Sigmund Freud dari Austria. Freud menjelaskan bahwa alam bawah sadar merupakan sebuah gudang penyimpanan bagi segala kenangan, pikiran, motif, dan keinginan yang tidak terungkapkan.
Biasanya, seseorang akan terus mencoba untuk menekan dan membatasi pemikiran tersebut. Hal inilah yang secara tidak sadar mulai mempengaruhi alam sadar seseorang, hingga 'terdorong' keluar secara tidak sengaja lewat mimpi atau kalimat spontan.
Hal inilah yang menjadi alasan kenapa keseleo lidah atau kesalahan berbicara terjadi.
Freud berpendapat bahwa keseleo lidah merupakan tanda yang menuntun pada kondisi psikologi yang mendalam pada diri seseorang.
Ia juga mempercayai bahwa ketika seseorang kelepasan mengatakan sesuatu secara tak disengaja, hal itu bukanlah murni sebuah kebetulan, namun merupakan kondisi di mana sensor pikiran mengalami kerusakan dalam memproses informasi apa yang harus diungkapkan.
Menata Ucapan atau Diam
Sejatinya, Islam telah mengajarkan agar kita senantiasa menata ucapan atau diam, sehingga dapat meraih keuntungan dari pembicaraan yang dilakukan dan meraih keselamatan dari sikap diam yang diambilnya.
Rasulullah SAW mengingatkan akibat buruk dari lidah, dan inilah yang sangat beliau khawatirkan. Dari Sufyan bin Abdillah RA, ia berkata, “Wahai Rasulullah, katakanlah kepadaku sesuatu yang bisa aku jadikan pegangan. Beliau menjawab, “Katakanlah Tuhanku adalah Allah lalu istikamahlah. Saya berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang paling engkau khawatirkan atas diriku? Rasulullah SAW menunjuk lidahnya sendiri dan berkata, “Ini.” (HR Tirmidzi).
Ketika Rasul SAW ditanya tentang sesuatu yang paling banyak memasukkan orang ke dalam neraka, beliau menjawab, “Dosa lidah dan kemaluan.” (HR Tirmidzi).
Dan, kekuatan merawat lidah ini pun dikaitkan dengan keimanan kepada Allah dan hari akhir. Sabda Nabi SAW, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya ia berkata yang baik atau (kalau tidak bisa) maka hendaknya ia diam.” (HR Muslim).
Artinya, keharusan menjaga lidah tidak hanya sekadar menjaga hubungan baik dengan antara sesama. Tetapi, lebih dari itu, keharusan menjaga lidah merupakan unsur ibadah dan akidah.
Dr Musthafa Dieb al-Bugha dalam kitabnya Al-Wafi fi Syarhil Arba’in An-Nawawiyah, mengatakan etika orang beriman dalam bermuamalah dengan sesamanya adalah memperhatikan adab dalam berbicara.
Pertama, seorang muslim hendaknya berusaha membicarakan hal-hal yang mendatangkan manfaat, dan tidak mengucapkan ucapan yang tidak diperbolehkan. Perkataan yang tidak berguna di antaranya ghibah, namimah, dan mencela orang lain.
Kedua, tidak banyak bicara. Karena banyak bicara, meskipun dalam hal yang diperbolehkan, bisa menjerumuskan kepada hal yang dilarang ataupun makruh.
Sabda Nabi SAW, ”Janganlah kalian banyak bicara, yang bukan zikir kepada Allah. Karena banyak bicara, yang bukan zikir kepada Allah, akan membuat hati keras. Dan manusia yang paling jauh dari Tuhannya adalah yang hatinya keras.” (HR Tirmidzi).
Ketiga, wajib bicara ketika diperlukan, terutama untuk menjelaskan kebenaran dan amar makruf nahi munkar. Ini adalah sikap mulia yang jika ditinggalkan termasuk pelanggaran dan berdosa, karena orang yang mendiamkan kebenaran pada dasarnya adalah setan bisu.
Jika setiap kita mengendalikan lidah dari perkataan yang mengandung kebatilan, seperti umpatan, hardikan, penghinaan, ejekan, olok-olokan, adu-domba, dan hasutan, niscaya tidak akan ada perselisihan dan perdebatan yang berkepanjangan di tengah masyarakat.